Usia hanyalah angka, tapi seringnya menjadi batas kesempatan meraih cita

9:37 PM 0 Comments

Haloo, uneg-unegnya sudah sampai lebih dulu.
Tapi tetap, salam, sapa, sayangg ingin merayuuu.

Wadidaw. Lama tidak meramu prakata menjadi paragraf cerita atau sekadar omong kosong belaka. Sebuah intro yang sudah sama lumrahnya dengan “salam, sapa, sayang” rasanya.

Blog udah gak keurus. Tapi badan saya semakin kurus. Ah, yang penting rejeki semoga lancar terus. Teman-teman di mana pun berada semoga sehat selalu, kuat selalu, dan bahagia meskipun gak selalu, yang penting keburu.

Begini, kalau dilihat dari judul, sudah pasti begitu. Begitu resahnya saya di usia dua puluh dua. Mau memberi pernyataan “sudah tua” tapi masih sering menyusahkan orang tua. Tak jarang, masih juga berlindung dibalik punggung mereka.

Keresahan ini bermula dari tadi. Hmm, maaf. Maksud saya, keresahan ini bermula sejak saya menyadari bahwa di usia saya kini, sibuk memikirkan diri sendiri sudah bukan waktunya. Meskipun hidup hanya sekali, tapi waktu mengulang berkali-kali. Sebagaimana angka 24 yang menjadi batasan berputarnya jarum jam.

Usia juga gitu kayaknya, banyak yang memberi pernyataan bahwa “usia hanyalah angka” tapi tak sedikit yang menghiraukan bahwa angka berpengaruh besar terhadap itung-itungan manusia dalam menjalani hidup.

Maka dari itu, sebetulnya tidak heran jika manusia memberi batasan di usia berapa harus jadi sarjana, di usia berapa harus sudah menikah, di usia berapa harus sudah memiliki pekerjaan tetap, di usia berapa harus sudah memiliki rumah sendiri, di usia berapa harus sudah punya dua anak, dan banyak di usia berapa-usia berapa lainnya.

Begitu banget jadi manusia. Hidup diisi kesibukan menyusun rencana, sampai tak sadar mengikutsertakan bencana dengan membatasi diri di usia kesekian harus sudah sampai tujuan. Padahal, usia hanyalah angka. Terbatas dari 0 sampai dengan 9.

Saya gak memprotes manusia untuk berencana, justru bagus, jadi punya persiapan. Tapi, untuk batasan-batasan di dalamnya, saya terganggu. Apalagi ketika menyadari bahwa saya sudah di usia segini, teman-teman lain ada yang sudah mencapai batasan yang ditentukan, lah saya ? Belum apa-apa.

Memang, kita gak boleh iri, nanti dengki. Tapi, namanya manusia, terkadang nafsu dan pikirannya gak seimbang. Kayak jungkat-jungkit yang lagi asyik dimainkan anak-anak.

Kalau mood nya lagi bagus, pikiran dan isi hati memberi umpan balik yang positif. Sebaliknya, kalau mood nya lagi buruk, yaa semua penyakit hati datang tanpa ampun. Gak peduli jam 2 atau jam 3 malam. Akhirnya waktu tahajud diganti dengan waktu memutar playlist 3 a.m yang sangat chill sembari udud. Astaghfirullah.. negative vibes only.

Jadi, saya gak suka kalau ada yang membatasi manusia untuk memulai mengejar mimpi di usia kepala dua dengan prakata “Hmm, mana sempat. Keburu telat”.

Jangan membuat kami patah semangat, dong. Untung-untung, kami masih punya mimpi. Kalau ngga, hidup juga cuma diisi tuntutan, banyak pikiran, menebar kebohongan dan kepura-puraan. Buat apa? Mending *piiiiiiiippp* saja. Xixixi.

Bercanda. Tapi, serius. Saya sudah muak dengan kalimat “sudah umur segitu, sudah bukan waktunya”. Ya, sebagai seseorang yang dituntut sudah harus menjadi dewasa, saya paham. Toh, mau tidak mau saya sudah menerima tuntutan tersebut. But fyi, proses dewasa setiap orang, kan, berbeda-beda. Pun dengan pola pikir mereka.

Di usia segini, yang sudah memikirkan untuk menikah banyak, memutuskan untuk menikah pun ada, dan yang berlari menuju anak tangga mencapai karir yang cemerlang juga tak sedikit. Begitu pun dengan mereka yang seperti saya. Di usia yang katanya “sudah bukan waktunya”, malah menemukan mimpi mereka. Keinginan terpendam dari dalam diri mereka. Semangat untuk menebus penyesalan atas kesempatan-kesempatan di masa lampau yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Justru merasa bahwa ini adalah waktunya.

Jadi, usia hanyalah angka, bukan? Jarum jam memiliki batasan angka tapi tak ada yang tahu kapan ia berhenti berputar. Saya juga mau seperti itu. Meski tak akan pernah menang melawan sang waktu, tetapi saya akan membuat batasan usia saya tak terbatas.

Ecie gitu.

0 komentar:

a letter for myself

9:22 AM 0 Comments


Tepat di - 1 September 2020
 — dua hari menjelang moment pertambahan usia
sudah 22 tahun berlalu rupanya.

Geb, ayo menjadi pribadi yang mulai berani mengambil keputusan. Ayo belajar menjadi pribadi yang bebas dari segala sisi jahat agar bebas melakukan segala kebajikan.

Geb, jangan takut akan adanya perubahan. Bagaimana kau akan tumbuh jika takut mengambil peran sebagai seseorang yang akan berhadapan dengan kegagalan?

Geb, tetap jadi sang pemimpi. Tidak apa. Teruskan segenap angan. Jangan hentikan ia untuk terus terbang. Kesampingkan kenyataan. Tak apa.
Hidup perlu dinikmati, toh realitas pasti akan dirasakan.

Geb, zona nyaman mengerikan? Terus aman menakutkan? Kalau begitu, mau sampai kapan?

Saya gak memintamu untuk terburu-buru. Benih kacang hijau akan menjadi kecambah dalam waktu beberapa hari. Cukup sebentar untuk mengalami perubahan bagi si kecil. Tetapi kamu besar, jadi akan butuh waktu yang tak sebentar. Jadi, jangan risau.

Geb, apapun yang akan terjadi nanti, kamu gak sendiri. Tolong ikut sertakan aku tiap kamu merasa sepi. Sebab sama sepertimu, aku juga pribadi yang sering kesepian.

Meskipun begitu, kita berbeda.
Di dalam diriku masih terdapat banyak impian.
Sedang dalam dirimu terdapat banyak keraguan.

Tapi…
Geb, aku membutuhkanmu untuk mewujudkannya. Sebab aku hanya bayang, tipu daya alam bawah sadar yang selalu berusaha bertahan dan terus berusaha mengingatkanmu ketika kamu bertikai dengan kecemasan.

Maaf kalau aku sering membuat kegaduhan hingga membuatmu sakit kepala.
Terima kasih karena tidak memutuskan untuk berhenti dan tetap berjalan meski banyak rebahannya.

Semoga disisa usiamu, Tuhan bantu isi dengan segala kebajikan.
Tetap bertahan!
Salam sayang.

— ur own shad0w

0 komentar:

Mengobati rindu yang berakhir review buku

11:14 PM 0 Comments

Haloo…
Kangen nulis. Tapi rasanya isi kepala lagi gak bisa digambarkan dengan rangkaian kata-kata. Sebelumnya, salam, sapa, sayang dulu, yaa…

Apa kabar ? Pandemi masih sering bikin keki ? asliii!! Cukup susah, ya, adaptasi sama masalah yang datangnya bener-bener tanpa persiapan dan tanpa dugaan ini. Ditambah beberapa kabar banyak yang membuat suasana semakin terasa berat.

Saya kangen nulis. Oh iya, selama karantina ngapain aja ? Saya sempat rajin bikin konten soal puisi sama gambar line art di instagram. Tapi sekarang sudah ngga, biasalah si bosan menerkam. Padahal lumayan, beberapa orang ada yang terkesan. Ah, tapi da tujuan saya buat kontennya juga bukan semata-mata agar dipuji/dipuja orang, pure karena mau. Biar feeds instagram jadi lucu aja. Ketambah, biar tulisan saya yang sering di share di media yang jarang di lihat orang, kali ini dibaca. Soalnya, instagram tempat di mana semua orang mencari kesenangan. Meski tak sedikit keluhan perihal ke-toxic-annya terdengar sampai ke jagat twitter dan facebook.

Gitu ya kehidupan, penuh persaingan. Semua media sosial sama-sama menciptakan fitur terlengkap. Bersaing siapa yang paling banyak diminati, dia yang trendy. Padahal ketiganya punya pasarnya masing-masing. Mau siapa yang paling banyak diminati juga toh fungsinya hampir serupa. Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.

Yaallah, saya kangen nulis. Tapi bahas apa, ya. Oh iya, sempat kepikiran mau buat podcast tadinya. Tapi gak jadi. Cara saya berbicara kayak amatiran ikut lomba lari. Cepat, gak beraturan, sering kepeleset pula ini lidah. Howw’s sad :(

Sebenarnya dari dua hari yang lalu udah saya pikirkan kerangka untuk topik di tulisan kali ini. Sempat direalisasikan juga, sudah di 3-4 paragraf malah, tapi gak jadi dipublish dan gak bisa dilanjutkan. Stuck.

Karantina membosankan, ya ? Banyak banget teman-teman yang mengeluhkan hal serupa. Tapi kenapa saya ngga, ya ? Hmm.. Kalo saya wajar, sih sebenarnya. Toh dari sebelum pemerintah menyarankan kita untuk #dirumahaja, saya udah #dirumahterus.

Cuma memang ada satu kekhawatiran kalau sampai hidup dengan keadaan tetap seperti ini. Saya takut kemampuan bersosialisasi saya makin buruk. Semasa semua normal saja, saya susah banget buat bersosialiasi. Tidak menjadi manusia yang seutuhnya. Apalagi ini, hampir semua kegiatan sosial dibatasi. Kenyamanan hidup menyendiri yang teramat sangat ini bisa-bisa menjadi benih-benih tumbuhnya anxiety. Wkwkwk ‘anxiety’ sesuatu yang cukup menyulitkan namun didambakan anak muda masa kini. Gak paham lagi. Skip.

Ah, di paragraf tiga tadi saya sempat ceritakan soal hal yang saya lakukan selama karantina, ya. Soal bikin konten puisi + ilustrasi di instagram. Selain itu, saya lagi suka-sukanya sama fotografi. Kemarin sempat merepotkan beberapa teman yang kebetulan keberadaannya terhalang jarak. Kami melakukan virtual photo shoot. Gaya-gayaan, kayak artis-artis instagram. Hasilnya bagi saya lumayan memuaskan, juga bisa jadi salah satu alternatif saya melatih kemampuan menangkap gambar, hehe. Terima kasih kepada teman-teman yang sudah berpartisipasi.

Sisa waktu senggang saya kemudian saya isi dengan baca buku. Rencananya, sih mau melampaui tahun lalu yang berhasil habiskan 36 judul buku –meskipun beberapa ada yang tidak tuntas. Di awal tahun ini kebetulan baru menyelesaikan 12 buku –lumayanlah, yaa…

Buku yang sejauh ini paling berkesan yaitu 1) Seri Buku Tempo: Hatta; 2) Anak Semua Bangsa; dan 3) Filosofi Teras. Sedikit saya bahas gak apa-apa, ya ? lumayan, kan post-annya jadi gak ngawur-ngawur banget. Hehehe…

1) Seri Buku Tempo: Hatta – Jejak Yang Melampaui Zaman

Dari judul ya tentu teman-teman akan langsung paham apa isi buku ini. Yak, ini adalah seri buku biografi Moh. Hatta. Salah satu Bapak Proklamator kita yang merupakan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.

Saya selalu suka seri-seri buku Tempo. Sejauh ini baru membaca 3 Seri, yang pertama seri biografi Chairil Anwar, lalu kemudian Soe Hok Gie, dan terakhir Moh. Hatta. Ketiganya saya pinjam dari Perpustakaan Umum Daerah Kab. Pandeglang –kota tempat tinggal saya.

Dari ketiga seri biografi tersebut, semua berkesan karena ketiga tokoh tersebut adalah favorit saya. Dan setelah membaca buku seri biografi dari tempo, saya selalu dibuat semakin jatuh cinta pada tokoh-tokoh besar tersebut. Yang terakhir ini Moh. Hatta.

Di mana, kisah-kisah di dalam seri biografi buku Tempo tidak saya dapatkan di pelajaran sejarah di bangku sekolah dulu. Padahal, sosok beliau cukup penting untuk Bangsa dan Negara. Kalimat klise seperti “mencari ilmu bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja” ternyata benar, ya. Justru setelah saya keluar dari gerbang sekolah, ilmu-ilmu yang sebelumnya tidak saya bayangkan untuk dipelajari, saya dapatkan di kehidupan yang sesungguhnya.

Tapi meskipun begitu, jalan mencari ilmu yang utama menurut saya adalah dengan membaca. Tak heran kenapa semasa hidupnya Hatta dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat pandai. Karena Hatta dengan buku dan kegiatan membaca bagai dua hal yang tak dapat dipisahkan. Selain penuh dengan ilmu, Hatta adalah seseorang dengan pemikiran yang terbuka. Wajar mengapa Soekarno memercayainya untuk menjadi pendamping beliau memimpin Indonesia.

Ah, pokoknya kalau kalian membaca Seri Buku Tempo: Hatta, saya jamin kalian akan jatuh cinta pada si Bung. Tak mungkin tidak.

2) Anak Semua Bangsa Karya Pramoedya nanta Toer

Ini adalah buku ke dua dari Tetralogi Buru. Setelah ditahun 2018 saya menyelesaikan buku pertamanya yakni Bumi Manusia. Membahas soal buku yang satu ini rasanya saya mau nyontek aja dari tulisan saya di tugas kuliah beberapa minggu lalu.

FYI deh, kemarin saya mendapat tugas untuk meresensi buku, dan saya memilih buku ini untuk diresensi. Dengan alasan, mumpung baru selesai dibaca. Jalan ceritanya masih anget di kepala. Hehehe..

Nah, menurut saya pribadi, alur cerita awal di buku ini tidak semenarik di buku pertama. Tapi konfliknya jauh lebih mengesankan meskipun tidak sepanas di Bumi Manusia. Mungkin karena konflik yang dihadirkan di buku Anak Semua Bangsa ini, lebih mengarah pada konflik antara Minke dengan dirinya sendiri.

Di buku kedua ini, Minke si pemeran utama, dipaksa mencari eksistensinya sebagai seorang pribumi dan mengenal bangsanya sendiri. Seperti kita ketahui, di buku pertama, Minke digambarkan sebagai seorang anak bupati pribumi yang berbudaya Eropa sebab dia mendapat kesempatan berharga untuk bergaul, belajar, dan mengenal budaya Eropa lebih banyak ketimbang budaya bangsanya sendiri, Hindia Belanda.

Maka tidak heran jika Minke sebagai seorang anak pribumi mengagumi bangsa Eropa lebih dari bangsanya sendiri. Pemikirannya sangat modern. Sebelum akhirnya, bangsa Eropa yang selalu dielu-elukannya itu mengkhianati ekspektasinya. Itu dia yang menyebabkan Minke dalam buku Anak Semua Bangsa mencari jati diri dan eksistensinya sebagai seorang pribumi, berusaha untuk belajar mengenal bangsanya sendiri.

Bagi saya, konflik batin yang dihadapi Minke dalam buku Anak Semua Bangsa sangat menarik. Inilah yang selalu membuat saya terkagum-kagum pada Pramoedya Ananta Toer. Bagaimana dia menyuguhkan cerita yang berat terasa ringan ketika dibaca. Serta detail-detail kisahnya membuat imajinasi dalam kepala ikut bekerja. Membaca buku rasanya seperti sedang menonton sebuah adegan film. Pokoknya luar biasa. Kalau ada waktu senggang yang bingung hendak di isi dengan kegiatan apa, coba baca bukunya!

3) Filosofi Teras Karya Henry Manampiring

Ini buku nonfiksi yang baruuuuu banget selesai saya baca. Kayaknya, seumur hidup saya, kalau ada teman yang bertanya rekomendasi buku, buku Filosofi Teras ini gak akan pernah absen saya sebutkan.

Buku ini berisi tentang Filsafat Stoic. Yakni sebuah filsafat untuk menjalani kehidupan yang seimbang –menurut saya gitu. Diantara banyaknya ilmu filsafat yang saya tahu, filsafat stoic kayaknya yang paling menyenangkan untuk dipelajari dan dipraktikan dalam hidup, deh. Karena, filsafat ini sangat relatable dengan kehidupan sehari-hari kita. Bahkan, sepertinya banyak dari teman-teman juga yang tanpa disadari, semasa hidupnya telah mempraktikan filsafat stoic.

Dari penggambaran saya di atas kedengaran mudah, ya mempraktikan filsafat yang satu ini. Pas baca, saya juga merasa gitu. Cuma ya gak jadi, karena kalau dibaca sekilas filsafat stoic ini bisa dibilang serba salah dalam memberi saran. Tapi kalau dibaca secara mendalam alias dipahami, filsafat stoic ini banyak benarnya –ya tentu, kalau banyak salahnya gak akan dijadikan referensi belajar. Ya pokoknya gitu, kalian pasti paham maksud saya apa.

Nah, yang saya suka dari filsafat stoic ini, ia bisa diterapkan diberbagai aspek kehidupan. Setelah rampung dibaca kalian bakal menangkap kalau inti dari buku ini yaitu perihal dikotomi kendali untuk mencapai hidup yang sejahtera. Tapi kutipan-kutipan dan gambaran peihal detailnya sangat mengesankan.

Henry Manampiring jago sekali menyampaikan makna-makna ajaran filsafat secara gamblang namun tidak terasa berat. Rasanya mudah sekali dicerna. Vibesnya menurut saya hampir sama dengan buku Seni Bersikap Bodo Amat dari Mark Manson, namun saya lebih suka cara om Henry Manampiring menguraikan, hehehe.

Oh iya, di dalam buku ini juga, beliau (Henry Manampiring) melakukan beberapa hasil wawancaranya dengan psikiatri, dosen psikologi, psikologi anak, dan beberapa figure yang menganut paham stoisisme.

Keputusan Henry Manampiring untuk menerjemahkan kutipan/ucapan bahasan Inggris ke dalam bahasa Indonesia juga memudahkan pembaca untuk memahami topic pembahasan –ya, meskipun saya tahu, kebanyakan generasi milenial pasti memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Selain di bahasa Inggris, beberapa bahasa gaul juga tetap ikut serta hadir di buku ini. Maka dari itu, saya katakan bahwa buku filsafat yang satu ini ringan untuk dinikmati di waktu senggang. Bahkan belajar filsafat dapat dijadikan sarana hiburan. Wow, keren ya kesannya. Hahaha…

Pokoknya, kalau kalian lagi suka, baru mau suka atau mencoba untuk suka baca buku, buku Filosofi Teras harus masuk daftar buku yang wajib dibaca. Selebihnya terserah mau buku apa. Tapi tetap, sih, yang utama adalah Al-Qu’ran :) subhanallah…

Waduh, rasa kangen saya terbayar sudah. Awalnya Cuma mau melampiaskan aja. Nulis apapun yang terlintas di kepala. Tapi hasil akhirnya lumayan juga. Emang udah dasarnya diri ini bacot banget, kalo udah dikasih kesempatan buat berkata-kata, yang keluar berparagraf-paragraf. Bagus tapi, ya, post-an kali ini porsi seriusnya lumayan banyak.

Faedahnya buat teman-teman yang rela menghabiskan waktu membaca sampai akhir juga semoga banyak. Dah, gitu aja. Selamat istirahat. Gak usah khawatir sama hari besok. Belum tentu juga kamu dapat kesempatan membuka mata di waktu fajar nanti. Tapi kalau sampai Tuhan masih kasih kesempatan, bersyukur dulu, terus baru nge cek hp. Eh, tapi kalau bisa jangan, deh. Pagi-pagi buka gadget tuh racun.

Udah, ah.
Salam!

0 komentar:

Wdf-Wat deu friend?

8:37 PM 4 Comments


Halo… 
Salam, sapa, sayang. 
Gausah basa-basi dulu. Langsung aja kita hayyuu!! 

Let’s talk about FRIENDS! What the fuck is FRIEND?!
Something important in our life. I guess! 

Kalau gak setuju juga gak apa-apa. Kalian berhak punya opini sendiri. Tapi bagi saya pribadi, teman adalah salah satu alasan saya bertahan dibalik kerasnya kehidupan. Dulu gak kerasa. Karena semasa remaja, yang dikatakan teman itu banyak jumlahnya dan banyak versinya. Tapi sekarang, di lingkaran usia kepala dua, punya satu atau dua teman aja rasanya Subhanallah walhamdulillah walaillahailallah… bersyukur sekali. Meskipun seringkali tetap merasa yang setia menemani hanya si “sepi”.

Gak bisa dipungkiri. Meskipun banyak dari kalian yang mendamba suasana sepi, kalian tetap membutuhkan sekurang-kurangnya, satu teman berbincang. Entah untuk membicarakan segala resah, gelisah, atau sekadar berbincang tentang sesuatu yang kita suka, atau bahkan membicarakan hal-hal gak penting yang sering menimbulkan tawa. 

Dari dulu, saya selalu mempertanyakan eksistensi seorang teman. Bagaimana seharusnya seorang teman? Seperti apa seharusnya seorang teman? Sudahkan saya menjadi seorang teman untuk orang lain? Saya ingin sekali memiliki satu dari sekian banyak teman, yang baik. Tapi ternyata sulit, ya? Soalnya manusia gak sempurna. Tapi maunya yang sempurna.

Semakin dicari, teman baik ternyata cuma ilusi. Semakin didamba, hadirnya mereka Cuma jadi sia-sia. Capek dengan kebodohan diri sendiri, akhirnya saya berhenti. Gak lagi saya mencari, saya coba untuk menjadi. Meskipun banyak gagalnya. 

Saya pribadi yang tertutup. Ya, bisa dikatakan seorang introver. Tapi semasa sekolah dulu, paling gak bisa melakukan sesuatu sendiri. Pergi ke suatu tempat selalu ingin ditemani. Saya selalu butuh sosok seorang teman. Gak perlu banyak, satu sudah lebih dari cukup. Mungkin hal itu yang membuat saya akhirnya memberi pernyataan seperti di tulisan pembuka tadi. Teman adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup saya.

Dulu, saat rasanya mudah mendapat teman. Saat di mana banyak manusia dapat dengan mudah menjadi seorang teman, saya gak sadar bahwa sebegitu berharganya sosok teman. Karena selepas meninggalkan sekolah dasar, janji untuk tetap berteman dan akrab sampai kapanpun dengan mereka yang terdahulu hanya tinggal janji. Kami lumayan sering bertemu tapi sangat asing dibanyak waktu. Sapa hanya sekadar sapa. Tawa keluar tanpa makna. Moment-moment berharga mesti diciptakan lagi dengan waktu cukup lama. 

Sama halnya dengan mereka yang mengisi lembar cerita sekolah menengah. Selepas keluar dari gerbang sekolah, di kehidupan yang jauh lebih serius, masing-masing dari kami terlampau serius menjalani hidup. Lupa bersenang-senang sebab terlalu sibuk mencari kesenangan. Hingga yang didapat tak lebih dari rasa sepi dan untaian beban. Mencari atau menjadi sosok teman, sering tak sempat. Namun perasaan mendamba hadirnya mereka semakin keparat. Membuat semua yang nampak rasional menjadi irasional.

Mungkin dari kalian juga banyak yang tidak menyadari hal ini. Atau memang sadar, tapi terlampau apatis dengan realita yang begitu sadis. Gimana ya euy, menjadi dewasa beneran gak enak ternyata. Kalau melihat sekeliling sebetulnya yang bersedia menjadi teman masih banyak. Tapi kebutuhan kita akan sosok teman, dewasa ini banyak syarat. Memang bangsat. 

Hal ini mungkin yang membuat orang-orang dewasa terlihat menyedihkan. Mau berteman aja banyak pertimbangan. Selera humornya sama atau tidak; obrolannya menyenangkan atau tidak; dapat menjadi lawan bicara yang asik atau tidak. Padahal dulu, asal dia mau nemenin pergi ke kamar mandi di jam pelajaran, dia adalah seorang teman.

Tulisan ini sebetulnya saya rancang sebagai sarana saya untuk berterima kasih pada kalian yang sudah bersedia menyumbang kisah hingga menjadi bagian orang-orang terkasih dalam hidup saya. Anjay! 

Untuk teman-teman yang banyak versi. Untuk teman-teman yang datang-pergi. Untuk teman-teman yang sudah melewati rotasi; hilang tapi tetap terkenang. Kalian semua teman saya. Dan terima kasih sempat mau. Maaf, kegagalan kalian untuk menjadi teman akrab saya, disebabkan oleh gagalnya saya yang tak mampu mengakrabkan diri dengan kalian.

Dan kepada teman-teman yang masih kuat menjadi bagian dari cerita hidup saya di kehidupan kepala dua ini, terima kasih yang paling tulus dan sebanyak-banyaknya saya ucapkan. Maaf jika sebagai seorang teman, saya sering merepotkan dan menyebalkan. Saya hanya manusia yang sebetulnya selalu berusaha untuk memberi yang terbaik, tapi sering lupa diri meminta timbal balik. 

Hidup ini rotasi, entah direntan waktu berapa lama lagi kita akan bersama. Saya mafhum, di depan sana, kehidupan masing-masing dari kita akan berbeda. Meskipun pengennya, sih, kalian tetap jadi teman saya. Yang bodor, yang banyak bacot, yang ngeselin, yang seenak jidat datang-pergi, yang kalo nge-chat “geb” doang terus pas dibales malah ngilang, yang banyak mencaci sedikit memuji, seringkali nyembunyiin rasa sayang, banyaknya menampakkan kebencian, tapi cuma bercanda. Gini-gini saya sayang sama kalian. Dan sering kangen tiap kalian ngilang. Tapi jyjyck.

Coba aja, dunia gak banyak nuntut kita buat tumbuh dan jadi dewasa. Mungkin bumi bakal serupa surga. Gak perlu pusing mikirin teman hidup nanti siapa, karena saya punya yang jauh lebih berharga. Iyaaa, kalian-kalian ini yang saya anggap dan kebetulan menganggap saya teman. Dah ah, manis banget tulisannya lama-lama. Jadi malu. 

Salam.

4 komentar:

Catatan Awal Tahun

12:32 PM 0 Comments

Tahun baru, katanya begitu.
Tapi salamku tetap sama; Salam, sapa, sayang.. 

Bagaimana, sudah benar terasa ada yang baru selain penulisan tanggal di lembar tugas ? Yang sekali-dua pasti kalian tipex, salah tulis. Angka 19 kalian ubah 20.

Euforia dimana-mana. Padahal langit mendung. Hujan turun. Tapi kembang api dilangit dini hari tak urung sepi. Saya pun kalau ada yang ajak pergi dan dizinkan menapaki bumi yang basah hingga dini hari, mungkin ikut serta. Tapi males, ah. Enak tiduran. Lagi pula, untuk apa? 

Setiap perayaan memang memiliki pro dan kontra. Tapi tulisan saya kali ini bukan semata-meta menggurui, mengajak berdebat, atau menyalahkan berbagai opini orang lain, dan mengagungkan opini pribadi. Tapi lebih, ke.. “aduh kenapa ya, saya jadi begini ?” dan “kenapa orang-orang bisa begitu ?” 

Tahun lalu, meskipun tidak diucap dan diumbar, dalam diri saya masih tetap tersisa sebuah harap dan tuntutan prestasi untuk digapai. Singkatnya, resolusi. Tapi setelah 365 hari berlalu, semua yang tersisa tinggal “wht th f*ck is life..” –kasar, ya ? Gapapa. Manusia bukan makhluk halus. 

Dan efeknya, di tahun ini gak ada lagi resolusi, harapan dan ekspektasi. Bukan putus asa, lebih kepada usaha meminimalisir kecewa aja. Versi saya tentunya. Meskipun, entah hidup yang seperti ini masih pantas disebut hidup atau ngga ? Sebab katanya, hidup yang tak dipertaruhkan bukanlah hidup.

Itu urusan nanti. Toh dalam hidup, sengaja atu tidak, diinginkan atau tidak, sebuah resiko akan terus ada. Sebuah ujian tetap akan Tuhan beri. Manusia adalah tokoh pelaksana. Kalau gagal dan menyerah, ya kalah. Kalau tidak mau bangkit lagi, ya mati. Tapi kalau mau usaha terus, akan ada waktunya berhasil. Setelah itu, akan ada ujian lagi. 

Hidup mah begitu. Alurnya gak bisa ditebak. Waktu gak bisa dijeda. Kamu, gak bisa kebanyakan bercanda dan istirahat di tempat. Nanti gak bakal maju. Ketinggalan usia dalam meraih mimpi. Keburu disusul si maut yang gak bisa dihindari.

Saya kalau ngomong kayak yang bener. Tapi kebanyakn yang ditulis gak terealisasi. Kenapa ? Masih belum tau. Soalnya banyak kemungkinan yang bisa menjadi jawaban. Entah karena Tuhan tak merestui, malas, logika dan hati gak selaras, pesimis, terlalu mengikuti alur tanpa berbuat apa-apa, atau.. gak tau deh. Semua kayaknya satu kesatuan. Dan itu jawabannya. 

Kembali ke euforia orang-orang terhadap tahun yang berganti. Padahal setiap hari tetap sama. Saya jadi bingung deh lama-lama. Kenapa resolusi mesti dibuat setiap tahun berganti ? Kenapa awal tahun kalian banyak bahagia ? Seolah luka kemarin hilang seiring 2019 yang tenggelam ? Saya merasa semuanya sama aja.

Perubahan terjadi bukan karena pergantian tahun bukan ? Tapi karen diri sendiri yang keras usaha dan keras hati meraih semua yang diimpikan. Punya banyak resolusi tapi ga ada yang direalisasi juga buat apa ? 

Dan ada satu hal lagi. Saya rasa beberapa manusia salah paham dengan apa itu resolusi. Sebagian yang saya temui seperti berpikir bahwa resolusi adalah sebuah harapan. Padahal bukan. Resolusi adalah keputusan yang bulat berupa permintaan yang tentu direncanakan. Resolusi adalah tuntutan bukan harapan.

Jadi sebenarnya apa sih yang kalian rayakan ? Kenapa kalian mengucap banyak harap hanya ketika tahun berganti ? Padahal dalam hidup, harapan ada setiap hari.
 
Saya bingung..
Tapi tetap,
Salam.. 

0 komentar: