Usia hanyalah angka, tapi seringnya menjadi batas kesempatan meraih cita
Haloo, uneg-unegnya
sudah sampai lebih dulu.
Tapi tetap, salam, sapa, sayangg ingin merayuuu.
Wadidaw. Lama tidak
meramu prakata menjadi paragraf cerita atau sekadar omong kosong belaka. Sebuah
intro yang sudah sama lumrahnya dengan “salam, sapa, sayang” rasanya.
Blog udah gak keurus. Tapi
badan saya semakin kurus. Ah, yang penting rejeki semoga lancar terus. Teman-teman
di mana pun berada semoga sehat selalu, kuat selalu, dan bahagia meskipun gak
selalu, yang penting keburu.
Begini, kalau dilihat
dari judul, sudah pasti begitu. Begitu resahnya saya di usia dua puluh dua. Mau
memberi pernyataan “sudah tua” tapi masih sering menyusahkan orang tua. Tak jarang,
masih juga berlindung dibalik punggung mereka.
Keresahan ini bermula
dari tadi. Hmm, maaf. Maksud saya, keresahan ini bermula sejak saya menyadari
bahwa di usia saya kini, sibuk memikirkan diri sendiri sudah bukan waktunya. Meskipun
hidup hanya sekali, tapi waktu mengulang berkali-kali. Sebagaimana angka 24 yang
menjadi batasan berputarnya jarum jam.
Usia juga gitu
kayaknya, banyak yang memberi pernyataan bahwa “usia hanyalah angka” tapi tak
sedikit yang menghiraukan bahwa angka berpengaruh besar terhadap itung-itungan
manusia dalam menjalani hidup.
Maka dari itu,
sebetulnya tidak heran jika manusia memberi batasan di usia berapa harus jadi sarjana,
di usia berapa harus sudah menikah, di usia berapa harus sudah memiliki
pekerjaan tetap, di usia berapa harus sudah memiliki rumah sendiri, di usia
berapa harus sudah punya dua anak, dan banyak di usia berapa-usia berapa
lainnya.
Begitu banget jadi
manusia. Hidup diisi kesibukan menyusun rencana, sampai tak sadar
mengikutsertakan bencana dengan membatasi diri di usia kesekian harus sudah
sampai tujuan. Padahal, usia hanyalah angka. Terbatas dari 0 sampai dengan 9.
Saya gak memprotes
manusia untuk berencana, justru bagus, jadi punya persiapan. Tapi, untuk
batasan-batasan di dalamnya, saya terganggu. Apalagi ketika menyadari bahwa
saya sudah di usia segini, teman-teman lain ada yang sudah mencapai batasan
yang ditentukan, lah saya ? Belum
apa-apa.
Memang, kita gak boleh iri, nanti dengki. Tapi, namanya manusia, terkadang nafsu dan pikirannya gak seimbang. Kayak jungkat-jungkit yang lagi asyik dimainkan anak-anak.
Kalau mood nya lagi bagus, pikiran dan isi hati
memberi umpan balik yang positif. Sebaliknya, kalau mood nya lagi buruk, yaa semua penyakit hati datang tanpa ampun. Gak
peduli jam 2 atau jam 3 malam. Akhirnya waktu tahajud diganti dengan waktu memutar playlist 3 a.m yang sangat chill
sembari udud. Astaghfirullah.. negative
vibes only.
Jadi, saya gak suka
kalau ada yang membatasi manusia untuk memulai mengejar mimpi di usia kepala
dua dengan prakata “Hmm, mana sempat. Keburu telat”.
Jangan membuat kami
patah semangat, dong. Untung-untung, kami masih punya mimpi. Kalau ngga, hidup
juga cuma diisi tuntutan, banyak pikiran, menebar kebohongan dan kepura-puraan.
Buat apa? Mending *piiiiiiiippp* saja.
Xixixi.
Bercanda. Tapi, serius.
Saya sudah muak dengan kalimat “sudah umur segitu, sudah bukan waktunya”. Ya,
sebagai seseorang yang dituntut sudah harus menjadi dewasa, saya paham. Toh,
mau tidak mau saya sudah menerima tuntutan tersebut. But fyi, proses dewasa setiap orang, kan, berbeda-beda. Pun dengan
pola pikir mereka.
Di usia segini, yang
sudah memikirkan untuk menikah banyak, memutuskan untuk menikah pun ada, dan yang
berlari menuju anak tangga mencapai karir yang cemerlang juga tak sedikit. Begitu
pun dengan mereka yang seperti saya. Di usia yang katanya “sudah bukan waktunya”,
malah menemukan mimpi mereka. Keinginan terpendam dari dalam diri mereka. Semangat
untuk menebus penyesalan atas kesempatan-kesempatan di masa lampau yang tidak dimanfaatkan
dengan baik. Justru merasa bahwa ini adalah waktunya.
Jadi, usia hanyalah
angka, bukan? Jarum jam memiliki batasan angka tapi tak ada yang tahu kapan ia
berhenti berputar. Saya juga mau seperti itu. Meski tak akan pernah menang
melawan sang waktu, tetapi saya akan membuat batasan usia saya tak terbatas.
Ecie gitu.
.png)

0 komentar: