Generasi 90an Akhir

12:16 PM 0 Comments

Halo teman-teman..
Salam, sapa, sayang!

Melihat bagaimana sekarang banyak orang mulai meyukai sesuatu yang berbau masa lampau, lucu juga bahwa ternyata kalimat “hidup seperti roda” memang benar. Selain berputar, kadang ia membawa kita kembali ke kejadian serupa, di mana pada jaman kita belum dilahirkan, hal tersebut pernah juga terjadi.

Meski begitu, alasan saya menulis persoalan tersebut saat ini adalah karena saya yang kebetulan sedang suka-sukanya menonton film berbau tahun 90an dan mendengarkan musik-musik lampau, jadi tertarik sekali pada segala sesuatu yang berhubungan dengan segala yang terjadi di tahun itu.

Gak tahu kenapa, karena hal itu sekarang saya jadi punya perasaan ‘aduh, kenapa ya saya gak lahir duluan aja’. Meskipun saya mafhum banget, saya ini memang pribadi yang sangat random. Tapi untuk sampai berpikiran seperti itu, bikin saya geli sendiri. Xixixi..

Ketertarikan saya pada hal-hal vintage mungkin dipengaruhi juga oleh dunia maya. Di mana, seperti kita tahu, sekarang kan sedang banyak-banyaknya milenial yang menggandrungi style vintage, barang-barang yang berbau vintage –seperti kamera analog, vinyl, dan lain sebagainya­– kemudian banyak sekali film-film yang mengambil tema tahun 90an.

Saya memang lahir di tahun 90an. Tahun 1998 tepatnya, tapi, karena lahir di tahun 90an akhir, saya jadi anak yang tumbuh di tahun 2000an. Di mana di tahun itu, teknologi sudah berkembang sangat pesat. Sudah ada telepon genggam, sudah ada internet, sudah banyak sosial media. Jadi, perbedaannya sangat kentara.

Walau saya tetap punya pengalaman masa ‘jadul’, komunikasi masih via sms, sempat merasakan antri di telepon umum –meski hanya beberapa kali, dan memiliki waktu bermain semasa kanak-kanak yang diisi oleh berbagai kegiatan yang menguras keringat. Tidak seperti anak-anak jaman sekarang, berkumpul di satu titik dan sibuk menatap ke satu titik –layar gadget.

Ya, intinya saya masih merasakan masa kanak-kanak yang super menyenangkan.

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, faktor-faktor masa kini yang mempengaruhi saya jadi suka masa lampau salah satunya karena saya habis nonton film Back to 90’s. Dalam film yang diproduksi oleh negari Gajah Putih itu latar waktu dibuat serupa tahun 1995. Mengisahkan perjalanan waktu yang dialami oleh seorang remaja lelaki yang hidup di tahun 2015 di mana teknologi pada masa itu sudah berkembang, kembali ke masa muda orang tuanya di tahun 1995.

Film ini bergenre romansa. Namun yang menarik dari film ini bagi saya yaitu kehidupan remaja di tahun 1995 yang mengesankan. Gaya hidup mereka, hal-hal yang sedang trend, dan cara berkomunikasinya. Gara-gara nonton film itu, saya jadi pengen punya kaset pita dan walkmen, juga kamera analog.

Hal menarik lainnya adalah cara mereka berkomunikasi. Di mana di tahun 1995 telepon genggam masih sangat sulit ditemui. Jadi, alat komunikasi masih menggunakan telepon rumah/telepon umum. Juga ada satu benda kecil penerima pesan yang baru saya tahu setelah menonton film tersebut.

Benda tersebut adalah pager. Menurut Wikipedia, pager yaitu alat telekomunikasi pribadi untuk menyampaikan dan menerima pesan pendek. Penyeranta numerik satu arah hanya dapat menerima pesan yang terdiri dari beberapa digit saja, khas layaknya sebuah nomor telepon yang digunakan penggunanya untuk menelepon.

Dari film Back to 90’s, untuk mengirim pesan pendek pada lawan bicara, kita harus melakukan sebuah panggilan kepada suatu layanan –seperti operator jaringan– yang nantinya bertugas mengirimkan pesan kita kepada orang yang dituju. Lucu tidak, bagaimana biasanya teknologi dibuat untuk memudahkan pengguna, tapi justru cara menggunakan pager ini tidak sederhana. Namun itu dia point menariknya menurut saya.

Maka, tak jarang banyak orang di jaman dulu lebih suka bertemu ketimbang beradu kata lewat sosial media. Keterbatasan komunikasi di era tersebut justru menjadi alasan bagaimana hubungan sosial masyarakatnya lebih harmonis dan menciptakan banyak kesan serta kenangan yang manis. Ketimbang di era digital seperti saat ini.

Kini segala sesuatunya nampak mudah. Bahkan ketika rindu kita tak bisa dibayar temu, banyak pilihan aplikasi untuk memberi kepuasan si rindu luruh dengan bertatap muka via layar kaca. Mudah sekali, bukan ? Namun kemudahan tersebut justru menjadikan temu kita menjadi sulit.

Hal itu, sih, yang membuat saya jadi ingin lahir duluan. Hidup di era digital seperti membuat saya merasa dekat dengan banyak hal, namun hal-hal yang terasa dekat dengan saya ini sulit saya gapai. Saking banyaknya kemudahan yang bisa saya nikmati, saya jadi kesulitan untuk bisa menikmati keras usaha saya untuk menggapai hal-hal yang saya mau.

Ya, gitu deh, pokoknya.
Saya jadi pengen beli biola.

Salam!

0 komentar: