Gado-Gado (dari Ambisi, Mimpi lalu Tulus dan Mawas Diri)
Hidup tanpa ambisi, rasanya menenangkan namun tidak berisi.
Permisi.. salam, sapa, sayang!
Wah, sudah sangat lama saya tidak
berkunjung. Mohon dimaklum, tahun ini hidup saya dihiasi banyak bingung.
Setiap tahun meskipun kosong tetap
mengisi diri saya, entah kenapa saya merasakan berbagai macam perasaan yang
berbeda. Seperti, tahun lalu banyak pilu, tahun ini banyak liku, tahun yang akan datang masih gatau.
Atas hal itu, saya jadi menyadari
bahwa meskipun waktu berputar kembali ke angka satu setelah melewati angka dua
belas, kemudian hari kembali pada hari senin setelah melewati selasa, rabu,
kamis, jumat, sabtu, dan minggu. Saya melewatinya dengan cara yang berbeda
meskipun dengan kegiatan yang sama.
Tanpa disadari, ternyata perubahan
juga terjadi setiap hari. Hanya mungkin, kebiasaan jauh lebih dominan
menunjukkan eksistensinya, maka beberapa hal akhirnya luput dari perhatian.
Melewati lebih dari setengah tahun
ini, saya sudah membaca 21 buku-buku yang membuat saya jadi ingin mengadukan
satu hal ini lewat tulisan. Ada hal baru yang saya temukan dalam diri saya.
Satu lagi hal yang membuat saya mengenal diri saya.
Ambisi;
Di beberapa tulisan sebelumnya,
mungkin saya pernah membahas atau sedikit menyebutkan perihal ambisi. Namun
baru sekarang, saya menyadari bahwa selama 24 tahun saya hidup, ternyata saya
benar-benar hidup tanpa ambisi.
Bahkan sejak saya duduk di bangku
sekolah, saya cenderung menjadi siswa yang “dapet nilai gede, syukur. Kalo gak
dapet, yang penting lulus.” Maka dari itu, dari dulu hingga sekarang saya
cenderung tidak mendapat kesempatan untuk meraih sesuatu yang luar biasa
membanggakan.
Hidup saya cenderung biasa-biasa
saja. Kebiasaan saya untuk menghindari resiko, membuat eksistensi saya
terkadang dilewatkan beberapa orang. Kemarin lalu, saya merasa orang-orang
hanya menganggap saya ada ketika mereka membutuhkan saya. Entah membutuhkan
tenaga, waktu, dan lainnya yang membuat mereka terbantu.
Pikiran seperti itu membuat saya
sedih dan merasa kesepian. Saya paham bahwa hidup adalah transaksional, tapi
jika semua merujuk pada hal tersebut, maka apa arti sebuah ketulusan?
Tapi kemudian saya sadar, itu hanya
perasaan sesaat. Pilu yang dibuat-buat. Meskipun saya lelah, saya tidak mau
berhenti menebar kebaikan –menurut saya membantu orang lain adalah hal yang
baik. Sampai ada masa di mana saya
merasa sangat muak dengan pertanyaan “Lagi sibuk ga?”, karena saya tidak bisa
menjawab “Iya, saya lagi sibuk”, kemudian menolak untuk membantu karena diri
saya juga sedang butuh bantuan. Saya tidak bisa melakukannya.
Kadang-kadang batin saya mengecam.
Saya seharusnya memiliki batasan. Tapi saya tidak bisa tegas menghadapi hal-hal
semacam itu.
Itu pula yang cenderung membuat
saya lebih mengutamakan kebutuhan orang lain ketimbang diri saya sendiri. Di
mana kemudian, hal itulah yang membuat saya tidak berambisi untuk meraih
hal-hal gemilang untuk diri saya sendiri.
Pekerjaan saya banyak tertunda,
tapi saya bekerja begitu terlunta-lunta. Lalu hasilnya, biasa saja.
Berkali-kali saya jelaskan bahwa
saya pribadi yang memiliki banyak mimpi di kepala. Namun realitanya, saya
membiarkan hidup berjalan sebagaimana adanya. Tanpa banyak berusaha, tanpa
banyak meminta, dan kalau boleh jujur, saya tidak terlalu banyak berdoa. Maksud
saya, sudah lama saya tidak bisa berdoa untuk kepentingan diri saya sendiri.
Saat berdoa saya cenderung menggunakan template
doa yang itu-itu saja. Namun hebatnya, hidup saya baik-baik saja, mesipun
berjalan sekenanya.
Sekali lagi, saya paham makna Tuhan
Maha Segala. Bahkan ketika saya bingung melantunkan doa. Tuhan tahu apa yang
saya butuhkan dan memberikan segala pertolongan tanpa pamrih.
BINGOOO!!!
Bukankah, itu arti sebuah ketulusan?
.png)
0 komentar: