When my twenties end, I hope my life begins

Seiring berjalannya waktu, peradaban mulai berubah. Meskipun hidup sejatinya berputar seperti roda, kehidupan dari jaman ke jaman begitu repetitif. Sama seperti kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali setiap makhluk. Kehidupan akan terus berjalan seperti diam di tempat.

Sejarah terjadi berulang kali dalam bentuk yang berbeda. Kebodohan kembali membawa kegelapan, namun kemudian cahaya kembali terpendar dan menyelamatkan umat manusia. Hidup tanpa kita sadari terus berjalan seperti yang sudah-sudah. Menariknya, skenario Tuhan membangun cerita bergitu beragam.

Persis saat ini, saat hendak meninggalkan usia belasan tahun lalu, di tengah keresahan dan gairah menyambut usia 20an, aku berpikir bahwa “hidupku dimulai saat memasuki usia 20 tahun”.

Sekarang, aku sedang menjalani “hidupku” itu. Meski dengan tertatih-tatih dan merasa banyak kehilangan waktu karena aku membuang-buangnya. Namun disaat bersamaan, aku merasa sedang dikejar-kejar waktu, karena aku merasa belum meraih apa pun dalam “hidupku”. Itu adalah perasaan yang terasa aneh dan membuat frustasi.

Kadang aku bertanya-tanya, perubahan dalam hidupku ini memang hasil dari prosesku tumbuh, atau memang seiring berjalannya waktu, hidup berubah dengan sendirinya? Aku sering berpikir dan merasa bahwa aku hidup dengan hanya menjalani arus. Maka, apa itu artinya aku tumbuh karena memang hidup membawa perubahan? Atau hidupku berubah karena aku berhasil tumbuh? Entahlah.

Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bagi beberapa orang “untuk apa, sih, dipertanyakan? hanya akan menambah beban pikiran?” tanpa disadari, dapat menjadi alasan aku mau terus terbangun setiap pagi. Membuatku mau terus mencari celah mana yang bisa kujadikan alasan untuk terus melangkahkan kaki.

Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna salah satunya karena manusia mau dan mampu berpikir. Seperti yang dikatakan Descartes, “Cogito Ergo Sum” aku berpikir, maka aku ada.

Maka aku berpikir; memikirkan banyak hal yang kadang memang tidak penting-penting amat, tapi juga berpengaruh cukup banyak sebagai hal yang mengisi hidupku. Atau minimal, mampu membuatku akhirnya menulis. Seperti saat ini.

Jika melihat judul tulisanku sekarang, sebenarnya kehidupan usia 20an-ku belum berakhir. Masih cukup panjang untuk sampai ke akhir. Tapi entah mengapa, aku merasa desperate (?)

Berpikir bahwa aku hanya akan menghabiskan waktu–lagi-lagi–dengan tidak meraih apa pun. Sounds so pessimistic and pathetic, ‘aight???

Memang yaa, meskipun sudah berkali-kali dikecewakan oleh keadaan karena terlalu banyak berharap, manusia tetap butuh harapan. Salah satunya yang detik ini bisa menyelamatkanku adalah kepercayaan dan harapan bahwa ketika usia 20an-ku berakhir, itu bukanlah akhir dari segalanya. Justru kehidupanku yang lebih serius, akan dimulai di usia 30 — tetap, hanya jika Tuhan mengizinkan.

Namun — lagi-lagi — untuk apa aku terlalu mengkhawatirkan masa depan, ya? Bukankah, aku malah jadi menyia-nyiakan masa kini dengan terlalu khawatir akan masa di mana aku belum tentu masih ada? Ah, dasar manusia aneh. Kesia-siaanku ternyata terjadi karena diriku sendiri.

Teman-teman, ternyata tidak perlu menunggu usia 20an-ku berakhir untuk mulai menghidupkan hidupku lagi. Ternyata aku hanya perlu memikirkan dan menjalani dengan sadar kehidupanku hari ini.

Jadi semestinya aku menulis:

I SHOULD LIVE MY LIFE TODAY, BEFORE IT BECAME YESTERDAY.

It’s so funny. How God makes me find a peace when I’m so worried, sometimes makes me want to laugh. Ya, terkadang kita memang perlu tersesat dulu, untuk akhirnya menemukan diri kita sendiri, kan?

Biggest loss of my life

Ini akan menjadi catatan yang cukup pajang perihal kehilangan.
Hal yang paling memilukan dalam hidup, ternyata aku kebagian. Terkadang, jika harus diberi pilihan, aku akan memilih untuk mengalami kehilangan saat aku belum mengerti bagaimana rasanya ditinggalkan. Jika hal itu terjadi, aku tidak akan memiliki kesempatan memiliki kenangan yang banyak karena ditinggalkan sejak usia dini, namun begitu, lukaku pasti tidak sebesar ini.

Memang, pada dasarnya segala sesuatu tidak akan bisa kita pahami jika tidak kita alami. Dulu, kehilangan-kehilangan yang seringkali aku saksikan menimpa orang lain, hanya mampu sampai pada rasa simpati dan empatiku. Cukup disitu. Sekarang, saat aku mengalaminya langsung, perasaanku — tidak, bahkan hidupku — porak poranda. Rasanya tidak berlebihan jika aku mengatakan bahwa aku hancur berkeping-keping.

Sebenarnya belakangan, aku selalu memikirkan bagaimana jika dalam waktu dekat aku mengalami pengalaman menyakitkan ini. Diam-diam aku sering membayangkan pemakaman. Namun bahkan dalam bayanganku pun, aku tidak sanggup merasakan kesedihan yang sebesar itu.

Hingga saat tiba waktunya Tuhan memanggil ibu pulang ke pangkuan-Nya, aku hancur. Kesedihan tak lagi sanggup aku bendung. Aku bingung. Harus bagaimana aku menghadapi hidup tanpa kehadiran ibu sebagai alasanku bertahan hidup?

Aku sadar, Bapak masih ada. Namun baru aku sadari juga bahwa kepergian ibu, tak hanya membuatku kehilangannya, melainkan membuat senyum dan binar mata Bapak yang menjadi titik tumpuku mencapai tuju ikut sirna. Seketika, dunia bukan hanya runtuh di depan mataku. Tetapi aku seperti musafir yang kehilangan arah. Aku tersesat.

Orang bilang — bahkan aku pun sering bilang — bahwa waktu bisa menyembuhkan segalanya. Tapi ternyata, tidak. Waktu tidak dapat menyembuhkan apa pun. Tapi seiring berjalannya waktu, aku percaya aku akan terbiasa. Lukaku akan terbias oleh kebiasaan baru di mana tak akan ada lagi ibu. Dan bagiku, hal itu berbeda dengan makna “sembuh”.

Pada sebuah lirik lagu pernah kutemukan kalimat “Kalau sudah tiada, baru terasa.” Benar. Ketiadaan ibu di hidupku kini membuat aku merasakan banyak hal yang tidak aku sadari. Aku banyak menyesali kepribadianku yang tidak pandai menunjukkan kasih sayang, yang kerap merasa enggan menunjukkan perhatian.

Setelah ibu pergi, rasanya aku ingin ia mendengar pengakuanku bahwa aku sangat menyayanginya. Aku begitu menghormatinya. Dan seandainya ada kesempatan berbicara secara terbuka, aku ingin ia tahu bahwa untuk segala hal yang telah aku raih, aku membanggakannya.

Aku menyesal karena aku terlambat menyadari betapa hal-hal baik dalam hidupku terjadi bukan hanya karena usahaku — yang tak seberapa — melainkan karena besar peran ibu sebagai orang tua yang tak pernah putus berdoa.

Beberapa tahun lalu, aku membaca buku The Art of Loving yang ditulis oleh Erich Fromm. Pada salah satu bab, aku menemukan jawaban mengapa Cinta kepada keluarga — terutama orang tua — kerap tidak terasa seperti Cinta. Aku kerap bertanya mengenai hal itu. Mengapa jatuh cinta rasanya berbeda dengan cinta yang kita miliki untuk kedua orang tua kita? Erich Fromm menjelaskan bahwa Cinta kerap hadir dengan berbagai alasan. Jadi, kalimat “aku mencintaimu tanpa alasan apa pun” adalah sebuah omong kosong.

Mengapa jatuh cinta kepada lawan jenis dengan cinta kepada kedua orang tua terasa berbeda, karena manusia membutuhkan banyak alasan untuk membuat cinta tumbuh kepada manusia lain. Namun hanya memiliki satu alasan untuk mencintai keluarganya. Ibu dan Bapak mencintai anaknya karena dia adalah anaknya. Begitu juga anak mencintai Ibu/Bapaknya karena mereka adalah kedua orang tuanya. Sesederhana itu.

Aku tertegun sesaat, kalimat-kalimat itu menetap dalam benakku. Tetapi masih belum bisa aku maknai dengan baik. Hingga akhirnya aku kebagian pengalaman kehilangan, aku paham arti dari alasan sederhana tersebut — yang bahkan sebelumnya pernah aku anggap sebuah alasan yang remeh.

Jika mencintai ibu membutuhkan banyak alasan seperti bagaimana mencintai manusia lain, maka aku akan kewalahan. Aku tak akan bisa menghitung seberapa banyak kasih sayang ibu yang aku terima selama 25 tahun aku hidup di dunia. Aku tidak bisa memperkirakan apa saja hal baik yang sudah ibu lakukan untuk membuat aku baik-baik saja. Terlalu banyak. Terlalu sesak untuk aku ingat.

Tetapi, satu hal yang aku ingin dunia tahu perihal ibu. Ia berhasil menjadi seorang ibu. Ia berhasil mendidikku. Aku merasa selama 25 tahun aku hidup, aku tumbuh dengan baik. Ke depannya aku masih belum tahu akankah kehidupanku tetap akan baik-baik saja tanpanya. Sebab 25 tahun adalah waktu yang begitu singkat untuk mengumpulkan kesenangan lewat kenangan yang tersimpan dalam ingatan.

Bertahan hidup demi seseorang yang telah mati adalah tragedi terbesar yang mesti dilalui manusia. Aku enggan melakukannya. Maka, dengan tidak sedikit pun mengurangi rasa cinta dan hormatku pada ibu, aku tak akan mampu bertahan demi dirinya. Sebab jika hal itu terus aku simpan dalam kepala, aku akan semakin hancur berantakan.

Jadi, bu… Kali ini giliran Bapak yang menjadi alasanku bertahan. Kasihku padamu tetap dan akan selalu sama seperti kasihmu padaku, tak akan lekang oleh waktu. Doakan kami mampu saling mengisi kekosongan selepas kau pergi.

Aku, anak bungsumu yang sama sekali tidak siap kau tinggalkan, mencintaimu. Aku membanggakanmu. Aku harap Tuhan memberitahumu hal-hal ini. Sebab kau tidak bisa membaca, dan sialnya kau malah melahirkan seorang anak yang tidak pandai berkata.

Seekor Ikan Mati

Dokumentasi Pribadi

Teman-teman yang semoga berbahagia, salam, sapa, sayang..

Saya baru saja membaca beberapa tulisan saya yang tidak rampung. Cukup menghibur diri meskipun tujuan saya untuk menemukan kembali motivasi menulis cerita belum ketemu.

Menulis memang sudah menjadi hal yang saya suka sejak saya masih sekolah. Hanya saja, saya adalah seorang manusia yang malas mengasah kemampuan dengan belajar dan mencari tahu lebih banyak tentang hal-hal yang saya suka. Maka, segala sesuatu hanya saya lakukan sekenanya. Termasuk kegiatan menulis ini.

Kebiasaan memiliki perasaan ‘cukup’ ini membuat saya menjadi manusia yang tidak memiliki kemampuan apa pun. Saya bersyukur sebab saya hidup sebagai seseorang yang memiliki banyak kegemaran dan rasa penasaran. Namun sayangnya, kedua hal itu tidak diiriingi motivasi atau keinginan dari diri saya untuk dapat menguasai hal yang saya sukai. Maka dari itu, saya tidak memiliki kompetensi khusus yang bisa membuat kehidupan saya berkembang.

Kalau mau dibilang menyesal, tentu saya menyesal. Setelah dewasa, saya baru menyadari bahwa memiliki kemampuan itu penting sebagai bekal bertahan hidup. Meskipun saya tetap mampu bertahan sampai detik ini menjalani kehidupan, namun ada banyak sekali moment di mana saya merasa saya tidak memiliki kehidupan itu sendiri.

Saya tidak dapat mengatakan bahwa tidak memiliki kemampuan adalah penyebab dari perasaan buruk itu muncul. Namun yang saya ketahui, kesadaran bahwa saya tidak memiliki kompetensi khusus, membuat saya memasrahkan diri. Hal ini kemudian membuat saya kerap memilih jalan hidup sebagaimana ia berjalan. Tak memiliki rencana, tujuan, dan selalu menghindari jalan yang memiliki banyak rintangan. Saya menjalani kehidupan seperti seekor ikan mati. Memasrahkan diri pada riak air yang mengalir ke hilir sungai.

Meskipun begitu, entah mengapa beberapa orang ada yang secara terang-terangan menyatakan kekaguman mereka pada saya. Mereka bilang saya hebat karena bisa melakukan apa saja. Menggambar, menulis puisi, desain grafis, dan lainnya. Saya sangat berterima kasih atas apresiasi dan pendapat positif mereka terhadap saya. Namun di luar itu, saya justru merasa malu. Dengan tanpa saya sadari, kegiatan mempublikasi hal-hal kecil yang saya bisa dan saya sukai ternyata telah membuat khalayak dengan tanpa sengaja menyaksikan ambisi fana yang dibungkus rapi dengan topeng kehidupan yang saya ciptakan. Hingga munculah nilai-nilai tersebut.

Ketika membaca tulisan ini, teman-teman mungkin akan merasa bahwa saya hanya sedang meracau dan memandang rendah diri sendiri. Mungkin ada benarnya, tapi justru saya sedang mengakui dan menerima bahwa diri saya ini tidak memiliki kemampuan yang istimewa seperti yang saya tampilkan di sosial media.

Namun apa daya, mau bagaimana lagi? Sudah hampir seperempat abad saya menjalani hidup seperti ini. Selama bertambahnya usia, saya merasa saya mengalami perubahan perasaan dan cara berpikir. Saat menginjak usia dua puluhan, saya begitu bergelora ingin mewujudkan mimpi-mimpi saya untuk menjadi seorang seniman. Ambisi saya begitu berkobar seperti nyala api di musim kemarau. Tetapi kenyataan yang saya hadapi membuat saya sering berkecil hati. Meskipun begitu usia di awal dua puluhan adalah usia terbaik bagi saya untuk merasakan mimpi-mimpi saya yang begitu nyata.

Sekarang semuanya sudah berbeda. Saya jauh lebih sering melihat kenyataan dalam mempertimbangkan sebuah pilihan untuk menjalani hidup. Mengesampingkan ego yang berisi mimpi masa muda, tidaklah mudah. Tapi begitu rupanya kehidupan berjalan ketika dewasa.

Saya kerap ingin menyerah pada mimpi-mimpi saya. Namun saya masih membutuhkannya. Setidaknya, untuk mengisi waktu luang saya agar disela kesibukan saya mereguk kehidupan, saya menemukan kesenangan. Karena saya sadar, merubah nasib adalah hal yang paling melelahkan. Sedangkan meraih mimpi adalah perjuangan sia-sia yang menyenangkan.

Terkadang saya berpikir apakah mungkin cita-cita adalah fana? Kita menciptakannya agar kita memiliki sesuatu untuk dituju. Sehingga kita akan terus mensyukuri kesempatan hidup yang Tuhan beri tanpa kita pinta.

Dulu, ketika ada seorang teman yang bertanya apa tujuan hidup saya? Dengan tegas saya dapat menjawab “Mati”. Kini, saya bertanya-tanya, untuk apa saya berjuang bertahan hidup jika tujuan hidup saya adalah mati?

Ketika saya masih memiliki cita-cita di dalam diri saya, “Mati” yang saya maksudkan sebagai suatu tujuan hidup adalah kematian di mana pengalaman dan bekal saya telah cukup untuk membawa saya bertemu Tuhan. Maka dari itu, saya terus berusaha untuk bertahan hidup agar bisa sampai pada tujuan hidup saya.

Betapa kemudian saya menyadari, cita-cita yang saya anggap fana itu telah menyelamatkan saya dari tujuan hidup saya yang ambigu. Maka, ketika perjalanan hidup menuju dewasa ini perlahan mengaburkan mimpi-mimpi saya dengan memperlihatkan kenyataan demi kenyataan di luar ekspektasi, saya selalu berharap agar segala mimpi perihal cita-cita saya tetap menyala. Sebab saya ingin terus merasa hidup meski kenyataan terus-terusan menghantam diri saya sampai rasanya hampir mati.

Meskipun saya menjalani kehidupan seperti seekor ikan mati, saya ingin tetap memiliki harapan walau hanya setitik cahaya dalam gua. Meskipun saya menjalani kehidupan hanya dengan mengikuti air sungai yang mengalir, saya ingin terus penasaran akankah di ujung sana saya akan menemukan lautan atau hanya kikisan batu di tanah basah yang mengering dan menghentikan perjalanan saya mereguk kehidupan hingga dasar cawan. Dengan begitu, saya akan terus memiliki alasan untuk bertahan hidup.

Salam.

Hidup Adalah Pertaruhan

Dokumentasi Pribadi

Salam, sapa, sayang...

Belakangan, saya sedang merasa kewalahan dengan pekerjaan yang sedang saya tekuni. Begitu banyak yang harus saya pegang, sementara lengan saya hanya dua dan waktu tak bisa diajak kerja sama untuk sekedar memberi jeda. Tapi setelah satu persatu saya selesaikan pekerjaan yang banyak itu, saya merasa betapa sesungguhnya saya menyukai pekerjaan saya.

Nominal gaji, mungkin menjadi salah satu hal yang membuat saya ingin beralih profesi. Saya tidak memungkiri bahwa saya menginginkan upah yang sepadan dengan apa yang sedang saya kerjakan. Karena memang dewasa kini, tujuan saya bekerja adalah untuk mencari nafkah bukan sekadar memperbanyak pengalaman.

Tapi kembali lagi, karena saya begitu menyukai pekerjaan saya saat ini, saya mampu bertahan. Mengesampingkan kebutuhan –atau keinginan semata– menukarnya dengan kenyamanan bekerja.

Saya kerap berpikir “apakah tidak apa-apa jika saya terus memilih jalan hidup yang seperti ini?” Ketika teman-teman lain sibuk mengembangkan diri dengan mempertaruhkan banyak hal, saya justru mempertaruhkan banyak hal –yang mungkin terjadi– demi kenyamanan diri. Entah pada akhirnya ada yang berkembang atau tidak dalam diri saya, masih belum saya temukan jawabannya.

Saya kerap menyadari bahwa jika terus begini, saya tidak akan lebih dari seseorang yang terjebak di dalam lingkaran setan. Berlindung dibalik kata nyaman, bermain aman, berlari-larian menghindari kenyataan.

Tidak dapat saya sangkal bahwa ketika kita tumbuh menjadi seorang dewasa, kita tidak bisa mengandalkan hidup secara pas-pasan. Tidak memiliki tabungan. Kesederhanaan tentu tidak sama dengan hidup seadanya. Apa yang ada, jadi alasan hidup. Kesederhanaan bagi saya adalah sesuatu yang cukup dan tidak berlebihan.

Hal-hal seperti di atas kemudian menjadi penyebab saya mulai membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Sejujurnya, saya merasa perbandingan diri ini perlu untuk memotivasi. Setidaknya, ketika melihat kehidupan orang lain sudah berada beberapa langkah di depan kehidupan kita, tentu akan muncul perasaan tidak ingin tertinggal dalam diri. Setelah itu tinggal bagaimana otak kita merespon perasaan-perasaan ganjil yang manusiawi itu.

Baik atau buruknya kegiatan membanding-bandingkan diri ini kemudian dapat ditentukan berdasarkan respon yang otak kita sampaikan pada diri. Ada yang kembali sampai ke hati dengan membuat suasana yang buruk. Juga ada yang memotivasi hingga menjadi dasar dari terjadinya pengembangan diri.

Cara saya merespon kegiatan membanding-bandingkan diri itu sebetulnya bagaimana mood. Hal inilah yang pada akhirnya sering membuat kegiatan membanding-bandingkan diri tersebut jadi hal yang buruk. Sebab rasanya, mood kerap lebih pandai menguasai manusia ketimbang manusia menguasai diri mereka sendiri. Ditambah, manusia juga kerap lupa memberikan batasan untuk keburukan. Namun kebaikan, dengan tanpa sadar selalu mereka batasi.

Seperti misalnya, ketika saya berpikir bahwa dalam hidup tidak mungkin saya akan disukai semua orang. Tetap akan ada beberapa orang yang tidak menyukai saya. Seharusnya cukup sampai di situ, tapi kemudian pikiran liar saya hilang kendali hingga membuat saya berpikir bahwa semua orang di muka bumi ini tentu tidak menyukai saya.

Sedangkan untuk kebaikan yang selalu dibatasi, contohnya kesabaran. Menurut saya, kesabaran adalah proses bagaimana kita mengendalikan diri dan emosi. Segala sesuatu yang mesti dikendalikan biasanya adalah segala sesuatu yang tidak terbatas. Artinya, kesabaran bagi saya adalah satu hal yang tidak memiliki batasan. Namun banyak dari kita pasti pernah mendengar atau bahkan mengucapkan kalimat “Kesabaran manusia ada batasnya”. Padahal kalau kita pahami lagi, sampai ambang batas yang mana sebuah kesabaran akan habis? Tentu tidak ada jawabannya. Maka dari itu saya berani menyatakan bahwa sebenarnya kesabaran tidak terbatas, hanya saja manusia kerap membatasi diri.

Pada akhirnya kedua hal tersebut berkaitan dengan pengendalian diri. Memang rasanya semakin dewasa semakin saya menyadari bahwa pengendalian diri adalah suatu pekerjaan manusia seumur hidupnya.

Manusia akan menjadi seorang guru sekaligus murid untuk dirinya sendiri. Meskipun banyak yang bilang bahwa pengalaman adalah guru terbaik kehidupan, namun yang dapat menentukan bahwa pengalaman tersebut dapat menjadi sebuah pelajaran hidup yang berharga adalah manusia itu sendiri. Pelajaran apa yang dapat dipetik, manusia adalah penentunya. Hingga bagaimana kemudian mereka menerapkan pelajaran yang didapat melalui pengalaman dalam kehidupan, diri mereka sendirilah yang menentukan.

Pada akhirnya, pengendalian diri menentukan pengembangan diri seseorang. Maka, keduanya adalah tugas seumur hidup manusia. Artinya, seumur hidup, manusia memiliki tugas untuk diemban. Entah bagi orang-orang yang sibuk mengembangkan diri dengan mempertaruhkan banyak hal, atau bagi orang-orang yang mempertaruhkan banyak hal demi kenyamanan diri.  

Sebab saya pernah mendengar seseorang berkata bahwa hidup adalah sebuah pertaruhan. Ketika ada sesuatu yang kamu pertaruhkan, artinya kamu sedang menikmati kehidupan.

Salam.

Ketika tidak ada lagi yang bisa disampaikan melalui kata-kata

Kehabisan kata adalah sebuah kalimat yang salah dari sebuah alibi ketidaktahuan manusia. Kata-kata tidak akan pernah habis. Meski bisu, kata-kata tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya terlalu sunyi untuk dikumandangkan.

Saya sering sekali memakai alibi “kehabisan kata-kata” untuk mengungkapkan ketidaktahuan saya menyampaikan apa yang saya rasakan. Padahal di detik saya menulis ini pun, kata-kata mengalir begitu saja.

Mengetahui bahwa saya tidak tahu apa-apa membuat saya sadar bahwa sebenarnya menyalahkan sesuatu yang tidak bersalah adalah kebiasaan manusia. Entah hal seperti itu dilakukan untuk apa, mungkin untuk membuat manusia itu sendiri merasa benar, maka harus ada yang disalahkan. Oke, mulai ngawur.

Saya sering iri melihat teman-teman yang tidak pernah kehabisan cara untuk menulis dan menyampaikan pengetahuan yang mereka miliki ke semua orang — yang membaca. Saya ingin juga. Tetapi saya tidak tahu ingin membagi apa.

Semakin saya banyak membaca — entah buku, artikel, essai, opini teman-teman yang menulis di media sosial — semakin saya merasa, saya tidak mempunyai apa-apa yang layak untuk dibagi. Kasarnya, saya merasa satu-satunya pengetahuan saya sekarang adalah banyak hal yang tidak saya tahu.

Ada salah satu author yang sangat saya kagumi tulisannya. Ia sering menyampaikan opininya melalui essai, puisi, prosa, atau cerpen yang ia tulis. Dari setiap tulisannya bukan hanya estetika kata yang saya temukan, melainkan banyak sekali referensi yang mengarah pada pengetahuan. Entah itu pengetahuan soal agama, sains, atau filsafat.

Hal yang membuat saya suka membaca tulisannya — meskipun terkesan berat — dia mengaitkan pemikiran dan opini-opininya perihal bidang ilmu tersebut dengan kehidupan sehari-hari atau kejadian yang ia lalui. Jadi, terkadang ketika membaca tulisannya, saya merasa seperti sedang berusaha mengenal dirinya.

Selain itu, dari tulisan-tulisannya saya menemukan banyak nama penulis, judul buku, judul film, bahkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang membuat saya tertarik untuk ikut membaca dan menyelami makna yang tersirat dari sana. Keinginan saya untuk terus belajar tumbuh seiring saya mengenal sang author lewat tulisan-tulisannya.

Meskipun saya tidak berani menyapa atau bahkan menyebutnya di sini sekarang, saya berharap hal baik yang ia sebarkan lewat tulisannya sampai ke banyak pembaca yang ia punya. Pun semoga ia tak pernah kehabisan kata-kata atau kata-kata tak pernah pura-pura bisu dihadapannya, agar ia terus menulis dan membagi apa yang ia tahu lewat media.

Maka, entah ia sadar atau tidak bahwa tulisannya sangat berpengaruh terhadap seseorang, semoga ia tetap mengumandangkan ide-idenya lewat tulisan.

Hal ini juga berlaku untuk teman-teman yang sama hebatnya dengan ia, yang terus bersuara lewat kata-kata. Sebab kata-kata memengaruhi banyak kehidupan.

Jadi, kalau dipikir-pikir, hebat yaa, kata-kata. Tidak heran jika akhir-akhir ini saya jadi merasa payah ketika kehabisan kata-kata. Eh, maksud saya, ketika tidak ada lagi yang bisa disampaikan melalui kata-kata.

Salam.