Perspektif vs Perspektif
Sudut pandang, memang harus lebih
dari satu agar tidak tersudutkan.
Di mulai dari salam, sapa, sayang..
Halo teman-teman..
Judul dan kalimat pertama sudah
memberi gambaran, topik apa yang akan saya sampaikan. Perihal perspektif/sudut
pandang, tak perlu banyak, saya hanya akan membandingkan antara perspektif saya
dan ibu saya.
Kami sering sekali berdebat meski
tak sering-sering amat. Soalnya saya gak terlalu banyak bicara, tapi sekalinya bicara
membuat suasana kayak lagi di acara Mata Najwa. Makanya saya sebut “sering”
tapi “gak sering-sering amat”.
Saya pribadi yang tertutup,
teman-teman akrab pasti tau, pun kalau kalian baca blog saya dari awal. Sifat tertutup
saya gak cuma di lingkungan sosial, bahkan di rumah pun saya sulit sekali
membuka diri. Dalam artian bercerita banyak hal tentang hari ini saya ngapain
aja, ada masalah apa, atau sekadar cerita tentang bensin yang tak tersisa, uang pun
sama.
Tapi akhir-akhir ini, saya perlu
sedikit demi sedikit berbicara. Yang bukan lagi pada kertas dan pena, tetapi
pada akar kehidupan diri saya; Emak (panggilan
saya ke ibu).
Sebelumnya izinkan saya bercerita
yang sebetulnya tidak terlalu ingin saya buka. Emak saya buta huruf. Sekarang
usianya sudah lewat kepala 5 menuju kepala 6. Dulu, beliau bilang, beliau tidak
disekolahkan karena faktor ekonomi dan di usia mudanya Tuhan mentakdirkan
beliau untuk kehilangan bapak. Sekilas saja, ya. Kalau harus banyak, tulisannya
akan sangat panjang lebar.
Nah, karena keterbatasan beliau,
ketika berbincang kita gak terlalu sering membicarakan hal-hal serius. Saya gak
suka kalau udah ngobrol, beliau bicara “Iya,
yah, emak mah bodoh ini, gak sekolah. Jadi ga ngerti masalah-masalah yang kayak
gitu.” Merasa dirinya rendah bahkan diantara anak-anaknya. Padahal, derajat
beliau jauh di atas saya dan kakak-kakak lainnya.
Yah karena hal tersebut akhirnya
obrolan kami gak lebih dari ngobrol ngalor ngidul, beliau nanya-nanya kegiatan
saya yang selalu saya jawab “baik-baik aja”, atau menceritakan ulang kisah-kisah
beliau di masa muda. Kisah yang selalu beliau ulang-ulang sampai saya hapal
alurnya gimana.
Tapi akhir-akhir ini, karena beliau
suka ikut ibu-ibu pengajian dan mendengar ceramah-ceramah di setiap kajian, topik
pembicaraan bertambah. Perihal agama dan hukum-hukumnya. Yaaa, meskipun kita ga
paham-paham amat, tapi menarik sekali akhirnya bisa berdiskusi. Selain itu,
peran saya mulai berubah. Saya jadi mulai sering bercerita. Masih belum banyak
dan sepenuhnya saya ceritakan, tapi lumayan berkembang dari dulu-dulu di mana
saya hanya berperan sebagai pendengar.
Saya mencoba mengutarakan keresahan
saya sedikit-sedikit kepada beliau. Tapi beliau hanya diam seperti
mempertimbangkan dan memikirkan ucapan saya. Setelah beberapa hari, ada
kesempatan kami berbincang lagi, baru beliau sampaikan perspektifnya tentang
apa yang saya utarakan kemarin. Dan tahu tidak? Perspektif kita hampir selalu
berbeda.
Misalnya ketika saya mengutarakan
perihal keinginan saya berpartisipasi dalam SBMPTN tahun 2017, ketika saya
berbicara beliau hanya berkata “Ya
terserah kamu aja itumah..” tapi 2 – 3 hari setelah itu, beliau bilang “Udah, kerja aja yang bener. Bukannya emak
gak dukung, tapi kondisi ekonomi keluarga kita gak nentu.”
Saya mengerti soal itu, dan saya
tidak mau menuntut mereka untuk hal itu. Tapi saat itu saya sedang
menggebu-gebu. Saya meyakinkan beliau bahwa sebisa mungkin, saya gak akan
merepotkan. Soal biaya, kan ada bidik misi. Jadi, saya bisa usahakan untuk ikut
bidik misi sebelum mendaftar. Saya hanya perlu restu dan dukungan dari beliau. Tapi
tetap, penjelasan saya tidak dapat merubah perspektif beliau. Beliau malah
bilang “Gak usah terlalu dipikirkan mau
sekolah tinggi-tinggi, toh kalau sudah punya suami kamu belum tentu boleh
bekerja. Gelar sarjana juga cuma kan sekadar menjadi gelar.” Karena saat itu saya cukup
geram, saya Cuma bilang sama beliau “Saya
kuliah bukan untuk gelar, tapi untuk menambah ilmu dan mengembangkan wawasan. Saya
juga mau memperlebar lingkungan sosial saya dengan kuliah. Toh, ilmu kalau
sudah di dapat, bisa jadi bekal yang bukan cuma buat saya, tapi anak cucu
kelak.”
Pada saat bilang seperti itu saya
sebenarnya takut beliau akan tersinggung. Tapi saya tahu, emak saya cerdas. Dia
paham betul apa yang saya pikirkan. Dan beliau cuma bilang “Iya, paham. Kalau begitu silahkan. Tapi kerjaan jangan sampai
ditinggal.”
Satu masalah terpecahkan. Tapi satu
masalah datang. Saya kerja di Pandeglang, target Universitas yang saya
kehendaki ada di luar kota. Ya, mana bisa kerjaan dipertahankan. Saya coba
jelaskan lagi ke beliau, tapi kali ini saya tidak melihat peluang bahwa beliau
akan luluh. Pikir beliau pekerjaan lebih penting daripada kuliah. Karena toh
setelah kuliah, proses manusia untuk menjalani hidup, ya dengan bekerja.
Tidak ada yang salah memang dengan
itu, tapi saya punya mimpi yang tidak sejalan dengan pekerjaan saya sekarang. Dan
kuliah saya pikir adalah jembatan menuju ke sana. Tapi emak gak paham soal yang
satu itu. Dia keukeuh bahwa setelah lulus kuliah, belum tentu juga saya bisa
mencapai keinginan saya.
Ekspektasi beliau tentang saya memang selalu berdasar kepribadian saya yang beliau tahu. Manja, tidak bisa apa-apa, penakut, pemalu, dan lain sebagainya. Padahal, dengan dibiarkannya saya bertualang saya yakin hal itu malah bisa menjadi batu loncatan untuk saya merubah pribadi saya seperti yang beliau pikirkan. Saya yakin saya mampu melampaui ekspektasi beliau.
Ekspektasi beliau tentang saya memang selalu berdasar kepribadian saya yang beliau tahu. Manja, tidak bisa apa-apa, penakut, pemalu, dan lain sebagainya. Padahal, dengan dibiarkannya saya bertualang saya yakin hal itu malah bisa menjadi batu loncatan untuk saya merubah pribadi saya seperti yang beliau pikirkan. Saya yakin saya mampu melampaui ekspektasi beliau.
Namun ternyata sudut pandang saya
dengan beliau tak seirama. Beliau tak bisa diluluhkan kali ini. Akhirnya saya
yang mengalah. Kami ambil jalan tengah. Beliau memberi izin saya kuliah tanpa
meninggalkan pekerjaan, saya akhirnya menyanggupi. Kemudian dipilihlah Universitas
Terbuka sebagai tempat saya megemban ilmu selepas SMA.
Permasalahan tentang kuliah
selesai. Namun perbedaan perspektif kita tidak. Justru malah semakin
bertentangan. Bahkan hal seperti membaca buku saja, beliau permasalahkan. Saya yang
memang lagi suka-sukanya baca, kadang suka menyisihkan gaji yang tak seberapa
untuk membeli buku. Tanpa bilang dulu kepada si emak. Pas tiba-tiba datang
kurir ke rumah, beliau cuma bilang“Hmm, beli
buku mulu buat apa siihhh. Cewek-cewek lain seumuran lu pada beli baju, elu
malah beli buku.” Saya mah haha hihi aja sebagai jawaban. Lagi gak mau
berdebat.
Pun kalau lagi ada waktu luang, terus
beliau liat saya lagi baca, beliau pasti nanya “baca buku apa itu? Buku pelajaran bukan?” jawab saya tentu bukan. Saya bilang aja lagi baca buku
cerita. Terus dia malah gerutu “Belajar
bukan, apa bukan, baca buku mulu. Dapat apa emang dari buku-buku kayak gitu.” Banyaknya
saya Cuma diem aja gak terlalu menanggapi, tapi kalau lagi kesal sendiri suka
saya jawab “Nambah wawasan. Kan aku di
rumah terus gak pernah kemana-mana. Jadi caranya gini biar nambah pengetahuan
dan pegalaman. Dari cerita orang.” Akhirnya gantian, beliau yang gak
berkata-kata. Meskipun bagi orang tua, senjata tetap ada. “Mending pake buat istirahat. Itu mata elu nanti rusak.” Nah, ga
bisa deh bantah lagi. Nanti makin panjang urusan.
Sudut pandang ketiga yang lagi
sering dipermasalahkan akhir-akhir ini adalah soal pekerjaan saya. Jujur, saya
lagi ada di fase gak nyaman sama apa yang lagi saya kerjakan sekarang. Dan hal
tersebut sering bikin mental saya down.
Pas coba saya curahkan ke beliau. Seperti biasa, beliau cuma bilang “Terserah. Gimana kamu aja.” Tapi 2 – 3 hari
atau paling cepat besoknya, beliau mengutarakan pendapat beliau yang sebenarnya.
Dan perspektifnya lagi-lagi berbeda dengan perspetif saya.
Soal pekerjaan, emak termasuk orang
tua yang tidak menuntut finansial, beliau mau saya dihargai orang karena
pekerjaan saya. Saya pun sama, tidak terlalu menuntut finansial, tapi
kenyamanan yang utama. Tentu keduanya berbeda. Emak selalu berpikir bahwa apa
yang sekarang menganggu saya adalah hal lumrah dan biasa terjadi di pekerjaan
manapun. Nanti juga terbiasa, katanya. Saya sudah hampir biasa dengan itu, tapi
selama bekerja saya merasa saya tidak megalami perkembangan. Lingkungan sosial
selalu seperti ini, isi tabungan seringnya tidak ada, bekerja jadi kehilangan
kendali. Capek mental dan fisik sedang gaji tidak seberapa. Akhirnya finansial
saya jadikan tuntutan karena merasa sepenat ini.
Menghadapi pagi setelah semalaman
tidur dengan segudang keluh, rasanya berat sekali. Bukan Cuma senin, selasa
bahkan sampai sabtu saya begitu. Minggu pun rasanya berat. Karena saya gak
punya kegiatan apa-apa. Di rumah cuma tidur-tiduran, mau keluar ga ada teman. Uang
juga adanya cuma di awal bulan. Saya beneran capek.
Setelah diungkapkan, saya kira akan
sedikit berkurang beban saya. Tapi ternyata malah ada beban baru yang harus diemban. Menerima perspektif dari orang tua dengan lapang dan mencoba
menyandingkan kedua sudut pandang.
Ini yang juga yang mungkin sering membuat saya down. Selalu memaksakan diri untuk berpikir positif. Apa yang saya mau kalah baik dari apa yang orang tua kehendaki. Apa yang saya rencanakan tidak lebih matang dari denah orang tua yang menuntut saya berjalan.
Ini yang juga yang mungkin sering membuat saya down. Selalu memaksakan diri untuk berpikir positif. Apa yang saya mau kalah baik dari apa yang orang tua kehendaki. Apa yang saya rencanakan tidak lebih matang dari denah orang tua yang menuntut saya berjalan.
Kadang ego saya sebagai manusia
menggunung. Saya gak bisa terus berada di dalam jeruji untuk sampai ke arah
mimpi-mimpi. Tapi saya terlalu takut menjadikan diri saya sebagai pemenang
dalam perdebatan dua sudut pandang. Antara saya dan ibu saya. Karena sejujurnya
bukan hanya sudut pandang beliau yang harus saya lawan. Melainkan kakak-kakak
saya yang ikut serta dalam lingkaran perspektif orang tua. Ibu saya memiliki
dukungan, sedang saya sendirian.
Yang saya pahami sejauh ini, memang
perpsektif orang tua tidak akan pernah seirama dengan perspektif anak muda. Saya
di mata beliau tetap seorang anak kecil, yang tidak boleh lepas dari ikatan
agar tak keluar dari jalur kehidupan. Beliau khilaf bahwa saya sama seperti beliau
yang merupakan seorang anak dari seorang ibu. Tumbuh besar dan dewasa seiring
berjalannya waktu.
Ada hal-hal yang sudah tidak bisa
lagi diterapkan dalam cara beliau melindungi saya. Beliau lupa bahwasanya, kini
saya hanya perlu doa, kepercayaan, serta dukungan dari beliau agar saya mampu
berjalan sendiri tanpa diikat tali atau dilindungi dalam jeruji.
Terima kasih telah datang. Maaf kalau tulisan kali ini tidak terlalu berkesan. Saya hanya ingin mencurahkan.
Salam.
.png)

0 komentar: