Seekor Ikan Mati
![]() |
| Dokumentasi Pribadi |
Teman-teman yang semoga berbahagia, salam, sapa, sayang..
Saya baru saja membaca beberapa tulisan saya yang tidak rampung. Cukup menghibur diri meskipun tujuan saya untuk menemukan kembali motivasi menulis cerita belum ketemu.
Menulis memang sudah menjadi hal yang saya suka sejak saya masih sekolah. Hanya saja, saya adalah seorang manusia yang malas mengasah kemampuan dengan belajar dan mencari tahu lebih banyak tentang hal-hal yang saya suka. Maka, segala sesuatu hanya saya lakukan sekenanya. Termasuk kegiatan menulis ini.
Kebiasaan memiliki perasaan ‘cukup’ ini membuat saya menjadi manusia yang tidak memiliki kemampuan apa pun. Saya bersyukur sebab saya hidup sebagai seseorang yang memiliki banyak kegemaran dan rasa penasaran. Namun sayangnya, kedua hal itu tidak diiriingi motivasi atau keinginan dari diri saya untuk dapat menguasai hal yang saya sukai. Maka dari itu, saya tidak memiliki kompetensi khusus yang bisa membuat kehidupan saya berkembang.
Kalau mau dibilang menyesal, tentu saya menyesal. Setelah dewasa, saya baru menyadari bahwa memiliki kemampuan itu penting sebagai bekal bertahan hidup. Meskipun saya tetap mampu bertahan sampai detik ini menjalani kehidupan, namun ada banyak sekali moment di mana saya merasa saya tidak memiliki kehidupan itu sendiri.
Saya tidak dapat mengatakan bahwa tidak memiliki kemampuan adalah penyebab dari perasaan buruk itu muncul. Namun yang saya ketahui, kesadaran bahwa saya tidak memiliki kompetensi khusus, membuat saya memasrahkan diri. Hal ini kemudian membuat saya kerap memilih jalan hidup sebagaimana ia berjalan. Tak memiliki rencana, tujuan, dan selalu menghindari jalan yang memiliki banyak rintangan. Saya menjalani kehidupan seperti seekor ikan mati. Memasrahkan diri pada riak air yang mengalir ke hilir sungai.
Meskipun begitu, entah mengapa beberapa orang ada yang secara terang-terangan menyatakan kekaguman mereka pada saya. Mereka bilang saya hebat karena bisa melakukan apa saja. Menggambar, menulis puisi, desain grafis, dan lainnya. Saya sangat berterima kasih atas apresiasi dan pendapat positif mereka terhadap saya. Namun di luar itu, saya justru merasa malu. Dengan tanpa saya sadari, kegiatan mempublikasi hal-hal kecil yang saya bisa dan saya sukai ternyata telah membuat khalayak dengan tanpa sengaja menyaksikan ambisi fana yang dibungkus rapi dengan topeng kehidupan yang saya ciptakan. Hingga munculah nilai-nilai tersebut.
Ketika membaca tulisan ini, teman-teman mungkin akan merasa bahwa saya hanya sedang meracau dan memandang rendah diri sendiri. Mungkin ada benarnya, tapi justru saya sedang mengakui dan menerima bahwa diri saya ini tidak memiliki kemampuan yang istimewa seperti yang saya tampilkan di sosial media.
Namun apa daya, mau bagaimana lagi? Sudah hampir seperempat abad saya menjalani hidup seperti ini. Selama bertambahnya usia, saya merasa saya mengalami perubahan perasaan dan cara berpikir. Saat menginjak usia dua puluhan, saya begitu bergelora ingin mewujudkan mimpi-mimpi saya untuk menjadi seorang seniman. Ambisi saya begitu berkobar seperti nyala api di musim kemarau. Tetapi kenyataan yang saya hadapi membuat saya sering berkecil hati. Meskipun begitu usia di awal dua puluhan adalah usia terbaik bagi saya untuk merasakan mimpi-mimpi saya yang begitu nyata.
Sekarang semuanya sudah berbeda. Saya jauh lebih sering melihat kenyataan dalam mempertimbangkan sebuah pilihan untuk menjalani hidup. Mengesampingkan ego yang berisi mimpi masa muda, tidaklah mudah. Tapi begitu rupanya kehidupan berjalan ketika dewasa.
Saya kerap ingin menyerah pada mimpi-mimpi saya. Namun saya masih membutuhkannya. Setidaknya, untuk mengisi waktu luang saya agar disela kesibukan saya mereguk kehidupan, saya menemukan kesenangan. Karena saya sadar, merubah nasib adalah hal yang paling melelahkan. Sedangkan meraih mimpi adalah perjuangan sia-sia yang menyenangkan.
Terkadang saya berpikir apakah mungkin cita-cita adalah fana? Kita menciptakannya agar kita memiliki sesuatu untuk dituju. Sehingga kita akan terus mensyukuri kesempatan hidup yang Tuhan beri tanpa kita pinta.
Dulu, ketika ada seorang teman yang bertanya apa tujuan hidup saya? Dengan tegas saya dapat menjawab “Mati”. Kini, saya bertanya-tanya, untuk apa saya berjuang bertahan hidup jika tujuan hidup saya adalah mati?
Ketika saya masih memiliki cita-cita di dalam diri saya, “Mati” yang saya maksudkan sebagai suatu tujuan hidup adalah kematian di mana pengalaman dan bekal saya telah cukup untuk membawa saya bertemu Tuhan. Maka dari itu, saya terus berusaha untuk bertahan hidup agar bisa sampai pada tujuan hidup saya.
Betapa kemudian saya menyadari, cita-cita yang saya anggap fana itu telah menyelamatkan saya dari tujuan hidup saya yang ambigu. Maka, ketika perjalanan hidup menuju dewasa ini perlahan mengaburkan mimpi-mimpi saya dengan memperlihatkan kenyataan demi kenyataan di luar ekspektasi, saya selalu berharap agar segala mimpi perihal cita-cita saya tetap menyala. Sebab saya ingin terus merasa hidup meski kenyataan terus-terusan menghantam diri saya sampai rasanya hampir mati.
Meskipun saya menjalani kehidupan seperti seekor ikan mati, saya ingin tetap memiliki harapan walau hanya setitik cahaya dalam gua. Meskipun saya menjalani kehidupan hanya dengan mengikuti air sungai yang mengalir, saya ingin terus penasaran akankah di ujung sana saya akan menemukan lautan atau hanya kikisan batu di tanah basah yang mengering dan menghentikan perjalanan saya mereguk kehidupan hingga dasar cawan. Dengan begitu, saya akan terus memiliki alasan untuk bertahan hidup.
Salam.
.png)

0 komentar: