Gado-Gado (dari Ambisi, Mimpi lalu Tulus dan Mawas Diri)

11:59 AM 0 Comments

Hidup tanpa ambisi, rasanya menenangkan namun tidak berisi.

Permisi.. salam, sapa, sayang!

Wah, sudah sangat lama saya tidak berkunjung. Mohon dimaklum, tahun ini hidup saya dihiasi banyak bingung.

Setiap tahun meskipun kosong tetap mengisi diri saya, entah kenapa saya merasakan berbagai macam perasaan yang berbeda. Seperti, tahun lalu banyak pilu, tahun ini banyak liku, tahun yang akan datang masih gatau.

Atas hal itu, saya jadi menyadari bahwa meskipun waktu berputar kembali ke angka satu setelah melewati angka dua belas, kemudian hari kembali pada hari senin setelah melewati selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, dan minggu. Saya melewatinya dengan cara yang berbeda meskipun dengan kegiatan yang sama.

Tanpa disadari, ternyata perubahan juga terjadi setiap hari. Hanya mungkin, kebiasaan jauh lebih dominan menunjukkan eksistensinya, maka beberapa hal akhirnya luput dari perhatian.

Melewati lebih dari setengah tahun ini, saya sudah membaca 21 buku-buku yang membuat saya jadi ingin mengadukan satu hal ini lewat tulisan. Ada hal baru yang saya temukan dalam diri saya. Satu lagi hal yang membuat saya mengenal diri saya.

Ambisi;

Di beberapa tulisan sebelumnya, mungkin saya pernah membahas atau sedikit menyebutkan perihal ambisi. Namun baru sekarang, saya menyadari bahwa selama 24 tahun saya hidup, ternyata saya benar-benar hidup tanpa ambisi.

Bahkan sejak saya duduk di bangku sekolah, saya cenderung menjadi siswa yang “dapet nilai gede, syukur. Kalo gak dapet, yang penting lulus.” Maka dari itu, dari dulu hingga sekarang saya cenderung tidak mendapat kesempatan untuk meraih sesuatu yang luar biasa membanggakan.

Hidup saya cenderung biasa-biasa saja. Kebiasaan saya untuk menghindari resiko, membuat eksistensi saya terkadang dilewatkan beberapa orang. Kemarin lalu, saya merasa orang-orang hanya menganggap saya ada ketika mereka membutuhkan saya. Entah membutuhkan tenaga, waktu, dan lainnya yang membuat mereka terbantu.

Pikiran seperti itu membuat saya sedih dan merasa kesepian. Saya paham bahwa hidup adalah transaksional, tapi jika semua merujuk pada hal tersebut, maka apa arti sebuah ketulusan?

Tapi kemudian saya sadar, itu hanya perasaan sesaat. Pilu yang dibuat-buat. Meskipun saya lelah, saya tidak mau berhenti menebar kebaikan –menurut saya membantu orang lain adalah hal yang baik. Sampai ada masa  di mana saya merasa sangat muak dengan pertanyaan “Lagi sibuk ga?”, karena saya tidak bisa menjawab “Iya, saya lagi sibuk”, kemudian menolak untuk membantu karena diri saya juga sedang butuh bantuan. Saya tidak bisa melakukannya.

Kadang-kadang batin saya mengecam. Saya seharusnya memiliki batasan. Tapi saya tidak bisa tegas menghadapi hal-hal semacam itu.

Itu pula yang cenderung membuat saya lebih mengutamakan kebutuhan orang lain ketimbang diri saya sendiri. Di mana kemudian, hal itulah yang membuat saya tidak berambisi untuk meraih hal-hal gemilang untuk diri saya sendiri.

Pekerjaan saya banyak tertunda, tapi saya bekerja begitu terlunta-lunta. Lalu hasilnya, biasa saja.

Berkali-kali saya jelaskan bahwa saya pribadi yang memiliki banyak mimpi di kepala. Namun realitanya, saya membiarkan hidup berjalan sebagaimana adanya. Tanpa banyak berusaha, tanpa banyak meminta, dan kalau boleh jujur, saya tidak terlalu banyak berdoa. Maksud saya, sudah lama saya tidak bisa berdoa untuk kepentingan diri saya sendiri. Saat berdoa saya cenderung menggunakan template doa yang itu-itu saja. Namun hebatnya, hidup saya baik-baik saja, mesipun berjalan sekenanya.

Sekali lagi, saya paham makna Tuhan Maha Segala. Bahkan ketika saya bingung melantunkan doa. Tuhan tahu apa yang saya butuhkan dan memberikan segala pertolongan tanpa pamrih.

BINGOOO!!!

Bukankah, itu arti sebuah ketulusan?

0 komentar: