When my twenties end, I hope my life begins

9:13 PM 0 Comments

Seiring berjalannya waktu, peradaban mulai berubah. Meskipun hidup sejatinya berputar seperti roda, kehidupan dari jaman ke jaman begitu repetitif. Sama seperti kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali setiap makhluk. Kehidupan akan terus berjalan seperti diam di tempat.

Sejarah terjadi berulang kali dalam bentuk yang berbeda. Kebodohan kembali membawa kegelapan, namun kemudian cahaya kembali terpendar dan menyelamatkan umat manusia. Hidup tanpa kita sadari terus berjalan seperti yang sudah-sudah. Menariknya, skenario Tuhan membangun cerita bergitu beragam.

Persis saat ini, saat hendak meninggalkan usia belasan tahun lalu, di tengah keresahan dan gairah menyambut usia 20an, aku berpikir bahwa “hidupku dimulai saat memasuki usia 20 tahun”.

Sekarang, aku sedang menjalani “hidupku” itu. Meski dengan tertatih-tatih dan merasa banyak kehilangan waktu karena aku membuang-buangnya. Namun disaat bersamaan, aku merasa sedang dikejar-kejar waktu, karena aku merasa belum meraih apa pun dalam “hidupku”. Itu adalah perasaan yang terasa aneh dan membuat frustasi.

Kadang aku bertanya-tanya, perubahan dalam hidupku ini memang hasil dari prosesku tumbuh, atau memang seiring berjalannya waktu, hidup berubah dengan sendirinya? Aku sering berpikir dan merasa bahwa aku hidup dengan hanya menjalani arus. Maka, apa itu artinya aku tumbuh karena memang hidup membawa perubahan? Atau hidupku berubah karena aku berhasil tumbuh? Entahlah.

Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bagi beberapa orang “untuk apa, sih, dipertanyakan? hanya akan menambah beban pikiran?” tanpa disadari, dapat menjadi alasan aku mau terus terbangun setiap pagi. Membuatku mau terus mencari celah mana yang bisa kujadikan alasan untuk terus melangkahkan kaki.

Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna salah satunya karena manusia mau dan mampu berpikir. Seperti yang dikatakan Descartes, “Cogito Ergo Sum” aku berpikir, maka aku ada.

Maka aku berpikir; memikirkan banyak hal yang kadang memang tidak penting-penting amat, tapi juga berpengaruh cukup banyak sebagai hal yang mengisi hidupku. Atau minimal, mampu membuatku akhirnya menulis. Seperti saat ini.

Jika melihat judul tulisanku sekarang, sebenarnya kehidupan usia 20an-ku belum berakhir. Masih cukup panjang untuk sampai ke akhir. Tapi entah mengapa, aku merasa desperate (?)

Berpikir bahwa aku hanya akan menghabiskan waktu–lagi-lagi–dengan tidak meraih apa pun. Sounds so pessimistic and pathetic, ‘aight???

Memang yaa, meskipun sudah berkali-kali dikecewakan oleh keadaan karena terlalu banyak berharap, manusia tetap butuh harapan. Salah satunya yang detik ini bisa menyelamatkanku adalah kepercayaan dan harapan bahwa ketika usia 20an-ku berakhir, itu bukanlah akhir dari segalanya. Justru kehidupanku yang lebih serius, akan dimulai di usia 30 — tetap, hanya jika Tuhan mengizinkan.

Namun — lagi-lagi — untuk apa aku terlalu mengkhawatirkan masa depan, ya? Bukankah, aku malah jadi menyia-nyiakan masa kini dengan terlalu khawatir akan masa di mana aku belum tentu masih ada? Ah, dasar manusia aneh. Kesia-siaanku ternyata terjadi karena diriku sendiri.

Teman-teman, ternyata tidak perlu menunggu usia 20an-ku berakhir untuk mulai menghidupkan hidupku lagi. Ternyata aku hanya perlu memikirkan dan menjalani dengan sadar kehidupanku hari ini.

Jadi semestinya aku menulis:

I SHOULD LIVE MY LIFE TODAY, BEFORE IT BECAME YESTERDAY.

It’s so funny. How God makes me find a peace when I’m so worried, sometimes makes me want to laugh. Ya, terkadang kita memang perlu tersesat dulu, untuk akhirnya menemukan diri kita sendiri, kan?

0 komentar:

Biggest loss of my life

11:39 AM 0 Comments

Ini akan menjadi catatan yang cukup pajang perihal kehilangan.
Hal yang paling memilukan dalam hidup, ternyata aku kebagian. Terkadang, jika harus diberi pilihan, aku akan memilih untuk mengalami kehilangan saat aku belum mengerti bagaimana rasanya ditinggalkan. Jika hal itu terjadi, aku tidak akan memiliki kesempatan memiliki kenangan yang banyak karena ditinggalkan sejak usia dini, namun begitu, lukaku pasti tidak sebesar ini.

Memang, pada dasarnya segala sesuatu tidak akan bisa kita pahami jika tidak kita alami. Dulu, kehilangan-kehilangan yang seringkali aku saksikan menimpa orang lain, hanya mampu sampai pada rasa simpati dan empatiku. Cukup disitu. Sekarang, saat aku mengalaminya langsung, perasaanku — tidak, bahkan hidupku — porak poranda. Rasanya tidak berlebihan jika aku mengatakan bahwa aku hancur berkeping-keping.

Sebenarnya belakangan, aku selalu memikirkan bagaimana jika dalam waktu dekat aku mengalami pengalaman menyakitkan ini. Diam-diam aku sering membayangkan pemakaman. Namun bahkan dalam bayanganku pun, aku tidak sanggup merasakan kesedihan yang sebesar itu.

Hingga saat tiba waktunya Tuhan memanggil ibu pulang ke pangkuan-Nya, aku hancur. Kesedihan tak lagi sanggup aku bendung. Aku bingung. Harus bagaimana aku menghadapi hidup tanpa kehadiran ibu sebagai alasanku bertahan hidup?

Aku sadar, Bapak masih ada. Namun baru aku sadari juga bahwa kepergian ibu, tak hanya membuatku kehilangannya, melainkan membuat senyum dan binar mata Bapak yang menjadi titik tumpuku mencapai tuju ikut sirna. Seketika, dunia bukan hanya runtuh di depan mataku. Tetapi aku seperti musafir yang kehilangan arah. Aku tersesat.

Orang bilang — bahkan aku pun sering bilang — bahwa waktu bisa menyembuhkan segalanya. Tapi ternyata, tidak. Waktu tidak dapat menyembuhkan apa pun. Tapi seiring berjalannya waktu, aku percaya aku akan terbiasa. Lukaku akan terbias oleh kebiasaan baru di mana tak akan ada lagi ibu. Dan bagiku, hal itu berbeda dengan makna “sembuh”.

Pada sebuah lirik lagu pernah kutemukan kalimat “Kalau sudah tiada, baru terasa.” Benar. Ketiadaan ibu di hidupku kini membuat aku merasakan banyak hal yang tidak aku sadari. Aku banyak menyesali kepribadianku yang tidak pandai menunjukkan kasih sayang, yang kerap merasa enggan menunjukkan perhatian.

Setelah ibu pergi, rasanya aku ingin ia mendengar pengakuanku bahwa aku sangat menyayanginya. Aku begitu menghormatinya. Dan seandainya ada kesempatan berbicara secara terbuka, aku ingin ia tahu bahwa untuk segala hal yang telah aku raih, aku membanggakannya.

Aku menyesal karena aku terlambat menyadari betapa hal-hal baik dalam hidupku terjadi bukan hanya karena usahaku — yang tak seberapa — melainkan karena besar peran ibu sebagai orang tua yang tak pernah putus berdoa.

Beberapa tahun lalu, aku membaca buku The Art of Loving yang ditulis oleh Erich Fromm. Pada salah satu bab, aku menemukan jawaban mengapa Cinta kepada keluarga — terutama orang tua — kerap tidak terasa seperti Cinta. Aku kerap bertanya mengenai hal itu. Mengapa jatuh cinta rasanya berbeda dengan cinta yang kita miliki untuk kedua orang tua kita? Erich Fromm menjelaskan bahwa Cinta kerap hadir dengan berbagai alasan. Jadi, kalimat “aku mencintaimu tanpa alasan apa pun” adalah sebuah omong kosong.

Mengapa jatuh cinta kepada lawan jenis dengan cinta kepada kedua orang tua terasa berbeda, karena manusia membutuhkan banyak alasan untuk membuat cinta tumbuh kepada manusia lain. Namun hanya memiliki satu alasan untuk mencintai keluarganya. Ibu dan Bapak mencintai anaknya karena dia adalah anaknya. Begitu juga anak mencintai Ibu/Bapaknya karena mereka adalah kedua orang tuanya. Sesederhana itu.

Aku tertegun sesaat, kalimat-kalimat itu menetap dalam benakku. Tetapi masih belum bisa aku maknai dengan baik. Hingga akhirnya aku kebagian pengalaman kehilangan, aku paham arti dari alasan sederhana tersebut — yang bahkan sebelumnya pernah aku anggap sebuah alasan yang remeh.

Jika mencintai ibu membutuhkan banyak alasan seperti bagaimana mencintai manusia lain, maka aku akan kewalahan. Aku tak akan bisa menghitung seberapa banyak kasih sayang ibu yang aku terima selama 25 tahun aku hidup di dunia. Aku tidak bisa memperkirakan apa saja hal baik yang sudah ibu lakukan untuk membuat aku baik-baik saja. Terlalu banyak. Terlalu sesak untuk aku ingat.

Tetapi, satu hal yang aku ingin dunia tahu perihal ibu. Ia berhasil menjadi seorang ibu. Ia berhasil mendidikku. Aku merasa selama 25 tahun aku hidup, aku tumbuh dengan baik. Ke depannya aku masih belum tahu akankah kehidupanku tetap akan baik-baik saja tanpanya. Sebab 25 tahun adalah waktu yang begitu singkat untuk mengumpulkan kesenangan lewat kenangan yang tersimpan dalam ingatan.

Bertahan hidup demi seseorang yang telah mati adalah tragedi terbesar yang mesti dilalui manusia. Aku enggan melakukannya. Maka, dengan tidak sedikit pun mengurangi rasa cinta dan hormatku pada ibu, aku tak akan mampu bertahan demi dirinya. Sebab jika hal itu terus aku simpan dalam kepala, aku akan semakin hancur berantakan.

Jadi, bu… Kali ini giliran Bapak yang menjadi alasanku bertahan. Kasihku padamu tetap dan akan selalu sama seperti kasihmu padaku, tak akan lekang oleh waktu. Doakan kami mampu saling mengisi kekosongan selepas kau pergi.

Aku, anak bungsumu yang sama sekali tidak siap kau tinggalkan, mencintaimu. Aku membanggakanmu. Aku harap Tuhan memberitahumu hal-hal ini. Sebab kau tidak bisa membaca, dan sialnya kau malah melahirkan seorang anak yang tidak pandai berkata.

0 komentar: