Pengecut

8:12 PM 0 Comments

Meski sudah berlalu, tetap selamat lebaran untuk teman-teman.
Salam, sapa, sayang!

Langsung saja. Menurut kalian, kadang jadi pengecut itu perlu gak, sih ? Menurut saya, perlu. Karena dengan kepengecutan diri yang kita miliki, kita jadi bisa membatasi; Membatasi diri agar tidak merasa tinggi, membatasi diri agar tidak mengedepankan ego, membatasi diri agar kita tahu porsi kita tuh di mana, dan membatasi diri agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Meskipun dibanyak kesempatan, menjadi seorang pengecut membuat saya melewatkan banyak hal yang saya punya untuk berani keluar dari zona nyaman. Padahal, kalau diri saya pemberani, saya mungkin sudah sampai pada salah satu mimpi yang saya kehendaki. Tapi karena saya pengecut, sampai detik ini mimpi-mimpi tadi masih hanya sebuah mimpi.

Saya tiba-tiba kepikiran kayak gini, karena saya pribadi yang pengecut. Bahkan mau nyalip mobil di jalanan aja, saya sering urung. ‘Biar lambat yang penting selamat’, kesannya gitu. Tapi kalau lagi konvoi sama teman-teman yang naik motor, bukan lagi ‘biar lambat yang penting selamat’ tapi ‘biar mereka duluan, saya belakangan’ meskipun berakhir jadi merepotkan, karena teman-teman yang baik hati rela mengurangi kecepatan dan merelakan waktu yang terbuang hanya untuk berada dibelakang motor saya sampai ke tempat tujuan.

Dasar saya, sudah jadi pengecut, merepotkan pula.

Tapi di luar faktor merepotkan tadi, saya yang pengecut setidaknya sudah menjaga diri. Tidak kebut-kebutan di jalan, mengurangi resiko kecelakaan, kan ? Meskipun musibah mah gak ada yang tahu. Mau sedang berhati-hati atau tidak, kalau Allah menghendaki, bakal tetap kejadian. Karena resiko seorang pengendara ya begitu, kalau gak nabrak, ya ditabrak. Tapi, sebagai manusia ada baiknya kita menghindari. Bukan begitu ? Skip.

Kemudian, kepengecutan diri saya yang lain adalah selalu mangkirnya diri saya untuk keluar dari zona nyaman. Zona yang memabukkan, zona yang paling aman, zona yang serupa racun dengan kecepatan membunuh yang lamban namun tetap mematikan.

Kalau saja saya memiliki keberanian untuk mau memperjuangkan mimpi-mimpi saya yang lalu, akan ada dua kemungkinan. Saya sudah sampai atau saya sudah gagal. Di mana, meskipun ada kemungkinan gagal, dengan begitu saya jadi tidak penasaran dan saya jadi punya pengalaman, bukan ? Saya juga bisa jadi semakin tahu posisi dan porsi diri saya. Kemampuan dan kemauan saya sudah selaras atau belum. Sayangnya, kepengecutan membuat gagal dan sampainya saya hanya terjadi dalam kepala. Tidak benar-benar nyata.

Namun ajaibnya, hal-hal menjengkelkan itu terus mencari pembelaan –seperti sekarang. Kepengecutan membuat diri saya tidak tumbuh dengan banyak wawasan dan pengalaman bertualang, namun saya jadi banyak berpikir dan banyak berbicara dengan diri sendiri.

Kepengecutan membuat saya menikmati ruang sendiri. Mulai paham makna tumbuh dalam jeruji yang dibatasi besi-besi berupa rasa kasih sayang ibu, bapak dan kakak-kakak. Kepengecutan membuat diri saya jadi pribadi yang tidak mandiri. Tapi memiliki kesiapan pabila kelak harus hidup mengembara sendirian. Kepercayaan diri yang tak tahu diri sebenarnya. Tapi setidaknya, saya jadi tidak memiliki perasaan takut jika kelak waktunya tiba, saya harus keluar dari zona nyaman.

Begitulah pembelaan diri dari si pengecut. Setiap kali takut, ia beringsut mencari selimut. Payah, tapi bukan masalah. Jadi pengecut kadang ada baiknya. Baiknya, bisa terus mencari pembelaan diri agar segala yang kalut tidak semakin kusut.

Dasar pengecut!

0 komentar: