Generasi 90an Akhir
Halo
teman-teman..
Salam, sapa, sayang!
Melihat
bagaimana sekarang banyak orang mulai meyukai sesuatu yang berbau masa lampau,
lucu juga bahwa ternyata kalimat “hidup seperti roda” memang benar. Selain
berputar, kadang ia membawa kita kembali ke kejadian serupa, di mana pada jaman
kita belum dilahirkan, hal tersebut pernah juga terjadi.
Meski
begitu, alasan saya menulis persoalan tersebut saat ini adalah karena saya yang
kebetulan sedang suka-sukanya menonton film berbau tahun 90an dan mendengarkan
musik-musik lampau, jadi tertarik sekali pada segala sesuatu yang berhubungan
dengan segala yang terjadi di tahun itu.
Gak tahu
kenapa, karena hal itu sekarang saya jadi punya perasaan ‘aduh, kenapa ya saya
gak lahir duluan aja’. Meskipun saya mafhum banget, saya ini memang pribadi
yang sangat random. Tapi untuk sampai
berpikiran seperti itu, bikin saya geli sendiri. Xixixi..
Ketertarikan
saya pada hal-hal vintage mungkin
dipengaruhi juga oleh dunia maya. Di mana, seperti kita tahu, sekarang kan
sedang banyak-banyaknya milenial yang menggandrungi style vintage, barang-barang yang berbau vintage –seperti kamera analog, vinyl, dan lain sebagainya–
kemudian banyak sekali film-film yang mengambil tema tahun 90an.
Saya memang
lahir di tahun 90an. Tahun 1998 tepatnya, tapi, karena lahir di tahun 90an
akhir, saya jadi anak yang tumbuh di tahun 2000an. Di mana di tahun itu,
teknologi sudah berkembang sangat pesat. Sudah ada telepon genggam, sudah ada
internet, sudah banyak sosial media. Jadi, perbedaannya sangat kentara.
Walau saya
tetap punya pengalaman masa ‘jadul’, komunikasi masih via sms, sempat merasakan
antri di telepon umum –meski hanya beberapa kali, dan memiliki waktu bermain
semasa kanak-kanak yang diisi oleh berbagai kegiatan yang menguras keringat.
Tidak seperti anak-anak jaman sekarang, berkumpul di satu titik dan sibuk
menatap ke satu titik –layar gadget.
Ya, intinya
saya masih merasakan masa kanak-kanak yang super menyenangkan.
Seperti yang
sudah saya katakan sebelumnya, faktor-faktor masa kini yang mempengaruhi saya
jadi suka masa lampau salah satunya karena saya habis nonton film Back to 90’s. Dalam film yang diproduksi
oleh negari Gajah Putih itu latar waktu dibuat serupa tahun 1995. Mengisahkan
perjalanan waktu yang dialami oleh seorang remaja lelaki yang hidup di tahun
2015 di mana teknologi pada masa itu sudah berkembang, kembali ke masa muda orang tuanya
di tahun 1995.
Film ini
bergenre romansa. Namun yang menarik dari film ini bagi saya yaitu kehidupan
remaja di tahun 1995 yang mengesankan. Gaya hidup mereka, hal-hal yang sedang trend, dan cara berkomunikasinya. Gara-gara
nonton film itu, saya jadi pengen punya kaset pita dan walkmen, juga kamera analog.
Hal menarik
lainnya adalah cara mereka berkomunikasi. Di mana di tahun 1995 telepon genggam
masih sangat sulit ditemui. Jadi, alat komunikasi masih menggunakan telepon
rumah/telepon umum. Juga ada satu benda kecil penerima pesan yang baru saya
tahu setelah menonton film tersebut.
Benda
tersebut adalah pager. Menurut
Wikipedia, pager yaitu alat
telekomunikasi pribadi untuk menyampaikan dan menerima pesan pendek. Penyeranta
numerik satu arah hanya dapat menerima pesan yang terdiri dari beberapa digit
saja, khas layaknya sebuah nomor telepon yang digunakan penggunanya untuk
menelepon.
Dari film Back to 90’s, untuk mengirim pesan
pendek pada lawan bicara, kita harus melakukan sebuah panggilan kepada suatu
layanan –seperti operator jaringan– yang nantinya bertugas mengirimkan pesan kita
kepada orang yang dituju. Lucu tidak, bagaimana biasanya teknologi dibuat untuk
memudahkan pengguna, tapi justru cara menggunakan pager ini tidak sederhana. Namun itu dia point menariknya menurut
saya.
Maka, tak
jarang banyak orang di jaman dulu lebih suka bertemu ketimbang beradu kata
lewat sosial media. Keterbatasan komunikasi di era tersebut justru menjadi
alasan bagaimana hubungan sosial masyarakatnya lebih harmonis dan menciptakan
banyak kesan serta kenangan yang manis. Ketimbang di era digital seperti saat
ini.
Kini segala
sesuatunya nampak mudah. Bahkan ketika rindu kita tak bisa dibayar temu, banyak
pilihan aplikasi untuk memberi kepuasan si rindu luruh dengan bertatap muka via
layar kaca. Mudah sekali, bukan ? Namun kemudahan tersebut justru menjadikan
temu kita menjadi sulit.
Hal itu,
sih, yang membuat saya jadi ingin lahir duluan. Hidup di era digital seperti
membuat saya merasa dekat dengan banyak hal, namun hal-hal yang terasa dekat
dengan saya ini sulit saya gapai. Saking banyaknya kemudahan yang bisa saya
nikmati, saya jadi kesulitan untuk bisa menikmati keras usaha saya untuk
menggapai hal-hal yang saya mau.
Ya, gitu deh,
pokoknya.
Saya jadi pengen beli biola.
Salam!
.png)
0 komentar: