Misuh-Misuh pertama di Bulan 2 Tahun 2022
Tulisan ini dibuat pukul 21.45, jadi selamat malam serta salam, sapa, sayang..
Kita awali tulisan pertama tahun 2022 di bulan kedua saja,
ya. Bulan di mana hari kasih sayang dirayakan, begitu katanya. Jadi sayang kalau dilewatkan tanpa dihiasi keluhan.
Sebenarnya akhir-akhir ini sudah jarang sekali menulis.
Meskipun di awal tahun berencana untuk membuat satu tulisan setiap harinya,
namun seperti biasa, rencana hanyalah rencana. Akhirnya hanya mampu terlaksana selama satu minggu
sehingga hanya menghasilkan 4 puisi, 1 prosa dan 1 cerpen saja.
Bingung juga, kenapa meluapkan keresahan lewat tulisan sekarang
sulit sekali. Padahal, banyak yang ingin dibagi. Perihal usia yang sering
mengganggu, waktu yang terus melaju, dan hidup yang seperti sedang berhadapan
dengan jalan buntu.
Kalau dipikir-pikir, tahun ini sudah akan menginjak usia 24.
Katanya, memang sedang fasenya. Banyak yang menyebut fase ini sebagai quarter life crisis.
Waktu yang berjalan bergitu cepat, meninggalkan banyak hal di
belakang. Hal yang tidak kelihatan progresnya, tak terasa prosesnya. Tau-tau
sudah hampir seperempat abad hidup di bumi. Menghirup udara secara gratis dan
megeluhkan hidup diambang kritis.
Yah, memang kadang hal sekecil udara yang bisa dihirup tanpa
harus mengeluarkan uang, kita lupakan. Makanya, wajar saja ada beberapa manusia
yang malah menghakimi kesulitan orang lain dengan kalimat “kamu hanya kurang
bersyukur”. Yang sebetulnya justru hal itu gak wajar, karena siapa juga yang
mampu menukar udara dengan uang? Siapa yang berhak mendapat uang atas udara?
Gak ada. Gak dapet yaa, maksudnya? Oke, skip.
Mengingat perkataan Adimas Immanuel bahwa “Hidup adalah
transaksional..” memang betul. Tuhan memberikan nikmat hidup untuk kita nikmati
sebelum dijemput mati. Tuhan ciptakan udara, bukan semata-mata agar manusia
hidup, tapi bagaimana manusia mampu bertahan hidup dengan hal dasar yang Tuhan
beri secara cuma-cuma. Intinya, hal terpenting untuk menopang kehidupan manusia
sudah Tuhan beri, sisanya manusia harus usahakan sendiri.
Jadi, ya memang tidak ada yang gratis dalam hidup. Karena
hidup adalah transaksional. Bedanya, transaksi manusia dengan Tuhan bukan
semata-mata agar Tuhan memperoleh keuntungan, namun untuk manusia itu sendiri,
agar mampu bertahan hidup dengan dilingkupi keberuntungan.
Maka dari itu, kalimat “kamu hanya kurang bersyukur” semakin
hari semakin terasa menghakimi. Seolah-olah segala masalah ada karena manusia
meniadakan nikmat Tuhan.
Oke sudah mulai melantur.
Point utama saya menulis ini adalah perihal quarter life crisis yang sedang saya
rasakan sekarang. Jadi, mari kita kembali ke fokus awal.
Sosial media, yang saya anggap sebagai media hiburan, menjadi
bumerang. Perasaan rendah diri, iri-dengki, marah terhadap diri sendiri, bahkan
kesadaran bahwa saya sedang menghadapi jalan buntu disebabkan oleh sosial media
itu sendiri. Saya semakin sering membanding-bandingkan diri dengan orang lain
yang membagikan kisah menarik dalam hidup mereka di laman sosial media.
Rasanya mereka sudah berada jauh di depan sana. Entah dengan
pasangannya, dengan pekerjaannya, dengan prestasinya, atau lain sebagainya.
Sedangkan saya di sini masih berdiam diri memikul pertanyaan “saya akan jadi
apa?”, “saya sudah melakukan apa saja?”.
Namun, hal paling berbahaya yang saya rasakan terhadap
pergolakan perasaan di atas, bukan hanya perasaan rendah diri tadi yang dominan
menguasai, tapi ketika diri saya justru tidak berbuat apa-apa saat menyadari,
saya belum juga menjadi “apa-apa”. Malah asyik tenggelam dalam kelamnya
kehidupan di usia seperempat abad.
Ketika misalnya, pekerjaan yang sedang saya jalani sekarang
dirasa tidak mencukupi kebutuhan ekonomi pribadi, saya malah asyik mengandalkan
gaji dan mengisi hari-hari dengan misuh-misuh sambil ongkang-ongkang kaki. Bukannya
mencari solusi untuk menambah penghasilan. Bodoh, kan? Maka dari itu, jangan
ditiru.
Lalu kemudian, muncullah perasaan minder yang membuat progres
hidup malah semakin mundur. Bukannya rendah hati, ini malah rendah diri. Gak
heran kan, kenapa sering merasa sedang berada di fase terendah dalam hidup?
Tapi ya itu, tadi. Sudah tau masalahnya apa, sudah tau
seharusnya bagaimana, malah tetap berdiam diri. Tuhan memberi cobaan untuk
mengangkat derajat manusia. Eh, manusianya malah merendahkan diri sendiri di
hadapan cobaan tanpa berusaha menghadapinya.
Sorakin mereka..
manusia-manusia yang seperti itu;
Manusia yang seperti saya.
Sudah, selamat malam.
.png)
0 komentar: