Pekerjaan, Passion dan Kebutuhan

3:52 PM 2 Comments

Mau nyapa dulu, tapi malu…
Tapi yaudah, deh. Halooo teman-teman yang ga sengaja klik link yang saya bagikan.
Salam, sapa, sayang… 

Perlu basa basi dulu bilang rindu menulis tapi males banget merealisasi gitu, gak ? Gak usah, ya. Toh kalimat di depan kata “tapi” tidak terlalu berarti.

Langsung ke point nya aja. Saya mau berbagi sedikit kisah tentang pekerjaan, passion, dan kebutuhan yang diikuti opini dari banyak orang. 

Pasti kalian udah ga asing lagi dengan opini-opini yang mengatakan bahwa “Pekerjaan yang enak adalah pekerjaan yang sesuai minat.” Intinya sih sama kaya syarat kita milih jurusan kuliah. Minat dan Passion adalah yang utama.

Di dunia kerja juga ternyata minat dan passion penting buat dibahas dan dijadikan acuan. Tapi, nyatanya, kebanyakan orang bekerja karena ada lowongan. Bukan mengabaikan, mereka hanya tidak menjadikan passion sebagai prioritas utama sebuah pekerjaan lebih karena realistis. Kita bekerja karena kebutuhan mencari uang. Sampai disini dapat dimengerti ya pembahasannya bakal dibawa ke mana ? 

Oke, lanjut. Saya ga akan jadiin orang lain sebagai contoh dalam masalah ini. Karena saya juga merasakannya. Ingin hati kerja dibidang seni, tapi kenyataan membawa si langkah kaki bermuara di satu ruangan penuh rak dan buku yang lagi baris-berbaris –yang numpuk dan gak keurus juga banyak. 

Buat yang belum tau, saya kasih tau dulu kali, ya, biar kalian jadi tau. Jadi, tahun ini adalah tahun ketiga saya bekerja di salah satu Perpustakaan Sekolah Menengah Pertama. Di mana fasilitas dan sistem di perpus ini belum sistematis. Dan saya ditempatkan seorang diri dengan ribuan judul buku. Gaji ? Aduh, malu kalau bahas penghasilan. Nanti pas baca kalian bercucuran ait mata. Jadi, skip aja, ya. 

Ceritanya saya jadi pustakawan. Yang sama sekali ga punya pengalaman di bidang yang satu ini. Dan sejujurnya, sama sekali gak tertarik. Tapi, ya daripada abis lulus sekolah saya ngabisin waktu cuma buat tidur-tiduran di rumah, mending saya kerja. Meskipun gaji dikit, yang penting ada pemasukan. Jadi punya kegiatan di luar rumah juga. Dan bisa lirik dede dede gemeshh, lumayan. Hehehe...

Bayangan pas ditawarin buat kerja jadi pustakawan ini kayanya menyenangkan. Cuma tinggal duduk manja di dalam ruangan –di mana ruang perpustakaan tuh sangat adem, eh pas terjun langsung ke lapangan………… Subhanallah, memang tidak ada yang lebih nikmat dari gogoleran. 

Setahun kerja belum juga menemukan rasa nyaman. Semua dilakukan atas dasar kewajiban. Yang ada tuh malah sering kewalahan. Apalagi di awal dan akhir tahun pelajaran. Keteter banget tiap pembelian buku, proses administrasi buku-buku baru yang masuk, pemeliharaan buku, sampai harus dibagikan ke siswa. Menghabiskan waktu hampir satu semester buat menyelesaikan –itupun ga 100% beres. Setelah itu harus siap-siap menghadapi akhir tahun pelajaran. Proses pengembalian buku yang semula dibagikan ke seluruh siswa.

Seperti yang saya bilang di awal, saya ditempatkan sendirian di ruang perpustakaan ini. Dan harus menghadapi kurang lebih 600-700 siswa. Ya Allah, tahun pertama kerja itu adalah tahun di mana saya jauh lebih banyak mengeluh ketimbang bersyukur. 

Belum lagi harus menghadapi berbagai opini dari orang-orang. Mulai dari yang mendukung, sampai yang menyarankan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Dan kata-kata yang paling nusuk telinga sih biasanya yang begini bunyinya “Kenapa ga cari kerjaan yang sesuai passion lu aja sih, geb ?” Sampai detik ini aja yang mampu saya lakukan cuma bersyukur karena sehabis keluar dari gerbang sekolah saya ga ada jeda buat nganggur. Boro-boro nyari kerja sesuai passion :’)

Dan lagi, kerjaan yang saya kira akan nyaman bagi diri saya butuh gelar dibelakang nama. Background pendidikan yang alakadarnya ini, gabisa dengan mudah membuat saya mendapat pekerjaan yang enak dan menghasilkan duit banyak. 

Pekerjaan yang enak. Saya tekankan; Pekerjaan yang enak. Emang ada pekerjaan yang enak ? Ada. Kata orang-orang sih, pekerjaan yang enak adalah pekerjaan yang membuat kita nyaman bekerja dan menghasilkan uang. Yang kaya gimana pekerjaan yang bikin nyaman ? Ya, yang sesuai passion, dong.

Saya setuju dengan pernyataan di atas, tapi soal Pekerjaan yang enak, menurut saya gak ada. Karena senyaman-nyamannya dan seenak-enaknya bekerja, lelah adalah bagian dari hasil akhirnya. 

Begini, soal kenyamanan dalam bekerja sesungguhnya bisa dibentuk dari bagaimana cara kita memandang pekerjaan yang sedang kita tekuni. Teori tersebut sebetulnya berlaku bukan hanya di dunia kerja. Aspeknya luas. Cara kita memandang sesuatu ternyata penting. Sebab dari sana, kita akan sadar dan melihat sesuatu yang sebelumnya kita abaikan. Dan sesuatu ini biasanya modal untuk kita bisa keluar dari jurang yang membebani raga dan pikiran. 

Seperti, di tahun awal saya menekuni dan coba bertahan dengan pekerjaan saya ini, saya sering mengeluh. Memandang pekerjaan saya ditambah upah yang tak seberapa ini adalah sebuah bentuk kewajiban yang agak membebani. Memulai kegiatan setiap pagi sampai siang, di tempat kerja banyak diam saking banyaknya pekerjaan –bingung cuy mau mulai ngerjain yang mana dulu. Sering membanding-bandingkan diri dengan teman-teman yang selepas lulus sekolah pergi merantau. Ada yang kuliah, ada juga yang mencari nafkah di luar kota. Sedang saya ? Pandeglang adalah sebenar-benarnya rumah.

Yaa, di usia segini, darah lagi mendidih-didih ingin tau hal baru. Sok sok an mau menantang dunia tapi pengennya gogoleran :( 

Ga jarang juga saya berdebat sama ibu saya. Sering memilih option “Mau nyari kerja lagi. Capek, penghasilan sama kerjaan rasanya gak seimbang.” Tapi kemudian senjata beliau keluar “Susah ya, anak muda jaman sekarang. Pengennya langsung enak, gamau jatuh bangun dulu biar tau gimana cara menikmati hasil akhir dari usaha yang sebegitu hebat.” Batin ku Cuma bisa menjerit-jerit gak karuan kalo udah gitu, “YAA OKEEEE, FINEEEEE. AKU BERTAHAN.” 

Gitu terus siklusnya sampe akhirnya udah tiga tahun saya disini. Tapi meskipun begitu, memang restu dan ridho orang tua ibarat jalan aspal tanpa polisi tidur menuju kebahagiaan. Alhamdulillah, sejauh ini rezeki lancar, pekerjaan meskipun masih keteteran tapi diberi kelancaran, dan pendidikan mulai berkembang. Saya mulai berani ambil keputusan untuk kuliah disela-sela waktu bekerja. 

Selain karena merasa ditantang buat bertahan, saya juga mulai mencari sudut pandang yang menguntungkan diri saya dari pekerjaan saya sekarang –di luar menghasilkan uang. Dan ternyata, ga mudah ya, mengubah sudut pandang negatif ke positif. Sampai akhirnya ada satu teman yang menyadarkan saya dari sesuatu yang sebetulnya sangat sepele.

Waktu itu kita saling cerita di ruang obrolan perihal hobi dan cita-cita semasa kecil. Dengan tanpa sadar saya bilang ke dia kalau saya suka perpustakaan. Jaman SD sama SMP kalau mau sekedar ngadem di jam-jam kosong, ya perginya ke perpustakaan –tapi ga baca. Sekedar ngadem atau cekikikan aja. Hehe. Terus kemudian dia nyeletuk “Wah, beruntung dong lu, geb. Dari kecil suka perpustakaan dan sekarang kerja di perpustakaan. Waktu luangnya bisa dipake buat sekalian baca juga.” Nah. Berkat kalimat yang mungkin dia pikir ga akan ada efek apa-apanya, ternyata cara saya memandang pekerjaan saya berubah. Drastis. 

Gairah saya terhadap perpustakaan yang menggebu-gebu semasa kecil dulu, tumbuh tanpa diundang. Saya langsung merasa menemukan jalan keluar dari labirin kemajemukan masalah yang saya buat sendiri.

Saya mulai menyukai pekerjaan saya. Tidak lagi menjalankannya hanya karena kewajiban. Perihal keinginan saya bekerja sesuai passion, tentu tetap menggelora. Tapi menurut saya, hobi yang menghasilkan uang tak lebih dari sekedar keberuntungan. Karena hobi dan bekerja itu berbeda. Hobi hanya dilakukan di banyak waktu luang, sedang bekerja dilakukan untuk menciptakan waktu luang. Hobi tidak memprioritaskan kehadiran uang, sedang bekerja menjadikan uang sebagai kebutuhan. 

Berbahagialah kalian-kalian yang menekuni hobi dan passion sebagai pekerjaan. Dan merdekalah teman-teman yang berjuang mencari jalan keluar melepas beban dari kewajiban mencari uang.

Terima kasih telah berkunjung, dan bersedia membaca sampai akhir. Tetap bekerja, ya. Karena untuk kaya perlu upaya. Dan untuk bergaya, butuh biaya. Sampai jumpa generasi muda yang kata emak saya “pengen enaknya aja”.

Salam.

2 komentar: