Marah-Marah Tapi Malah Jadi Tambah Resah
Sudah malam di hari lebaran. Idul Adha gak bakar-bakaran. Di rumah tetap tamu berdatangan, akhirnya memutuskan untuk istirahat saja karena kelelahan.
Tapi saya belum tidur karena kangen
teman-teman. Maka dari itu, izinkan saya memberi salam, sapa, dan sayang.
Sudah kali kesekian saya
mengeluhkan rasa rindu untuk menulis kembali di sini. Tapi belum juga terpenuhi. Karena rasanya keresahan yang saya punya itu-itu saja. Semua sudah saya
utarakan juga. Makanya, bingung sendiri mau menulis apalagi?
Tapi malam ini tiba-tiba kepikiran soal
masalah saya yang itu-itu saja, justru dapat berakhir menjadi sebuah masalah baru. Iya,
gak? Hidup memang kadang berupa pengulangan, tapi masalahnya, saya selalu
mengulang masalah yang tidak pernah selesai saya hadapi. Jadi, kalau kayak gitu
apa pantas disebut pengulangan? Bukannya itu tak lebih dari penyelesaian
masalah yang tertunda? Alias, isi keresahan saya yang itu-itu aja, disebabkan
oleh masalah yang ternyata tanpa saya sadari memang tak pernah saya selesaikan.
Sialan!!!
Kesadaran akan hal ini membuat saya
jadi memiliki masalah baru. Meskipun ada untungnya, saya jadi punya bahan
tulisan untuk dibagi pada teman-teman. Tapi anjir, bikin saya jadi makin
pusing.
Saya sepayah ini apa, ya? Terus lari
dari sesuatu yang harusnya saya hadapi. Seakan sedang mengubur biji dari
buah-buahan yang ketika saya makan rasanya pahit. Eh, taunya si biji menjadi
benih di dalam tanah dan tumbuh menjadi tanaman baru tanpa saya sadari.
Masalah saya sekarang masih sama,
tak jauh dari perasaan rendah diri yang membuat saya tertinggal jauh dari
pencapaian orang-orang di sekitar saya. Suatu ketika saya sempat disadarkan
oleh keluarga, mereka bilang hidup saya berprogres, kok. Saya sudah hampir
menyelesaikan kuliah saya. Pekerjaan juga berjalan dengan baik sejauh ini,
bahkan saya sudah mulai bisa berbaur degan rekan di tempat kerja. Tapi, diri
saya sendiri tak merasakan apa-apa atas perubahan yang ada.
Kadang saya bertanya-tanya “memang definisi tumbuh yang saya inginkan
itu seperti apa, sih? Sampai-sampai saya tidak menyadari progres dari setiap
proses yang sudah saya lalui?”. Dan saya tidak menemukan jawabannya. Tapi
ada satu hal yang saya yakini sebagai salah satu pemicu perasaan rendah diri
yang saya miliki. Jangan tertawa membacanya, ya. Memang agak geli sejujurnya
mengutarakan hal ini. Tapi yasudah, gak apa-apa.
Saya masih sering merasa khawatir
dengan masalah finansial. Saya sering merasa tertinggal dari teman-teman yang
lain karena apa yang saya miliki sekarang masih jauh dari cukup untuk bekal
saya menata masa depan. Usia saya sudah hampir menginjak 24 tahun. Tapi bahkan
tabungan untuk hal-hal tak terduga pun tidak mencukupi. Padahal saya masih
tinggal bersama orang tua. Biaya sehari-hari perihal makan dan kebutuhan pokok
lainnya masih ditanggung oleh mereka. Sedangkan saya sudah hampir 7 tahun
bekerja.
Mungkin dalam sudut pandang kalian,
ini hanya perihal rasa iri saya saja kepada yang lainnya. Ya, mungkin hal ini
berakar dari sana. Tapi setelah dipikir-pikir, kalau saya begini terus, pasrah
terus dan tidak berambisi untuk memperbaiki masalah yang satu ini, bagaimana
hidup saya ke depannya? Apalagi di era sekarang ini, semua hal membutuhkan biaya.
Sudah kali kesekian saya berpikiran
untuk menambah penghasilan di luar pekerjaan. Tapi saya tidak tahu harus
melakukan apa. Saya juga terlalu banyak takutnya untuk mencoba hal baru.
Semangat saya berkreasi sudah tidak seperti dulu. Saya semakin bertambah payah.
Selain itu, sekarang saya semakin
merasa sedang kejar-kejaran dengan waktu. Ketika melihat ke belakang, saya
seolah disadarkan bahwa apa yang saya lakukan kemarin-kemarin ini hanya
main-main. Saya jadi merasa telah membuang-buang waktu yang seharusnya bisa saya
manfaatkan untuk mengembangkan diri.
Saya sudah muak sekali dengan diri
saya sendiri. Dengan perasaan takut yang terus menghantui. Dengan banyaknya
pertanyaan dalam kepala. Dengan jawaban-jawabannya yang menyadarkan saya betapa
hidup saya tidaklah dapat dikatakan sebuah kehidupan. Karena saya terus dan
selalu berlari di dalam lingkaran setan. Saya tak mampu berlari ke luar
jangkauan. Saya terlalu bermain aman. Saya memilih terus menjadi seorang
pecundang.
Menyebalkan!
Demi Tuhan, rasanya lebih baik saya
terus dihantui oleh banyaknya pertanyaan tentang hidup dalam kepala saya. Lebih
baik saya tidak menyadari ketakutan yang saya miliki. Daripada begini. Rasanya
saya hanya sedang menjebak diri saya sendiri dalam sebuah ketersesatan. Seolah
saya hanya sedang menunggu waktu saya mati untuk segera datang karena saya terlalu
takut menghadapi segala perubahan yang berakhir membawa saya pada hal asing
yang harus saya hadapi untuk bertahan hidup.
Saya sudah muak.
Benar-benar muak dengan kehidupan
yang saya jalani sekarang!
.png)
0 komentar: