Manusia, Hidup, dan Banyak bicara

1:27 AM 0 Comments

Terduduk aku di ruang tunggu sebuah klinik. Di depan resepsionis yang berdampingan langsung dengan apotek. Menunggu namaku dipanggil untuk menebus obat-obatan yang sudah aku pesan atas resep dokter barusan. Sebetulnya hanya demam, tapi tetap membuat tak nyaman, jadi aku rasa mesti diobati.

“Ainan...” baru saja hendak berdiri, namun laki-laki di sebelahku segera mendahului.

“Oh, Ainan bukan Ainun.” Gumamku dalam hati menyadari kekeliruan diri sendiri.

Samar-samar ku dengar perawat bagian resepsionis berbicara pada seorang lelaki yang biar ku tebak, pasti seumuran denganku. Kalau tidak salah dengar mereka sedang membicarakan jadwal poli jiwa di klinik tersebut. Waw, aku rasa kehidupan lelaki tersebut tak seindah parasnya.

“..tapi saya lihat di jadwal seharusnya hari ini melayani, mbak.” Ujar lelaki jangkung yang mengenakan topi tersebut.

“Iya mas memang seharusnya seperti itu, tapi mohon maaf sekali, dokter poli jiwa kami sedang berhalangan hadir. Dan klinik kecil seperti ini, belum mampu memiliki staf poli jiwa yang banyak. Beliau adalah satu-satunya.” Jelas si perawat dengan ramah.

“Yasudah, terima makasih.”

Dengan raut kecewa, lelaki tadi pergi meninggalkan ruang tunggu dengan tergesa. Kulihat sekilas, kedua lengannya bergetar dan diujung dahi sebelah kanan terlihat peluh.

“Ainun.”

“Mbak Ainun..”

“Atas nama Ainun Prajnaparamita!!!” teriak petugas apoteker yang entah sudah kesekian kali memanggil namaku.

. . .

Keluar dari klinik dengan plastik berisi obat demam, magg, vitamin dan antibiotik, aku melihat lelaki yang sempat mencuri perhatianku di dalam tadi, sedang terduduk di salah satu kursi di taman klinik. Ia kembali mencuri perhatianku.

Hanya duduk, sendirian, memandang lurus ke depan dengan gerak kaki yang tak karuan. Topinya kini semakin menutup murung yang hinggap di wajahnya. Dia benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Entah darimana perasaan empati ini datang, aku mengabaikan panas di dahiku yang semakin dominan. Aku pergi menghampirinya. Terduduk tepat di sebelahnya sambil mengeluarkan handphone dan earphone. Ia tetap diam dengan seribu aura kegelisahan yang kini dapat aku rasakan.

Aku membuka media player dan memilih daftar lagu di sana.

“Mau ikut dengerin ?” tawarku. Gerak kakinya berhenti dan ia menoleh ke arahku. Dengan wajah yang datar, ia hanya menatapku diam.

Aku tersenyum memberi tanda padanya untuk mengambil sebelah earphone ku. Dia masih tetap diam dan tatap matanya sudah beralih pada benda yang ku pegang.

“Ini..” sekali lagi aku menawarkan, yang kemudian ia sambut dengan mengambil sebelah earphone tersebut lalu memasang pada telinga sebelah kanannya.

Aku tersenyum, lalu memilih salah satu lagu di playlist ku. Kemudian hanya sunyi, suara angin, sapu yang bergesekan dengan aspal yang ditimbulkan oleh staf kebersihan di sini, serta merdu suara permainan piano Lazar Berman. Cukup lama. Lalu kemudian, terdengar suara isak dari arahnya. Aku tak berani melihat, hanya terdiam dan menunggunya reda. Meskipun yang kudapati malah isaknya yang berubah menjadi tangis tragis.

Aku benar-benar beku. Tidak mampu bersuara dan bahkan melihat ke arahnya. Rasanya dadaku ikut nyeri. Menyadari bahwa ternyata Tuhan Maha Adil. Ia buat kehidupan tidak menyenangkan untuk semua orang. Bukan hanya aku, atau lelaki disebelahku. Menyebalkan memang, tapi memang begitu cara kerjanya, kan?

Cukup lama ia terisak. Dan aku membeku dengan kerongkongan yang rasanya tercekat. Lazar Berman sudah memainkan lagu yang sama hampir tiga kali. Kemudian suara tangis mereda, guncangan bahu yang semula bergetar pilu sudah kembali tenang seperti semula. Ia berusaha mengatur nafas sembari mengusap air mata yang membasahi wajahnya yang tertutup topi. Kembali sunyi. Permainan Lazar Berman kalah dominan dari suara detak jantungku.

Le mal du pays. Frantz List.” Ucapnya kemudian setelah permainan piano Lazar Berman berhenti.

Jujur, aku sempat terkejut mengetahui bahwa ia tahu lagu yang sedang aku putar. Tapi sekaligus senang.

No. Lazar Berman.” Sanggahku.

Ia hanya mengangkat bahu, tanda acuh-tak acuh. “Siapapun itu. Rekomendasi dari Haruki Murakami.” Katanya kemudian.

Aku tergelak secara spontan. Menertawakan dugaanku yang sangat tepat. Dia suka membaca.

“Hahaha, suka baca ya?” tanyaku mencoba mencairkan suasana yang semula sangat tak menyenangkan.

“Ngga.” Jawabnya singkat sembari menggelengkan kepala. Aku hampir saja kecewa sebelum akhirnya mendengar kelanjutan kalimatnya. “Cuma memang sering penasaran sama palylistnya Murakami. Jadi, baca bukunya.” Katanya begitu. Kembali membuatku tertawa.

Aku membenarkan posisi dudukku untuk menghadap padanya yang masih mempertahankan tatapan dingin lurus ke depan.

“Lalu, sering penasaran sama apalagi? Benda mati mana yang diberi jiwa oleh Sapardi?” tanyaku.
Ia akhirnya mengalihkan pandangannya dan menatapku.

“Hmmm, lumayan.” Jawabnya. “Dan pesan kehidupan yang sering disembunyikan Paulo Coelho disetiap kisahnya.”

The Alchemist?”

“Salah satunya. Kemudian ada Mata Hari, kumpulan cerpennya dalam buku Seperti Sungai yang Mengalir, dan Veronika Memutuskan Mati.”

“Wah, banyak juga.”

He is The one of my favorite.”

“Kalau Murakami?”

“Eh, tunggu.” Sanggahku sebelum ia menjawab pertanyaanku barusan.

“Biarku tebak.” Aku pura-pura berpikir sejenak, sedang ia hanya terdiam menatapku.

“Norwegian Wood. Tzukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya.” Tebakku yang bisa kupastikan, seratus persen benar.

Ia kembali menatap ke arah depan yang sebenarnya hanya ada sebuah pohon mangga dan beberapa tanaman bunga yang sedang baris berbaris dalam pot.

“Kalau gitu gak usah saya jawab.” Katanya. Aku benar-benar tak bisa menahan senyum lebarku.

“Adalagi?” Aku kembali bertanya.

“hmmm?” ia menoleh lagi kearahku.

“Penyair atau penulis yang kamu suka?” Aku sadari bahwa aku sangat banyak tanya. Tapi, tak apalah. Aku terlanjur penasaran.

“Selain Chairil Anwar tentunya.” Lanjutku setelah menyadari sebuah kutipan dalam kaos hitam yang hampir tertutup outer kemeja kotak-kotak yang ia kenakan. Sekali berarti, sudah itu mati.

Dia yang menyadari hal tersebut langsung memperhatikan kaosnya dan tersenyum. Membuatku lega.

“Hmmm, dalam negeri/luar negeri?” tanyanya.

“Keduanya.”

“Hmm, sejauh ini Murakami, Paulo Coelho, Jostein Garder, Eric Fromm, Multatuli.” Jawabnya sambil terus berpikir dan mengingat-ingat. “Kalau penulis dalam negeri tentu Pramoedya, pemberi jiwa pada benda mati seperti katamu tadi –Sapardi Djoko Damono, Dee Lestari, Sudjiwo Tedjo, Eka Kurniawan, Gie, Tere Liye cukup menyenangkan untuk dibaca. Tan Malaka, Kartini, Emha Ainun Najib, Danarto, Leila S Chudori, dan ini.. yang menulis kutipan di bajuku.” Ia menyelesaikan jawabannya dan aku tersenyum puas mendengarnya. Cukup mengesankan, dan aku menyukainya.

Aku menunjukkan rasa terkesanku dengan bertepuk tangan sedikit. Membuatnya kembali tersenyum.

“Pantes daritadi duduk di sini sendiri. Independen.” Ujarku, senyumnya berubah menjadi tawa kecil. Lagi-lagi aku dibuat lega.

“Orang yang suka baca emang gitu, pintar. Sering berpikir kritis. Tapi buruknya, kadang pikirannya liar, sulit dikontrol. Jadi mempengaruhi psikologis.” Ucapku.

Ia hanya terdiam. Lalu menundukkan kepalanya. Aku merasa salah bicara barusan. Suasana kembali menjadi canggung.

“Suka The Beatles?” tanyanya tiba-tiba.

“Oh, iyaa?”

“Lagu The Beatles favorite saya Yesterday.” Ucapnya lagi. “hmmm boleh?” tanyanya melihat ke arah handphone yang sedari tadi ku genggam.

“Oh, iyaa. Boleh.” Lalu aku mecari playlist The Beatles dan memutar lagu Yesterday sesuai permintaannya.

Lalu ia diam lagi. Seperti seorang anak yang baru saja dikabulkan keinginannya oleh sang ibu lalu disuruh diam. Akupun sama. Tak berani bersuara.

Hingga kemudian...

“Saya capek menghadapi dunia.” Tuturnya. “Tapi sama sekali gak mau bunuh diri. Takut ketika dimakamkan, bumi tak menghendaki. Ya, walaupun gak soleh, saya pengen dikasih kesempatan mencicipi harum surga.”

Oke, ini adalah sebenar-benarnya waktu yang tepat untuk tak banyak bicara dan hanya menjadi telinga.

“Saya gak punya alasan untuk bertahan. Orang tua, teman, seseorang yang saya sayang.. rasanya mereka hanya Tuhan beri sebagai pelengkap agar saya tidak benar-benar sendiri. Bukan lagi penyemangat.”

“Meskipun sebenarnya sia-sia. Saya tetap merasa sendiri.”

“Ya, saya tahu semua yang kita rasa kembali lagi kepada bagaimana cara kita memandang hidup. Kalau hanya sebelah mata, tentu yang terasa hanya sebagian cerita. Yang kebetulan bagian gak enaknya. Tapi saya capek husnudzon terus. Atau mungkin cara saya husnudzon salah ya?”

“Saya bukan berprasangka baik tapi berharap?” lagi-lagi ia memberi jeda. “Tapi apa bedanya?”

“Kata Adimas Immanuel Hidup itu transaksional. Saya menyikapinya sebagai hubungan timbal-balik. Dalam ilmu psikologi perihal hubungan interpesonal juga gitu. Pun kata banyak pepatah; Buah yang kau dapat sebagaimana benih yang kau semai. Sejauh ini saya merasa saya menyemai benih-benih kebaikan, kasih sayang, pengertian, dan kesetiakawanan. Tapi hasil yang saya dapat selalu berupa kekecewaan.”

“Apa cara saya menyemai salah?”

“Gak tahu sebelah mana bagian salahnya. Tapi memang sesuatu yang tidak berjalan baik pasti memiliki alasan, kan?” Tuturku.

“Iya, lagi-lagi saya memberi kesimpulan yang sama. Menjadikan diri sendiri sebagai terdakwa. Seminggu atau bahkan sebulan ke depan, saya akan menjalani hukuman. Merasa menjadi pribadi yang tidak berguna, tapi tetap memiliki kewajiban tersenyum untuk menipu dunia.”

Sebentar, izinkan aku bernafas. Sebentar. Kalimat-kalimatnya menyesakkan dada.

“Ya, tapi perasaan seperti ini hanya perihal waktu, kan. Akan ada waktunya ia hilang meskipun nanti akan terulang. Lagipula hidup adalah panggung sandiwara, jadi wajar banyak drama. Hidup juga katanya perjalanan panjang. Meskipun ga sedikit orang bilang hidup itu singkat. Ah, pokoknya gitu. Kalau ngomongin hidup, ribet.”

“Ngomongin mati.. segan. Soalnya setelah mati bakal ada pertanggung jawaban. Kehidupan baru yang lebih abadi dan panjang.”

“Tapi ada untungnya.” Ia menoleh dan menatapku yang sedari tadi tertegun. “Di bumi banyak orang jahat. Tapi orang baiknya gak sedikit.” Lanjutnya sembari tersenyum.

Lalu ia melepaskan sebelah earphone ku dari telinganya lalu memberikannya padaku.

“Lama-lama telinga sakit juga dengerin lagu yang itu-itu aja. Udah hampir 6 kali Paul McCartney nyanyi lagu yang sama.” Guraunya membuatku sedikit menyunggingkan senyum.

“Terima kasih sebelumnya sudah empati, dan.. rela menjadi telinga.” Ucap ia yang kurasa sudah selesai meluapkan keresahannya. “Semoga saya bisa nemuin lagi orang-orang yang peduli sama keresahan orang disekitarnya. Kayak mbak.” Lanjutnya hampir membuatku tersipu.

“Tapi mas kayaknya salah paham.” Ucapku.

“Gimana ?”

“Saya samperin mas bukan karena saya peduli sama keresahan mas, kok.” Aku menemukan sedikit rasa bingung dari wajahnya.

“Tapi karena Masnya ganteng.” Tukasku. Air mukanya seketika berubah. Bukan tersipu melainkan tak menyangka.

“Serius ?” dia benar-benar bingung dengan pernyataanku.

“Iya. Kalo gitu, kasih saya kontak mas. Whatsapp, Line, nomor handphone, atau apapun terserah. Biar mas ga repot. Kalau nanti gak ketemu sama orang yang peduli lagi, mas bisa temui saya kembali.” Aku memberikan handphone yang sudah menampilkan log kontak padanya yang masih tertegun.

“Berarti kalau saya jelek, ga akan samperin saya?” dia mengabaikan uluran tanganku dan malah bertanya lagi.

“Iyaa, tentu.” Jawabku singkat.

Ia mengalihkan pandang dengan terburu, diam sejenak dan menggeleng-gelengkan kepalanya tak menyangka.

“Saya makin gak betah hidup rasanya.” Tuturnya kemudian diiringi gelak tawaku.

Tak lama, ia ikut tertawa. Entah nyata, atau hanya sedang memainkan perannya sebagai manusia; peran utama dipanggung sandiwara dunia.


Selesai.

0 komentar: