Pekerjaan, Passion dan Kebutuhan
Mau nyapa dulu, tapi malu…
Tapi yaudah, deh. Halooo teman-teman
yang ga sengaja klik link yang saya bagikan.
Salam, sapa, sayang…
Perlu basa basi dulu bilang rindu
menulis tapi males banget merealisasi gitu, gak ? Gak usah, ya. Toh kalimat di
depan kata “tapi” tidak terlalu berarti.
Langsung ke point nya aja. Saya mau
berbagi sedikit kisah tentang pekerjaan, passion, dan kebutuhan yang diikuti
opini dari banyak orang.
Pasti kalian udah ga asing lagi
dengan opini-opini yang mengatakan bahwa “Pekerjaan yang enak adalah pekerjaan
yang sesuai minat.” Intinya sih sama kaya syarat kita milih jurusan kuliah.
Minat dan Passion adalah yang utama.
Di dunia kerja juga ternyata minat
dan passion penting buat dibahas dan dijadikan acuan. Tapi, nyatanya,
kebanyakan orang bekerja karena ada lowongan. Bukan mengabaikan, mereka hanya
tidak menjadikan passion sebagai prioritas utama sebuah pekerjaan lebih karena
realistis. Kita bekerja karena kebutuhan mencari uang. Sampai disini
dapat dimengerti ya pembahasannya bakal dibawa ke mana ?
Oke, lanjut. Saya ga akan jadiin orang lain sebagai
contoh dalam masalah ini. Karena saya juga merasakannya. Ingin hati kerja
dibidang seni, tapi kenyataan membawa si langkah kaki bermuara di satu ruangan
penuh rak dan buku yang lagi baris-berbaris –yang
numpuk dan gak keurus juga banyak.
Buat yang belum tau, saya kasih tau
dulu kali, ya, biar kalian jadi tau. Jadi, tahun ini adalah tahun ketiga saya
bekerja di salah satu Perpustakaan Sekolah Menengah Pertama. Di mana fasilitas
dan sistem di perpus ini belum sistematis. Dan saya ditempatkan seorang diri
dengan ribuan judul buku. Gaji ? Aduh, malu kalau bahas penghasilan. Nanti pas
baca kalian bercucuran ait mata. Jadi, skip aja, ya.
Ceritanya saya jadi pustakawan. Yang
sama sekali ga punya pengalaman di bidang yang satu ini. Dan sejujurnya, sama
sekali gak tertarik. Tapi, ya daripada abis lulus sekolah saya ngabisin waktu
cuma buat tidur-tiduran di rumah, mending saya kerja. Meskipun gaji dikit, yang
penting ada pemasukan. Jadi punya kegiatan di luar rumah juga. Dan bisa lirik
dede dede gemeshh, lumayan. Hehehe...
Bayangan pas ditawarin buat kerja
jadi pustakawan ini kayanya menyenangkan. Cuma tinggal duduk manja di dalam
ruangan –di mana ruang perpustakaan tuh
sangat adem, eh pas terjun langsung ke lapangan………… Subhanallah, memang
tidak ada yang lebih nikmat dari gogoleran.
Setahun kerja belum juga menemukan
rasa nyaman. Semua dilakukan atas dasar kewajiban. Yang ada tuh malah sering
kewalahan. Apalagi di awal dan akhir tahun pelajaran. Keteter banget tiap pembelian buku, proses administrasi buku-buku
baru yang masuk, pemeliharaan buku, sampai harus dibagikan ke siswa. Menghabiskan waktu hampir satu
semester buat menyelesaikan –itupun ga 100% beres. Setelah itu harus siap-siap
menghadapi akhir tahun pelajaran. Proses pengembalian buku yang semula dibagikan
ke seluruh siswa.
Seperti yang saya bilang di awal,
saya ditempatkan sendirian di ruang perpustakaan ini. Dan harus menghadapi
kurang lebih 600-700 siswa. Ya Allah, tahun pertama kerja itu adalah tahun di mana
saya jauh lebih banyak mengeluh ketimbang bersyukur.
Belum lagi harus menghadapi berbagai
opini dari orang-orang. Mulai dari yang mendukung, sampai yang menyarankan
untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Dan kata-kata yang paling nusuk
telinga sih biasanya yang begini bunyinya “Kenapa
ga cari kerjaan yang sesuai passion lu aja
sih, geb ?” Sampai detik ini aja yang mampu saya
lakukan cuma bersyukur karena sehabis keluar dari gerbang sekolah saya ga ada
jeda buat nganggur. Boro-boro nyari kerja sesuai passion :’)
Dan lagi, kerjaan yang saya kira akan
nyaman bagi diri saya butuh gelar dibelakang nama. Background pendidikan yang alakadarnya ini, gabisa dengan mudah
membuat saya mendapat pekerjaan yang enak dan menghasilkan duit banyak.
Pekerjaan yang enak. Saya tekankan; Pekerjaan yang enak. Emang ada
pekerjaan yang enak ? Ada. Kata orang-orang sih, pekerjaan yang enak adalah
pekerjaan yang membuat kita nyaman bekerja dan menghasilkan uang. Yang kaya
gimana pekerjaan yang bikin nyaman ? Ya, yang sesuai passion, dong.
Saya setuju dengan pernyataan di
atas, tapi soal Pekerjaan yang enak,
menurut saya gak ada. Karena senyaman-nyamannya dan seenak-enaknya bekerja,
lelah adalah bagian dari hasil akhirnya.
Begini, soal kenyamanan dalam bekerja
sesungguhnya bisa dibentuk dari bagaimana cara kita memandang pekerjaan yang
sedang kita tekuni. Teori tersebut sebetulnya berlaku bukan hanya di dunia kerja. Aspeknya
luas. Cara kita memandang sesuatu ternyata penting. Sebab dari sana, kita akan
sadar dan melihat sesuatu yang sebelumnya kita abaikan. Dan sesuatu ini biasanya
modal untuk kita bisa keluar dari jurang yang membebani raga dan pikiran.
Seperti, di tahun awal saya menekuni
dan coba bertahan dengan pekerjaan saya ini, saya sering mengeluh. Memandang
pekerjaan saya ditambah upah yang tak seberapa ini adalah sebuah bentuk
kewajiban yang agak membebani. Memulai kegiatan setiap pagi sampai siang, di
tempat kerja banyak diam saking banyaknya pekerjaan –bingung cuy mau mulai ngerjain yang mana dulu. Sering
membanding-bandingkan diri dengan teman-teman yang selepas lulus sekolah pergi
merantau. Ada yang kuliah, ada juga yang mencari nafkah di luar kota. Sedang saya ? Pandeglang adalah
sebenar-benarnya rumah.
Yaa, di usia segini, darah lagi mendidih-didih ingin tau hal baru. Sok
sok an mau menantang dunia tapi pengennya gogoleran
:(
Ga jarang juga saya berdebat sama ibu
saya. Sering memilih option “Mau nyari
kerja lagi. Capek, penghasilan sama kerjaan rasanya gak seimbang.” Tapi
kemudian senjata beliau keluar “Susah ya,
anak muda jaman sekarang. Pengennya langsung enak, gamau jatuh bangun dulu biar
tau gimana cara menikmati hasil akhir dari usaha yang sebegitu hebat.” Batin
ku Cuma bisa menjerit-jerit gak karuan kalo udah gitu, “YAA OKEEEE, FINEEEEE. AKU BERTAHAN.”
Gitu terus siklusnya sampe akhirnya udah
tiga tahun saya disini. Tapi meskipun begitu, memang restu dan ridho orang tua
ibarat jalan aspal tanpa polisi tidur menuju kebahagiaan. Alhamdulillah, sejauh
ini rezeki lancar, pekerjaan meskipun masih keteteran
tapi diberi kelancaran, dan pendidikan mulai berkembang. Saya mulai berani
ambil keputusan untuk kuliah disela-sela waktu bekerja.
Selain karena merasa ditantang buat
bertahan, saya juga mulai mencari sudut pandang yang menguntungkan diri saya
dari pekerjaan saya sekarang –di luar
menghasilkan uang. Dan ternyata, ga mudah ya, mengubah sudut pandang negatif ke
positif. Sampai akhirnya ada satu teman yang menyadarkan saya dari sesuatu yang
sebetulnya
sangat sepele.
Waktu itu kita saling cerita di ruang
obrolan perihal hobi dan cita-cita semasa kecil. Dengan tanpa sadar saya bilang
ke dia kalau saya suka perpustakaan. Jaman SD sama SMP kalau mau sekedar ngadem
di jam-jam kosong, ya perginya ke perpustakaan –tapi ga baca. Sekedar ngadem atau cekikikan aja. Hehe. Terus
kemudian dia nyeletuk “Wah, beruntung
dong lu, geb. Dari kecil suka perpustakaan dan sekarang kerja di perpustakaan.
Waktu luangnya bisa dipake buat sekalian baca juga.” Nah. Berkat kalimat
yang mungkin dia pikir ga akan ada efek apa-apanya, ternyata cara saya
memandang pekerjaan saya berubah. Drastis.
Gairah saya terhadap perpustakaan
yang menggebu-gebu semasa kecil dulu, tumbuh tanpa diundang. Saya langsung
merasa menemukan jalan keluar dari labirin kemajemukan masalah yang saya buat
sendiri.
Saya mulai menyukai pekerjaan saya.
Tidak lagi menjalankannya hanya karena kewajiban. Perihal keinginan saya
bekerja sesuai passion, tentu tetap menggelora. Tapi menurut saya, hobi yang
menghasilkan uang tak lebih dari sekedar keberuntungan. Karena hobi dan bekerja itu
berbeda. Hobi hanya dilakukan di banyak waktu luang, sedang bekerja dilakukan
untuk menciptakan waktu luang. Hobi tidak memprioritaskan kehadiran uang,
sedang bekerja menjadikan uang sebagai kebutuhan.
Berbahagialah kalian-kalian yang
menekuni hobi dan passion sebagai pekerjaan. Dan merdekalah teman-teman yang
berjuang mencari jalan keluar melepas beban dari kewajiban mencari uang.
Terima kasih telah berkunjung, dan
bersedia membaca sampai akhir. Tetap bekerja, ya. Karena untuk kaya perlu upaya.
Dan untuk bergaya, butuh biaya. Sampai jumpa generasi muda yang kata emak saya
“pengen enaknya aja”.
Salam.
.png)
2 komentar: