Misuh-Misuh pertama di Bulan 2 Tahun 2022

10:52 PM 0 Comments

Tulisan ini dibuat pukul 21.45, jadi selamat malam serta salam, sapa, sayang..

Kita awali tulisan pertama tahun 2022 di bulan kedua saja, ya. Bulan di mana hari kasih sayang dirayakan, begitu katanya. Jadi sayang kalau dilewatkan tanpa dihiasi keluhan.

Sebenarnya akhir-akhir ini sudah jarang sekali menulis. Meskipun di awal tahun berencana untuk membuat satu tulisan setiap harinya, namun seperti biasa, rencana hanyalah rencana. Akhirnya hanya mampu terlaksana selama satu minggu sehingga hanya menghasilkan 4 puisi, 1 prosa dan 1 cerpen saja.

Bingung juga, kenapa meluapkan keresahan lewat tulisan sekarang sulit sekali. Padahal, banyak yang ingin dibagi. Perihal usia yang sering mengganggu, waktu yang terus melaju, dan hidup yang seperti sedang berhadapan dengan jalan buntu.

Kalau dipikir-pikir, tahun ini sudah akan menginjak usia 24. Katanya, memang sedang fasenya. Banyak yang menyebut fase ini sebagai quarter life crisis.

Waktu yang berjalan bergitu cepat, meninggalkan banyak hal di belakang. Hal yang tidak kelihatan progresnya, tak terasa prosesnya. Tau-tau sudah hampir seperempat abad hidup di bumi. Menghirup udara secara gratis dan megeluhkan hidup diambang kritis.

Yah, memang kadang hal sekecil udara yang bisa dihirup tanpa harus mengeluarkan uang, kita lupakan. Makanya, wajar saja ada beberapa manusia yang malah menghakimi kesulitan orang lain dengan kalimat “kamu hanya kurang bersyukur”. Yang sebetulnya justru hal itu gak wajar, karena siapa juga yang mampu menukar udara dengan uang? Siapa yang berhak mendapat uang atas udara? Gak ada. Gak dapet yaa, maksudnya? Oke, skip.

Mengingat perkataan Adimas Immanuel bahwa “Hidup adalah transaksional..” memang betul. Tuhan memberikan nikmat hidup untuk kita nikmati sebelum dijemput mati. Tuhan ciptakan udara, bukan semata-mata agar manusia hidup, tapi bagaimana manusia mampu bertahan hidup dengan hal dasar yang Tuhan beri secara cuma-cuma. Intinya, hal terpenting untuk menopang kehidupan manusia sudah Tuhan beri, sisanya manusia harus usahakan sendiri.

Jadi, ya memang tidak ada yang gratis dalam hidup. Karena hidup adalah transaksional. Bedanya, transaksi manusia dengan Tuhan bukan semata-mata agar Tuhan memperoleh keuntungan, namun untuk manusia itu sendiri, agar mampu bertahan hidup dengan dilingkupi keberuntungan.

Maka dari itu, kalimat “kamu hanya kurang bersyukur” semakin hari semakin terasa menghakimi. Seolah-olah segala masalah ada karena manusia meniadakan nikmat Tuhan.

Oke sudah mulai melantur.

Point utama saya menulis ini adalah perihal quarter life crisis yang sedang saya rasakan sekarang. Jadi, mari kita kembali ke fokus awal.

Sosial media, yang saya anggap sebagai media hiburan, menjadi bumerang. Perasaan rendah diri, iri-dengki, marah terhadap diri sendiri, bahkan kesadaran bahwa saya sedang menghadapi jalan buntu disebabkan oleh sosial media itu sendiri. Saya semakin sering membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang membagikan kisah menarik dalam hidup mereka di laman sosial media.

Rasanya mereka sudah berada jauh di depan sana. Entah dengan pasangannya, dengan pekerjaannya, dengan prestasinya, atau lain sebagainya. Sedangkan saya di sini masih berdiam diri memikul pertanyaan “saya akan jadi apa?”, “saya sudah melakukan apa saja?”.

Namun, hal paling berbahaya yang saya rasakan terhadap pergolakan perasaan di atas, bukan hanya perasaan rendah diri tadi yang dominan menguasai, tapi ketika diri saya justru tidak berbuat apa-apa saat menyadari, saya belum juga menjadi “apa-apa”. Malah asyik tenggelam dalam kelamnya kehidupan di usia seperempat abad.

Ketika misalnya, pekerjaan yang sedang saya jalani sekarang dirasa tidak mencukupi kebutuhan ekonomi pribadi, saya malah asyik mengandalkan gaji dan mengisi hari-hari dengan misuh-misuh sambil ongkang-ongkang kaki. Bukannya mencari solusi untuk menambah penghasilan. Bodoh, kan? Maka dari itu, jangan ditiru.

Lalu kemudian, muncullah perasaan minder yang membuat progres hidup malah semakin mundur. Bukannya rendah hati, ini malah rendah diri. Gak heran kan, kenapa sering merasa sedang berada di fase terendah dalam hidup?

Tapi ya itu, tadi. Sudah tau masalahnya apa, sudah tau seharusnya bagaimana, malah tetap berdiam diri. Tuhan memberi cobaan untuk mengangkat derajat manusia. Eh, manusianya malah merendahkan diri sendiri di hadapan cobaan tanpa berusaha menghadapinya.

Sorakin mereka..
manusia-manusia yang seperti itu;
Manusia yang seperti saya.

Sudah, selamat malam.

0 komentar: