Hidup itu Pilihan
Halo teman-teman yang (semoga)
berbahagia...
Salam, sapa, sayang.
Begini, saya lagi mau banyak bicara tapi enggan bersua. Jadi diwakilkan oleh aksara. Gapapa, ya...
Soal “Hidup itu pilihan”, tiba-tiba saya kepikiran kalau saja saya yang super pengecut ini dulu berani ambil tindakan nekat untuk berjuang sendiri dan melepas paksa belenggu peta dari orang tua. Saya bakal tetap menjadi saya yang sekarang atau nggak, ya ?
Salam, sapa, sayang.
Begini, saya lagi mau banyak bicara tapi enggan bersua. Jadi diwakilkan oleh aksara. Gapapa, ya...
Soal “Hidup itu pilihan”, tiba-tiba saya kepikiran kalau saja saya yang super pengecut ini dulu berani ambil tindakan nekat untuk berjuang sendiri dan melepas paksa belenggu peta dari orang tua. Saya bakal tetap menjadi saya yang sekarang atau nggak, ya ?
Cerita sedikit tapi banyak, deh. Jadi saya mah tipe orang yang takut keluar dari “zona aman”. Gak mau ambil resiko. Hidup rasanya enakan datar aja asalkan lancar. Payah kan, ya ? Yaudah, sih.
Hal ini berawal dari saya yang gak mandiri. Apa-apa selalu ikut kata orang tua. Kemana-mana harus ada temennya. Males banget berjuang. Terlalu takut kalau sehabis jatuh gabisa bangun sendiri. Pengecut banget pokoknya.
Dibalik itu semua, saya termasuk orang yang sebenarnya punya ambisi. Cita-citanya tinggi. Doanya ke yang diatas juga banyak. Tapi usaha buat menggapai semuanya dibawah rata-rata. Faktornya karena itu tadi, sebagian dari diri saya seorang pengecut.
Tapi karena ambisi saya yang tinggi itu, saya selalu punya angan-angan dan rencana untuk menata hidup kedepan. Yang akhirnya semua tenggelam gitu aja sebelum sampai ke permukaan. Alasan yang selama ini saya tahu ya karena “orang tua gak merestui”. Padahal mungkin sayanya aja yang kurang usaha dan gak bisa meyakinkan mereka kalau saya bisa.
Nah, ini bisa kalian jadikan pelajaran kalau mau. Jangan iya-iya aja sebelum mencoba. Bukannya saya mengajarkan kalian buat berontak, ya. Tapi apa salahnya menghancurkan ekspektasi orang tua perihal kita dengan membuktikan bahwa diri kita bisa melampaui apa yang mereka kira. Orang tua sebaik itu sama anaknya. Soal restu dan ridho dari mereka, kemudian akan mengikuti kalau mereka bangga.
Sekarang, diusia yang udah bukan lagi remaja tapi belum terlalu tua, rasanya saya mau berhenti jadi pengecut. Mau keluar dari zona aman. Mau merasakan gimana rasanya berjuang. Mau memilih jalan tanpa mengikuti arah peta yang orang tua cipta. Mau membuat mereka bangga dengan tanpa campur tangan mereka. Cukup doa. Mereka cukup mengiringi setiap langkah saya dengan doa. Karena saya sangat butuh ridho keduanya. Sebab dengan begitu ridho Allah menyertai.
Hidup selancar ini gak enak. Terlalu datar. Saya jadi gak punya banyak cerita menarik.
Dari sana juga kemudian saya berpikir, kalau sekiranya saat sebelum kerja dulu saya memilih opsi untuk diam-diam ikut SBMPTN, saya bakal jadi mahasiswa dan anak rantau gak, ya ? Atau, kalau aja dulu saya gak mengiyakan keinginan orang tua buat masuk SMK dan malah memutuskan memenuhi keinginan pribadi ikut teman-teman semasa SMP ke SMA, saya bakal jadi pribadi yang seperti sekarang gak, ya ? Atau, kita tarik semakin jauh, kalau semasa SMP dulu saya memutuskan untuk menjadi siswi yang aktif di sekolah, saya akan punya banyak bekal dan pengalaman gak, ya ?
Yaaa pokoknya banyak “kalau misalnya... kalau misalnya...” dalam hidup saya. Bukan maksud gak bersyukur dengan apa yang udah saya peroleh sekarang, tapi kembali lagi, hidup kan pilihan. Jadi, tentu banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi namun kemudian tidak terjadi, kan, karena saya memilih jalan yang berlainan ?
Taapiiiiiii... (tulisan saya kali ini banyak tapinya)
Berhubung saya sadarnya diusia yang
sudah tidak lagi muda namun tidak terlalu tua alias sedang menuju dewasa. Cara
pandang saya untuk berusaha keluar dari zona aman berbeda dari sebelumnya.
Awalnya gak gitu, tapi kemudian pas lagi nulis temen saya chat dan nanya “do what you love or love what you do?” Deggg... saya langsung kepikiran. Tapi jawaban saya langsung tertuju ke “love what I do.”
Awalnya gak gitu, tapi kemudian pas lagi nulis temen saya chat dan nanya “do what you love or love what you do?” Deggg... saya langsung kepikiran. Tapi jawaban saya langsung tertuju ke “love what I do.”
Nah, kan. Dari pertanyaan itu aja udah terbukti bahwa hidup mah pilihan. Terus kemudian kita saling tanya dan diskusi kenapa milih untuk mencintai apa yang kita lakukan. Dan jawaban kami, kalau disimpulkan jadi begini:
“Hidup kadang gak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kalau kita terus-terusan memanjakan diri dengan melakukan apa yang kita suka, kapan kita dewasa ? Kapan kita mau berpikir dan berusaha ? Lagipula, kalau kita menyukai apa yang kita lakukan berarti sama, kan dengan kita melakukan apa yang kita sukai ? Bedanya, kita menjadi pribadi yang jauh lebih mandiri.”
Seperti apa yang ditulis Jostein
Garder dalam buku Dunia Sophie: “Mandiri
bukanlah melakukan apapun yang kita suka.”
Oke, semoga kalian paham maksud yang saya sampaikan.
Jadi, setelah bincang-bincang pendek itu saya kembali berpikir “Kalau begitu cara saya keluar dari zona aman, tidak dimulai dengan melakukan apapun yang saya suka, tapi dimulai dengan berani mengambil keputusan untuk mencintai apapun yang sedang saya lakukan.” Pekerjaan, lingkungan sosial, aktivitas pribadi dan memutuskan untuk berani melangkah pergi dari kemajemukan hidup yang terlalu banyak diam.
Hidup itu pilihan, teman-teman. Jalan menuju sukses bercabang. Gak peduli lewat mana kamu melangkah, berapa kali kamu terjatuh, dalam jangka waktu berapa lama kamu sampai, kalau kamu gak memutuskan untuk berhenti berjuang, kamu akan sampai pada tujuan.
Percaya, dirimu mampu melampaui batasan-batasan yang diciptakan oleh ekspektasi manusia. Karena hidup tak lepas dari campur tangan Tuhan. Bahkan disaat kamu merasa hidupmu berada diujung tanduk hingga terlalu dekat dengan kegagalan, Allah adalah satu-satunya dzat yang tidak akan meninggalkan.
Maka dari itu, selalu libatkan Allah dalam segala urusan. Sebagai pemeran dipanggung sandiwara dunia. Cukup percaya, bahwa Allah adalah penulis terbaik naskah drama.
Cukup, segini aja dulu, ya. Semoga kalian mendapat manfaat dari tulisan saya yang kebanyakan curhat.
Oke, semoga kalian paham maksud yang saya sampaikan.
Jadi, setelah bincang-bincang pendek itu saya kembali berpikir “Kalau begitu cara saya keluar dari zona aman, tidak dimulai dengan melakukan apapun yang saya suka, tapi dimulai dengan berani mengambil keputusan untuk mencintai apapun yang sedang saya lakukan.” Pekerjaan, lingkungan sosial, aktivitas pribadi dan memutuskan untuk berani melangkah pergi dari kemajemukan hidup yang terlalu banyak diam.
Hidup itu pilihan, teman-teman. Jalan menuju sukses bercabang. Gak peduli lewat mana kamu melangkah, berapa kali kamu terjatuh, dalam jangka waktu berapa lama kamu sampai, kalau kamu gak memutuskan untuk berhenti berjuang, kamu akan sampai pada tujuan.
Percaya, dirimu mampu melampaui batasan-batasan yang diciptakan oleh ekspektasi manusia. Karena hidup tak lepas dari campur tangan Tuhan. Bahkan disaat kamu merasa hidupmu berada diujung tanduk hingga terlalu dekat dengan kegagalan, Allah adalah satu-satunya dzat yang tidak akan meninggalkan.
Maka dari itu, selalu libatkan Allah dalam segala urusan. Sebagai pemeran dipanggung sandiwara dunia. Cukup percaya, bahwa Allah adalah penulis terbaik naskah drama.
Cukup, segini aja dulu, ya. Semoga kalian mendapat manfaat dari tulisan saya yang kebanyakan curhat.
Terima kasih telah menyempatkan
waktu untuk membaca, bahkan sampai akhir.
Salam.
.png)
0 komentar: