Mengobati rindu yang berakhir review buku
Haloo…
Kangen nulis. Tapi rasanya isi
kepala lagi gak bisa digambarkan dengan rangkaian kata-kata. Sebelumnya,
salam, sapa, sayang dulu, yaa…
Apa kabar ? Pandemi masih sering
bikin keki ? asliii!! Cukup susah, ya, adaptasi sama masalah yang datangnya
bener-bener tanpa persiapan dan tanpa dugaan ini. Ditambah beberapa kabar
banyak yang membuat suasana semakin terasa berat.
Saya kangen nulis. Oh iya, selama
karantina ngapain aja ? Saya sempat rajin bikin konten soal puisi sama gambar line art di instagram. Tapi sekarang
sudah ngga, biasalah si bosan menerkam. Padahal lumayan, beberapa orang ada
yang terkesan. Ah, tapi da tujuan
saya buat kontennya juga bukan semata-mata agar dipuji/dipuja orang, pure karena mau. Biar feeds instagram jadi lucu aja. Ketambah,
biar tulisan saya yang sering di share
di media yang jarang di lihat orang, kali ini dibaca. Soalnya, instagram tempat
di mana semua orang mencari kesenangan. Meski tak sedikit keluhan perihal ke-toxic-annya terdengar sampai ke jagat
twitter dan facebook.
Gitu ya kehidupan, penuh
persaingan. Semua media sosial sama-sama menciptakan fitur terlengkap. Bersaing
siapa yang paling banyak diminati, dia yang trendy.
Padahal ketiganya punya pasarnya masing-masing. Mau siapa yang paling banyak
diminati juga toh fungsinya hampir serupa. Mendekatkan yang jauh, menjauhkan
yang dekat.
Yaallah, saya kangen nulis. Tapi bahas
apa, ya. Oh iya, sempat kepikiran mau buat podcast
tadinya. Tapi gak jadi. Cara saya berbicara kayak amatiran ikut lomba lari. Cepat,
gak beraturan, sering kepeleset pula ini lidah. Howw’s sad :(
Sebenarnya dari dua hari yang lalu
udah saya pikirkan kerangka untuk topik di tulisan kali ini. Sempat direalisasikan
juga, sudah di 3-4 paragraf malah, tapi gak jadi dipublish dan gak bisa dilanjutkan. Stuck.
Karantina membosankan, ya ? Banyak
banget teman-teman yang mengeluhkan hal serupa. Tapi kenapa saya ngga, ya ?
Hmm.. Kalo saya wajar, sih sebenarnya. Toh dari sebelum pemerintah menyarankan
kita untuk #dirumahaja, saya udah #dirumahterus.
Cuma memang ada satu kekhawatiran
kalau sampai hidup dengan keadaan tetap seperti ini. Saya takut kemampuan
bersosialisasi saya makin buruk. Semasa semua normal saja, saya susah banget
buat bersosialiasi. Tidak menjadi manusia yang seutuhnya. Apalagi ini, hampir
semua kegiatan sosial dibatasi. Kenyamanan hidup menyendiri yang teramat sangat
ini bisa-bisa menjadi benih-benih tumbuhnya anxiety.
Wkwkwk ‘anxiety’ sesuatu yang cukup
menyulitkan namun didambakan anak muda masa kini. Gak paham lagi. Skip.
Ah, di paragraf tiga tadi saya
sempat ceritakan soal hal yang saya lakukan selama karantina, ya. Soal bikin
konten puisi + ilustrasi di instagram. Selain itu, saya lagi suka-sukanya sama
fotografi. Kemarin sempat merepotkan beberapa teman yang kebetulan
keberadaannya terhalang jarak. Kami melakukan virtual photo shoot. Gaya-gayaan, kayak artis-artis instagram. Hasilnya
bagi saya lumayan memuaskan, juga bisa jadi salah satu alternatif saya melatih
kemampuan menangkap gambar, hehe. Terima kasih kepada teman-teman yang sudah
berpartisipasi.
Sisa waktu senggang saya kemudian
saya isi dengan baca buku. Rencananya, sih mau melampaui tahun lalu yang berhasil
habiskan 36 judul buku –meskipun beberapa
ada yang tidak tuntas. Di awal tahun ini kebetulan baru menyelesaikan 12
buku –lumayanlah, yaa…
Buku yang sejauh ini paling
berkesan yaitu 1) Seri Buku Tempo: Hatta; 2) Anak Semua Bangsa; dan 3) Filosofi
Teras. Sedikit saya bahas gak apa-apa, ya ? lumayan, kan post-annya jadi gak
ngawur-ngawur banget. Hehehe…
1) Seri Buku
Tempo: Hatta – Jejak Yang Melampaui Zaman
Dari judul ya tentu teman-teman akan langsung paham apa isi buku ini. Yak, ini adalah seri buku biografi Moh. Hatta. Salah satu Bapak Proklamator kita yang merupakan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.
Saya selalu suka seri-seri buku Tempo. Sejauh ini baru membaca 3 Seri, yang pertama seri biografi Chairil Anwar, lalu kemudian Soe Hok Gie, dan terakhir Moh. Hatta. Ketiganya saya pinjam dari Perpustakaan Umum Daerah Kab. Pandeglang –kota tempat tinggal saya.
Dari ketiga seri biografi tersebut, semua berkesan karena ketiga tokoh tersebut adalah favorit saya. Dan setelah membaca buku seri biografi dari tempo, saya selalu dibuat semakin jatuh cinta pada tokoh-tokoh besar tersebut. Yang terakhir ini Moh. Hatta.
Di mana, kisah-kisah di dalam seri biografi buku Tempo tidak saya dapatkan di pelajaran sejarah di bangku sekolah dulu. Padahal, sosok beliau cukup penting untuk Bangsa dan Negara. Kalimat klise seperti “mencari ilmu bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja” ternyata benar, ya. Justru setelah saya keluar dari gerbang sekolah, ilmu-ilmu yang sebelumnya tidak saya bayangkan untuk dipelajari, saya dapatkan di kehidupan yang sesungguhnya.
Tapi meskipun begitu, jalan mencari ilmu yang utama menurut saya adalah dengan membaca. Tak heran kenapa semasa hidupnya Hatta dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat pandai. Karena Hatta dengan buku dan kegiatan membaca bagai dua hal yang tak dapat dipisahkan. Selain penuh dengan ilmu, Hatta adalah seseorang dengan pemikiran yang terbuka. Wajar mengapa Soekarno memercayainya untuk menjadi pendamping beliau memimpin Indonesia.
Ah, pokoknya kalau kalian membaca Seri Buku Tempo: Hatta, saya jamin kalian akan jatuh cinta pada si Bung. Tak mungkin tidak.
2) Anak Semua
Bangsa Karya Pramoedya nanta Toer
Ini adalah buku ke dua dari Tetralogi Buru. Setelah ditahun 2018 saya menyelesaikan buku pertamanya yakni Bumi Manusia. Membahas soal buku yang satu ini rasanya saya mau nyontek aja dari tulisan saya di tugas kuliah beberapa minggu lalu.
FYI deh, kemarin saya mendapat tugas untuk meresensi buku, dan saya memilih buku ini untuk diresensi. Dengan alasan, mumpung baru selesai dibaca. Jalan ceritanya masih anget di kepala. Hehehe..
Nah, menurut saya pribadi, alur cerita awal di buku ini tidak semenarik di buku pertama. Tapi konfliknya jauh lebih mengesankan meskipun tidak sepanas di Bumi Manusia. Mungkin karena konflik yang dihadirkan di buku Anak Semua Bangsa ini, lebih mengarah pada konflik antara Minke dengan dirinya sendiri.
Di buku kedua ini, Minke si pemeran utama, dipaksa mencari eksistensinya sebagai seorang pribumi dan mengenal bangsanya sendiri. Seperti kita ketahui, di buku pertama, Minke digambarkan sebagai seorang anak bupati pribumi yang berbudaya Eropa sebab dia mendapat kesempatan berharga untuk bergaul, belajar, dan mengenal budaya Eropa lebih banyak ketimbang budaya bangsanya sendiri, Hindia Belanda.
Maka tidak heran jika Minke sebagai seorang anak pribumi mengagumi bangsa Eropa lebih dari bangsanya sendiri. Pemikirannya sangat modern. Sebelum akhirnya, bangsa Eropa yang selalu dielu-elukannya itu mengkhianati ekspektasinya. Itu dia yang menyebabkan Minke dalam buku Anak Semua Bangsa mencari jati diri dan eksistensinya sebagai seorang pribumi, berusaha untuk belajar mengenal bangsanya sendiri.
Bagi saya, konflik batin yang dihadapi Minke dalam buku Anak Semua Bangsa sangat menarik. Inilah yang selalu membuat saya terkagum-kagum pada Pramoedya Ananta Toer. Bagaimana dia menyuguhkan cerita yang berat terasa ringan ketika dibaca. Serta detail-detail kisahnya membuat imajinasi dalam kepala ikut bekerja. Membaca buku rasanya seperti sedang menonton sebuah adegan film. Pokoknya luar biasa. Kalau ada waktu senggang yang bingung hendak di isi dengan kegiatan apa, coba baca bukunya!
3) Filosofi
Teras Karya Henry Manampiring
Ini buku nonfiksi yang baruuuuu banget selesai saya baca. Kayaknya, seumur hidup saya, kalau ada teman yang bertanya rekomendasi buku, buku Filosofi Teras ini gak akan pernah absen saya sebutkan.
Buku ini berisi tentang Filsafat Stoic. Yakni sebuah filsafat untuk menjalani kehidupan yang seimbang –menurut saya gitu. Diantara banyaknya ilmu filsafat yang saya tahu, filsafat stoic kayaknya yang paling menyenangkan untuk dipelajari dan dipraktikan dalam hidup, deh. Karena, filsafat ini sangat relatable dengan kehidupan sehari-hari kita. Bahkan, sepertinya banyak dari teman-teman juga yang tanpa disadari, semasa hidupnya telah mempraktikan filsafat stoic.
Dari penggambaran saya di atas kedengaran mudah, ya mempraktikan filsafat yang satu ini. Pas baca, saya juga merasa gitu. Cuma ya gak jadi, karena kalau dibaca sekilas filsafat stoic ini bisa dibilang serba salah dalam memberi saran. Tapi kalau dibaca secara mendalam alias dipahami, filsafat stoic ini banyak benarnya –ya tentu, kalau banyak salahnya gak akan dijadikan referensi belajar. Ya pokoknya gitu, kalian pasti paham maksud saya apa.
Nah, yang saya suka dari filsafat stoic ini, ia bisa diterapkan diberbagai aspek kehidupan. Setelah rampung dibaca kalian bakal menangkap kalau inti dari buku ini yaitu perihal dikotomi kendali untuk mencapai hidup yang sejahtera. Tapi kutipan-kutipan dan gambaran peihal detailnya sangat mengesankan.
Henry Manampiring jago sekali menyampaikan makna-makna ajaran filsafat secara gamblang namun tidak terasa berat. Rasanya mudah sekali dicerna. Vibesnya menurut saya hampir sama dengan buku Seni Bersikap Bodo Amat dari Mark Manson, namun saya lebih suka cara om Henry Manampiring menguraikan, hehehe.
Oh iya, di dalam buku ini juga, beliau (Henry Manampiring) melakukan beberapa hasil wawancaranya dengan psikiatri, dosen psikologi, psikologi anak, dan beberapa figure yang menganut paham stoisisme.
Keputusan Henry Manampiring untuk menerjemahkan kutipan/ucapan bahasan Inggris ke dalam bahasa Indonesia juga memudahkan pembaca untuk memahami topic pembahasan –ya, meskipun saya tahu, kebanyakan generasi milenial pasti memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Selain di bahasa Inggris, beberapa bahasa gaul juga tetap ikut serta hadir di buku ini. Maka dari itu, saya katakan bahwa buku filsafat yang satu ini ringan untuk dinikmati di waktu senggang. Bahkan belajar filsafat dapat dijadikan sarana hiburan. Wow, keren ya kesannya. Hahaha…
Pokoknya, kalau kalian lagi suka, baru mau suka atau mencoba untuk suka baca buku, buku Filosofi Teras harus masuk daftar buku yang wajib dibaca. Selebihnya terserah mau buku apa. Tapi tetap, sih, yang utama adalah Al-Qu’ran :) subhanallah…
Waduh, rasa kangen saya terbayar
sudah. Awalnya Cuma mau melampiaskan aja. Nulis apapun yang terlintas di
kepala. Tapi hasil akhirnya lumayan juga. Emang udah dasarnya diri ini bacot banget,
kalo udah dikasih kesempatan buat berkata-kata, yang keluar
berparagraf-paragraf. Bagus tapi, ya, post-an
kali ini porsi seriusnya lumayan banyak.
Faedahnya buat teman-teman yang
rela menghabiskan waktu membaca sampai akhir juga semoga banyak. Dah, gitu aja.
Selamat istirahat. Gak usah khawatir sama hari besok. Belum tentu juga kamu
dapat kesempatan membuka mata di waktu fajar nanti. Tapi kalau sampai Tuhan masih
kasih kesempatan, bersyukur dulu, terus baru nge cek hp. Eh, tapi kalau bisa jangan,
deh. Pagi-pagi buka gadget tuh racun.
Udah, ah.
Salam!
.png)
0 komentar: