Kisah Kasih yang Luruh Selama Satu Tahun Penuh
Halo, mungkin ini akan menjadi kegagalan kesekian dari usahaku menulis.
Tahun ini sebetulnya banyak hal terjadi, namun seiring
berjalannya waktu keterampilanku menulis semakin berkurang. Mungkin karena aku
terlena akan rasa malas yang tak pernah kehabisan cara menggerogoti hidup
manusia.
Sebelumnya, salam, sapa, sayang...
Akhir tahun sudah di depan mata. Harus ku akui, tahun ini
beberapa resolusiku bisa dibilang tercapai. Lebih tepatnya, aku dapat melihat
hasil dari progres belajarku di universitas. Ya, aku resmi diwisuda. Setelah 4
tahun mengeyam modul demi modul dan mengerjakan tugas sebagai seorang mahasiswi
–meskipun kalau boleh jujur, kuliahnya gak kerasa kuliah– tapi ternyata
diakhir perjalananku mengejar strata 1, aku merasa cukup puas.
Kepuasan yang aku rasakan tentu tak lepas dari rasa bangga
dan lega yang tak bisa disembunyikan kedua orang tuaku. Bahkan kelima kakakku
menunjukkan perasaan itu. Aku menyadari, bahwa memang benar Tuhan selalu
memberikan apa yang kita butuhkan lebih dari apa yang kita inginkan.
Sejujurnya, aku tidak merasa begitu puas pada hasil akhir
yang aku dapatkan –ya, manusia memang begitu bukan? Sibuk mendambakan yang
hanya angan, lupa mensyukuri yang dimiliki. Tapi setelah menyadari betapa
orang-orang terkasihku ternyata bangga dengan pencapaian yang aku raih, aku
menyesal karena lupa berterima kasih pada Dia Yang Maha Pengasih.
Di luar itu, aku merasakan kemunduran dalam berkreasi.
Tekadku untuk aktif menulis minimal satu hari satu puisi di awal tahun,
berakhir menjadi sebuah omong kosong. Aku bahkan sempat mengaktifkan kembali
akun menggambarku di instagram, berencana untuk mulai kembali menuangkan
angan-anganku lewat gambar dan beberapa tulisan, namun tak kunjung membuahkan
hasil. Segala racau di kepalaku buntu.
Aku merasa hal itu terjadi karena aku terlalu sibuk menerka-nerka
dan menimbang makna kehidupan lewat realita. Di mana, aku malah mendapati
kehidupanku yang terasa semakin tidak bermakna. Meskipun kalau boleh jujur,
moment wisuda bulan lalu seperti hadiah akhir tahun dari Tuhan sebagai pelipur
lara.
Perihal bagaimana hidup ini aku jalani dengan terus
membanding-bandingkan diri, itu masih. Setiap tahun aku masih begitu. Tapi
tahun ini tidak separah tahun lalu. Tahun ini aku cukup sadar diri. Aku
menyadari bahwa caraku menjalani hidup –bahkan memandang sebuah kehidupan–
tentu berbeda dengan orang-orang di luar sana. Maka dari itu, pencapaian yang
kami raih, tidak akan sama.
Tahun ini aku juga mengantarkan kedua teman dekatku menyambut
kehidupan mereka yang baru. Dikam menikah. Disusul Tiara. Aku dan yang lainnya
berbahagia untuk kebahagiaan mereka, meskipun kalau boleh jujur, ada sedihnya
juga. Aku paham, kehidupan setelah menikah tentu akan berbeda. Hal itu membuat
aku pernah berpikir bahwa pernikahan hanya membuat aku kehilangan teman-teman.
Betapa sebuah pola pikir yang kekanak-kanakan. Hahaha.
Tapi ternyata aku salah. Kalian tahu tidak? Aku sungguh
merasa bersyukur karena tidak pernah meragukan arti sebuah pertemanan. Bahkan
kalau nanti tiba giliranku menemukan teman hidup, aku tidak akan pernah
meninggalkan dan melupakan teman-teman yang menemaniku tumbuh. Sebab mereka
begitu.
Dikam dan Uyung meskipun sudah memiliki kehidupan yang
berbeda denganku, tetap bersedia hadir di segala moment berharga dalam hidupku.
Dokumentasi Pribadi
Mahda dan Ita, meskipun kami sudah tidak terlalu sering
bersama. Aku masih mampu merasakan kebersamaan yang hangat meskiput terlipat
jarak.
Selain itu, Icong, Widya, Sari, Nilam, Lulu, Bilah, Yuni, dan Tiara juga senantiasa menjadi pelipur lara disaat aku lelah menjadi seorang dewasa. Bersama mereka, aku merasa kenangan masa remajaku yang telah lalu dapat aku renggut kembali. Di tengah-tengah mereka, aku tidak pernah mengkhawatirkan tentang kehidupanku sekarang. Aku rasa mereka pun sama. Meskipun di sela-sela kebersamaan, kami sadar bahwa kehidupan kini dengan yang lalu telah jauh berbeda.
Dokumentasi Pribadi
Sekali lagi, nikmat Tuhan yang satu ini adalah nikmat tiada
tara.
Ah, satu lagi yang hampir luput.
Upil!!
Terima kasih super banyak tak akan aku lewatkan untuk makhluk
Tuhan yang satu itu. Sahabat penaku, meskipun seringnya berkomunikasi melalui
sosial media, tapi aku senang memanggilnya sahabat pena. Bisa dibilang, untuk
hal-hal krusial dalam hidupku sekarang, dia adalah tempat segala keluh kesahku
luruh. Meskipun anaknya sering bikin aku misuh-misuh karena kelakuannya ada-ada
aja, tapi kalau dipikir-pikir, dia teman yang membuat aku merasa ‘aku
mendapatkan apa yang aku beri’. Aku bersyukur mengenalnya. Semoga ia pun
begitu.
Yaa, begini sahabat pena. Ungkapan-ungkapan seperti ini hanya
mampu tersampaikan lewat aksara. Semoga di tahun yang akan datang kami mampu
bertatap muka. Minimal satu kali dalam hidup, gapapa.
Sebagai penutup, peran paling besar dalam segala aspek aku
tumbuh tentu keluargaku. Sebagai seseorang yang tidak pernah sekali pun
meninggalkan rumah, keluargaku adalah segalanya. Meskipun, di usia yang sudah
tidak lagi muda ini, rumah kadang menjadi tempat yang paling ingin aku hindari.
Tak jarang rumah terasa seperti jeruji.
Aku sempat berpikir, hal yang membuat merantau terasa
meyenangkan mungkin karena jauh dari rumah. Jauh dari keluarga. Jauh dari
masalah internal. Sehingga perasaan tersiksa yang dirasakan anak-anak rantau
adalah perasaan rindu pulang ke rumah. Perasaan betapa susahnya jauh dari
keluarga. Serta perasaan kecewa karena tidak dilibatkan dalam masalah internal.
Lihatlah, betapa hidup itu adil bagi semua orang. Disaat yang
lainnya rindu pulang ke rumah, aku ingin keluar dari rumah. Disaat yang lain
kesulitan menjalani hidup jauh dari keluarga, aku ingin berjuang menghadapi
kesulitan tanpa melibatkan keluarga. Disaat yang lain merasa kecewa karena tidak ikut serta dalam masalah keluarga, aku justru ingin melarikan diri dari sana.
Tenang.. tenang… Keluargaku tidak seburuk itu. Mereka masih
tetap menjadi keluarga paling harmonis nomor satu dalam hidupku –karena aku
tidak tahu kehidupan keluarga lain– perasaan-perasaan seperti yang tadi aku
jelaskan hanya perasaan yang muncul di beberapa kesempatan.
Maka dari itu, yaa… sudah, mau gimana lagi. Namanya juga kehidupan.
Tahun ini, tahun lalu, maupun tahun yang akan datang pasti
akan banyak kisah-kisah serupa. Entah yang menghadirkan duka, suka, maupun
lainnya. Maka dari itu, tetaplah hidup sebelum ajal menjemput.
Selamat menyambut akhir tahun!!!
Eh, Akhir tahun disambut?
Salah ya? Maaf, namanya
juga manusia.
Salam.
.png)



0 komentar: