Cerita Bapak...

11:50 PM 0 Comments


Bapak bukan pria pandai yang menyandang banyak gelar dibelakang namanya. Pendidikan yang ia tempuh dimasa muda bahkan tidak lebih tinggi dari anak-anak nya. Tapi sejak dulu, diluar cerita cerita islami, bapak sangat senang kalau bercerita tentang sejarah Indonesia. Tak jarang pula ia mengajak ku membicarakan hal-hal menggelitik tentang politik.

Termasuk membicarakan betapa hebat nya Bung Karno dalam memimpin Negara, seberapa setia dan cerdas nya Bung Hatta, Peristiwa Rengasdengklok, dan zaman dimana Indonesia berada dibawah pimpinan Soeharto, masa-masa orde baru hingga bercerita seberapa menderita nya beliau mencari nafkah di tahun kelahiran ku. Tahun 1998. Masa Reformasi. Masa runtuh nya rezim Orde Baru dan Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan nya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Pada masa itu, beliau yang menjadikan Ibu Kota Jakarta sebagai tempat nya mengadu nasib mesti berhadapan dengan riuh nya teriakan mahasiswa dengan kalimat yang sama; “Reformasi !!!”. Dan barisan tentara yang gagah perkasa dimana-mana.

Ia mesti terlibat dalam hiruk pikuk ibu kota yang penuh asap hitam dari ban, mobil, gerobak, atau benda apapun yang dibakar masa dengan penuh api emosi. Sedangkan di rumah, seorang istri yang sedang mengandung dan ke lima anak nya menunggu ia pulang dengan rasa cemas.

Kala itu (kalau tidak salah bulan Mei 1998) terjadi kerusuhan di Ibu Kota. Kondisi Bapak masih disana. Untuk pulang ke rumah tempat ia dan keluarga kecilnya tinggal, beliau harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam dengan bus. Tapi pada saat itu semua transportasi lumpuh total. Jakarta benar-benar dalam kondisi terburuk nya. Disebabkan oleh manusia-manusia yang dikuasai setan emosi. Dari pasar tradisional tempat ia bekerja, mula-mula ia naik ojek menuju terminal bus. Dengan biaya ojek yang lebih mahal dari biasanya (karena resiko bepergian dijalanan ibu kota yang porak poranda cukup besar). Diterminal bus, Bapak merasa beruntung sebab masih tersisa beberapa bus jurusan Kali Deres - Labuan masih beroperasi. Tapi perjalanan tak semulus itu. Baru beberapa meter saja bus berjalan, segerombolan orang menghentikan laju bus dan menyuruh semua penumpang nya untuk turun serta memerintahkan mereka agar melanjutkan perjalanan tanpa menggunakan alat transportasi apapun. Entah apa yang terjadi, Bapak dan banyak penumpang saat itu hanya bisa menerka nerka dengan penuh rasa ngeri.

Setelah kejadian itu, Bapak yang semula mencoba mencari alat transportasi lain menyerah dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Ya, berjalan kaki. Bapak harus menempuh perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Dengan segenap tekad dan keberanian menembus tiap sudut Jakarta yang mengerikan, Bapak terus melangkahkan kaki nya tanpa henti. Hingga setelah beberapa jam menjauh dari kerumunan manusia yang kesetanan. Di wilayah (aku lupa masih di wilayah Jakarta atau sudah di luar Jakarta) yang sekiranya cukup aman dari kerusuhan, Bapak menemukan bus dengan tujuan Pandeglang. Dengan peluh disekujur tubuh, bibir yang terus menggerutu dan mengeluarkan sumpah serapah serta kalimat Istighfar secara bersamaan, Bapak terduduk dalam bus. Berharap semoga perjalanan pulang nya kali ini tak dihalangi setan mana pun. Sebab di rumah, keluarga kecil nya sedang menunggu dengan cemas.

Dan syukurnya, Bapak sampai rumah dengan selamat. Semua bergembira melihat Bapak datang dalam keadaan sehat. Meski uang disaku nya yang lusuh hanya tinggal beberapa perak. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah Bapak pulang membawa sebuah kisah. Bukan sebuah kisah yang membawa Bapak pulang dan hanya menyisakan nama nya untuk dikenang.

Lagi pula di bulan September di tahun yang sama, ada yang harus Bapak sambut dengan suka cita. Ada yang menanti adzan Bapak di kedua telinganya. Ada tangis yang harus Bapak dengar. Ada seorang tokoh baru dalam keluarga yang berperan sebagai putri bungsu Bapak. Ada aku yang akan menyandang nama yang Bapak buat berdasar pengalaman tak menyenangkan di tahun 1998. "Gebrakan Reformasi Nasional"; begitu kata Bapak, sebelum akhirnya sebuah Akta Kelahiran menampilkan nama "Gebrina Sephira" sebagai nama bayi perempuan yang kini aku kenal sebagai diriku sendiri.

Sungguh, kisah mu yag kau tuangkan sebagai arti dibalik nama ku membuat aku bangga setiap kali memperkenalkan diri, Pak. Terima kasih.

0 komentar: