Kisah Kasih yang Luruh Selama Satu Tahun Penuh

7:17 PM 0 Comments

Halo, mungkin ini akan menjadi kegagalan kesekian dari usahaku menulis.

Tahun ini sebetulnya banyak hal terjadi, namun seiring berjalannya waktu keterampilanku menulis semakin berkurang. Mungkin karena aku terlena akan rasa malas yang tak pernah kehabisan cara menggerogoti hidup manusia.

Sebelumnya, salam, sapa, sayang...

Akhir tahun sudah di depan mata. Harus ku akui, tahun ini beberapa resolusiku bisa dibilang tercapai. Lebih tepatnya, aku dapat melihat hasil dari progres belajarku di universitas. Ya, aku resmi diwisuda. Setelah 4 tahun mengeyam modul demi modul dan mengerjakan tugas sebagai seorang mahasiswi –meskipun kalau boleh jujur, kuliahnya gak kerasa kuliah– tapi ternyata diakhir perjalananku mengejar strata 1, aku merasa cukup puas.

Kepuasan yang aku rasakan tentu tak lepas dari rasa bangga dan lega yang tak bisa disembunyikan kedua orang tuaku. Bahkan kelima kakakku menunjukkan perasaan itu. Aku menyadari, bahwa memang benar Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan lebih dari apa yang kita inginkan.

Sejujurnya, aku tidak merasa begitu puas pada hasil akhir yang aku dapatkan –ya, manusia memang begitu bukan? Sibuk mendambakan yang hanya angan, lupa mensyukuri yang dimiliki. Tapi setelah menyadari betapa orang-orang terkasihku ternyata bangga dengan pencapaian yang aku raih, aku menyesal karena lupa berterima kasih pada Dia Yang Maha Pengasih.

Di luar itu, aku merasakan kemunduran dalam berkreasi. Tekadku untuk aktif menulis minimal satu hari satu puisi di awal tahun, berakhir menjadi sebuah omong kosong. Aku bahkan sempat mengaktifkan kembali akun menggambarku di instagram, berencana untuk mulai kembali menuangkan angan-anganku lewat gambar dan beberapa tulisan, namun tak kunjung membuahkan hasil. Segala racau di kepalaku buntu.

Aku merasa hal itu terjadi karena aku terlalu sibuk menerka-nerka dan menimbang makna kehidupan lewat realita. Di mana, aku malah mendapati kehidupanku yang terasa semakin tidak bermakna. Meskipun kalau boleh jujur, moment wisuda bulan lalu seperti hadiah akhir tahun dari Tuhan sebagai pelipur lara.

Perihal bagaimana hidup ini aku jalani dengan terus membanding-bandingkan diri, itu masih. Setiap tahun aku masih begitu. Tapi tahun ini tidak separah tahun lalu. Tahun ini aku cukup sadar diri. Aku menyadari bahwa caraku menjalani hidup –bahkan memandang sebuah kehidupan– tentu berbeda dengan orang-orang di luar sana. Maka dari itu, pencapaian yang kami raih, tidak akan sama.

Tahun ini aku juga mengantarkan kedua teman dekatku menyambut kehidupan mereka yang baru. Dikam menikah. Disusul Tiara. Aku dan yang lainnya berbahagia untuk kebahagiaan mereka, meskipun kalau boleh jujur, ada sedihnya juga. Aku paham, kehidupan setelah menikah tentu akan berbeda. Hal itu membuat aku pernah berpikir bahwa pernikahan hanya membuat aku kehilangan teman-teman. Betapa sebuah pola pikir yang kekanak-kanakan. Hahaha.

Tapi ternyata aku salah. Kalian tahu tidak? Aku sungguh merasa bersyukur karena tidak pernah meragukan arti sebuah pertemanan. Bahkan kalau nanti tiba giliranku menemukan teman hidup, aku tidak akan pernah meninggalkan dan melupakan teman-teman yang menemaniku tumbuh. Sebab mereka begitu.

Dikam dan Uyung meskipun sudah memiliki kehidupan yang berbeda denganku, tetap bersedia hadir di segala moment berharga dalam hidupku.

Dokumentasi Pribadi

Mahda dan Ita, meskipun kami sudah tidak terlalu sering bersama. Aku masih mampu merasakan kebersamaan yang hangat meskiput terlipat jarak.

Selain itu, Icong, Widya, Sari, Nilam, Lulu, Bilah, Yuni, dan Tiara juga senantiasa menjadi pelipur lara disaat aku lelah menjadi seorang dewasa. Bersama mereka, aku merasa kenangan masa remajaku yang telah lalu dapat aku renggut kembali. Di tengah-tengah mereka, aku tidak pernah mengkhawatirkan tentang kehidupanku sekarang. Aku rasa mereka pun sama. Meskipun di sela-sela kebersamaan, kami sadar bahwa kehidupan kini dengan yang lalu telah jauh berbeda.

Dokumentasi Pribadi

Sekali lagi, nikmat Tuhan yang satu ini adalah nikmat tiada tara.

Ah, satu lagi yang hampir luput.

Upil!!

Terima kasih super banyak tak akan aku lewatkan untuk makhluk Tuhan yang satu itu. Sahabat penaku, meskipun seringnya berkomunikasi melalui sosial media, tapi aku senang memanggilnya sahabat pena. Bisa dibilang, untuk hal-hal krusial dalam hidupku sekarang, dia adalah tempat segala keluh kesahku luruh. Meskipun anaknya sering bikin aku misuh-misuh karena kelakuannya ada-ada aja, tapi kalau dipikir-pikir, dia teman yang membuat aku merasa ‘aku mendapatkan apa yang aku beri’. Aku bersyukur mengenalnya. Semoga ia pun begitu.



Dokumentasi Pribadi

Yaa, begini sahabat pena. Ungkapan-ungkapan seperti ini hanya mampu tersampaikan lewat aksara. Semoga di tahun yang akan datang kami mampu bertatap muka. Minimal satu kali dalam hidup, gapapa.

Sebagai penutup, peran paling besar dalam segala aspek aku tumbuh tentu keluargaku. Sebagai seseorang yang tidak pernah sekali pun meninggalkan rumah, keluargaku adalah segalanya. Meskipun, di usia yang sudah tidak lagi muda ini, rumah kadang menjadi tempat yang paling ingin aku hindari. Tak jarang rumah terasa seperti jeruji.

Aku sempat berpikir, hal yang membuat merantau terasa meyenangkan mungkin karena jauh dari rumah. Jauh dari keluarga. Jauh dari masalah internal. Sehingga perasaan tersiksa yang dirasakan anak-anak rantau adalah perasaan rindu pulang ke rumah. Perasaan betapa susahnya jauh dari keluarga. Serta perasaan kecewa karena tidak dilibatkan dalam masalah internal.

Lihatlah, betapa hidup itu adil bagi semua orang. Disaat yang lainnya rindu pulang ke rumah, aku ingin keluar dari rumah. Disaat yang lain kesulitan menjalani hidup jauh dari keluarga, aku ingin berjuang menghadapi kesulitan tanpa melibatkan keluarga. Disaat yang lain merasa kecewa karena tidak ikut serta dalam masalah keluarga, aku justru ingin melarikan diri dari sana.

Tenang.. tenang… Keluargaku tidak seburuk itu. Mereka masih tetap menjadi keluarga paling harmonis nomor satu dalam hidupku –karena aku tidak tahu kehidupan keluarga lain– perasaan-perasaan seperti yang tadi aku jelaskan hanya perasaan yang muncul di beberapa kesempatan.

Maka dari itu, yaa… sudah, mau gimana lagi. Namanya juga kehidupan.

Tahun ini, tahun lalu, maupun tahun yang akan datang pasti akan banyak kisah-kisah serupa. Entah yang menghadirkan duka, suka, maupun lainnya. Maka dari itu, tetaplah hidup sebelum ajal menjemput.

Selamat menyambut akhir tahun!!!

Eh, Akhir tahun disambut?

Salah ya? Maaf, namanya juga manusia.

Salam.

0 komentar:

Gado-Gado (dari Ambisi, Mimpi lalu Tulus dan Mawas Diri)

11:59 AM 0 Comments

Hidup tanpa ambisi, rasanya menenangkan namun tidak berisi.

Permisi.. salam, sapa, sayang!

Wah, sudah sangat lama saya tidak berkunjung. Mohon dimaklum, tahun ini hidup saya dihiasi banyak bingung.

Setiap tahun meskipun kosong tetap mengisi diri saya, entah kenapa saya merasakan berbagai macam perasaan yang berbeda. Seperti, tahun lalu banyak pilu, tahun ini banyak liku, tahun yang akan datang masih gatau.

Atas hal itu, saya jadi menyadari bahwa meskipun waktu berputar kembali ke angka satu setelah melewati angka dua belas, kemudian hari kembali pada hari senin setelah melewati selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, dan minggu. Saya melewatinya dengan cara yang berbeda meskipun dengan kegiatan yang sama.

Tanpa disadari, ternyata perubahan juga terjadi setiap hari. Hanya mungkin, kebiasaan jauh lebih dominan menunjukkan eksistensinya, maka beberapa hal akhirnya luput dari perhatian.

Melewati lebih dari setengah tahun ini, saya sudah membaca 21 buku-buku yang membuat saya jadi ingin mengadukan satu hal ini lewat tulisan. Ada hal baru yang saya temukan dalam diri saya. Satu lagi hal yang membuat saya mengenal diri saya.

Ambisi;

Di beberapa tulisan sebelumnya, mungkin saya pernah membahas atau sedikit menyebutkan perihal ambisi. Namun baru sekarang, saya menyadari bahwa selama 24 tahun saya hidup, ternyata saya benar-benar hidup tanpa ambisi.

Bahkan sejak saya duduk di bangku sekolah, saya cenderung menjadi siswa yang “dapet nilai gede, syukur. Kalo gak dapet, yang penting lulus.” Maka dari itu, dari dulu hingga sekarang saya cenderung tidak mendapat kesempatan untuk meraih sesuatu yang luar biasa membanggakan.

Hidup saya cenderung biasa-biasa saja. Kebiasaan saya untuk menghindari resiko, membuat eksistensi saya terkadang dilewatkan beberapa orang. Kemarin lalu, saya merasa orang-orang hanya menganggap saya ada ketika mereka membutuhkan saya. Entah membutuhkan tenaga, waktu, dan lainnya yang membuat mereka terbantu.

Pikiran seperti itu membuat saya sedih dan merasa kesepian. Saya paham bahwa hidup adalah transaksional, tapi jika semua merujuk pada hal tersebut, maka apa arti sebuah ketulusan?

Tapi kemudian saya sadar, itu hanya perasaan sesaat. Pilu yang dibuat-buat. Meskipun saya lelah, saya tidak mau berhenti menebar kebaikan –menurut saya membantu orang lain adalah hal yang baik. Sampai ada masa  di mana saya merasa sangat muak dengan pertanyaan “Lagi sibuk ga?”, karena saya tidak bisa menjawab “Iya, saya lagi sibuk”, kemudian menolak untuk membantu karena diri saya juga sedang butuh bantuan. Saya tidak bisa melakukannya.

Kadang-kadang batin saya mengecam. Saya seharusnya memiliki batasan. Tapi saya tidak bisa tegas menghadapi hal-hal semacam itu.

Itu pula yang cenderung membuat saya lebih mengutamakan kebutuhan orang lain ketimbang diri saya sendiri. Di mana kemudian, hal itulah yang membuat saya tidak berambisi untuk meraih hal-hal gemilang untuk diri saya sendiri.

Pekerjaan saya banyak tertunda, tapi saya bekerja begitu terlunta-lunta. Lalu hasilnya, biasa saja.

Berkali-kali saya jelaskan bahwa saya pribadi yang memiliki banyak mimpi di kepala. Namun realitanya, saya membiarkan hidup berjalan sebagaimana adanya. Tanpa banyak berusaha, tanpa banyak meminta, dan kalau boleh jujur, saya tidak terlalu banyak berdoa. Maksud saya, sudah lama saya tidak bisa berdoa untuk kepentingan diri saya sendiri. Saat berdoa saya cenderung menggunakan template doa yang itu-itu saja. Namun hebatnya, hidup saya baik-baik saja, mesipun berjalan sekenanya.

Sekali lagi, saya paham makna Tuhan Maha Segala. Bahkan ketika saya bingung melantunkan doa. Tuhan tahu apa yang saya butuhkan dan memberikan segala pertolongan tanpa pamrih.

BINGOOO!!!

Bukankah, itu arti sebuah ketulusan?

0 komentar:

Marah-Marah Tapi Malah Jadi Tambah Resah

10:58 PM 0 Comments

Sudah malam di hari lebaran. Idul Adha gak bakar-bakaran. Di rumah tetap tamu berdatangan, akhirnya memutuskan untuk istirahat saja karena kelelahan.

Tapi saya belum tidur karena kangen teman-teman. Maka dari itu, izinkan saya memberi salam, sapa, dan sayang.

Sudah kali kesekian saya mengeluhkan rasa rindu untuk menulis kembali di sini. Tapi belum juga terpenuhi. Karena rasanya keresahan yang saya punya itu-itu saja. Semua sudah saya utarakan juga. Makanya, bingung sendiri mau menulis apalagi?

Tapi malam ini tiba-tiba kepikiran soal masalah saya yang itu-itu saja, justru dapat berakhir menjadi sebuah masalah baru. Iya, gak? Hidup memang kadang berupa pengulangan, tapi masalahnya, saya selalu mengulang masalah yang tidak pernah selesai saya hadapi. Jadi, kalau kayak gitu apa pantas disebut pengulangan? Bukannya itu tak lebih dari penyelesaian masalah yang tertunda? Alias, isi keresahan saya yang itu-itu aja, disebabkan oleh masalah yang ternyata tanpa saya sadari memang tak pernah saya selesaikan.

Sialan!!!

Kesadaran akan hal ini membuat saya jadi memiliki masalah baru. Meskipun ada untungnya, saya jadi punya bahan tulisan untuk dibagi pada teman-teman. Tapi anjir, bikin saya jadi makin pusing.

Saya sepayah ini apa, ya? Terus lari dari sesuatu yang harusnya saya hadapi. Seakan sedang mengubur biji dari buah-buahan yang ketika saya makan rasanya pahit. Eh, taunya si biji menjadi benih di dalam tanah dan tumbuh menjadi tanaman baru tanpa saya sadari.

Masalah saya sekarang masih sama, tak jauh dari perasaan rendah diri yang membuat saya tertinggal jauh dari pencapaian orang-orang di sekitar saya. Suatu ketika saya sempat disadarkan oleh keluarga, mereka bilang hidup saya berprogres, kok. Saya sudah hampir menyelesaikan kuliah saya. Pekerjaan juga berjalan dengan baik sejauh ini, bahkan saya sudah mulai bisa berbaur degan rekan di tempat kerja. Tapi, diri saya sendiri tak merasakan apa-apa atas perubahan yang ada.

Kadang saya bertanya-tanya “memang definisi tumbuh yang saya inginkan itu seperti apa, sih? Sampai-sampai saya tidak menyadari progres dari setiap proses yang sudah saya lalui?”. Dan saya tidak menemukan jawabannya. Tapi ada satu hal yang saya yakini sebagai salah satu pemicu perasaan rendah diri yang saya miliki. Jangan tertawa membacanya, ya. Memang agak geli sejujurnya mengutarakan hal ini. Tapi yasudah, gak apa-apa.

Saya masih sering merasa khawatir dengan masalah finansial. Saya sering merasa tertinggal dari teman-teman yang lain karena apa yang saya miliki sekarang masih jauh dari cukup untuk bekal saya menata masa depan. Usia saya sudah hampir menginjak 24 tahun. Tapi bahkan tabungan untuk hal-hal tak terduga pun tidak mencukupi. Padahal saya masih tinggal bersama orang tua. Biaya sehari-hari perihal makan dan kebutuhan pokok lainnya masih ditanggung oleh mereka. Sedangkan saya sudah hampir 7 tahun bekerja.

Mungkin dalam sudut pandang kalian, ini hanya perihal rasa iri saya saja kepada yang lainnya. Ya, mungkin hal ini berakar dari sana. Tapi setelah dipikir-pikir, kalau saya begini terus, pasrah terus dan tidak berambisi untuk memperbaiki masalah yang satu ini, bagaimana hidup saya ke depannya? Apalagi di era sekarang ini, semua hal membutuhkan biaya.

Sudah kali kesekian saya berpikiran untuk menambah penghasilan di luar pekerjaan. Tapi saya tidak tahu harus melakukan apa. Saya juga terlalu banyak takutnya untuk mencoba hal baru. Semangat saya berkreasi sudah tidak seperti dulu. Saya semakin bertambah payah.

Selain itu, sekarang saya semakin merasa sedang kejar-kejaran dengan waktu. Ketika melihat ke belakang, saya seolah disadarkan bahwa apa yang saya lakukan kemarin-kemarin ini hanya main-main. Saya jadi merasa telah membuang-buang waktu yang seharusnya bisa saya manfaatkan untuk mengembangkan diri.

Saya sudah muak sekali dengan diri saya sendiri. Dengan perasaan takut yang terus menghantui. Dengan banyaknya pertanyaan dalam kepala. Dengan jawaban-jawabannya yang menyadarkan saya betapa hidup saya tidaklah dapat dikatakan sebuah kehidupan. Karena saya terus dan selalu berlari di dalam lingkaran setan. Saya tak mampu berlari ke luar jangkauan. Saya terlalu bermain aman. Saya memilih terus menjadi seorang pecundang.

Menyebalkan!

Demi Tuhan, rasanya lebih baik saya terus dihantui oleh banyaknya pertanyaan tentang hidup dalam kepala saya. Lebih baik saya tidak menyadari ketakutan yang saya miliki. Daripada begini. Rasanya saya hanya sedang menjebak diri saya sendiri dalam sebuah ketersesatan. Seolah saya hanya sedang menunggu waktu saya mati untuk segera datang karena saya terlalu takut menghadapi segala perubahan yang berakhir membawa saya pada hal asing yang harus saya hadapi untuk bertahan hidup.

Saya sudah muak.
Benar-benar muak dengan kehidupan yang saya jalani sekarang!

0 komentar:

Misuh-Misuh pertama di Bulan 2 Tahun 2022

10:52 PM 0 Comments

Tulisan ini dibuat pukul 21.45, jadi selamat malam serta salam, sapa, sayang..

Kita awali tulisan pertama tahun 2022 di bulan kedua saja, ya. Bulan di mana hari kasih sayang dirayakan, begitu katanya. Jadi sayang kalau dilewatkan tanpa dihiasi keluhan.

Sebenarnya akhir-akhir ini sudah jarang sekali menulis. Meskipun di awal tahun berencana untuk membuat satu tulisan setiap harinya, namun seperti biasa, rencana hanyalah rencana. Akhirnya hanya mampu terlaksana selama satu minggu sehingga hanya menghasilkan 4 puisi, 1 prosa dan 1 cerpen saja.

Bingung juga, kenapa meluapkan keresahan lewat tulisan sekarang sulit sekali. Padahal, banyak yang ingin dibagi. Perihal usia yang sering mengganggu, waktu yang terus melaju, dan hidup yang seperti sedang berhadapan dengan jalan buntu.

Kalau dipikir-pikir, tahun ini sudah akan menginjak usia 24. Katanya, memang sedang fasenya. Banyak yang menyebut fase ini sebagai quarter life crisis.

Waktu yang berjalan bergitu cepat, meninggalkan banyak hal di belakang. Hal yang tidak kelihatan progresnya, tak terasa prosesnya. Tau-tau sudah hampir seperempat abad hidup di bumi. Menghirup udara secara gratis dan megeluhkan hidup diambang kritis.

Yah, memang kadang hal sekecil udara yang bisa dihirup tanpa harus mengeluarkan uang, kita lupakan. Makanya, wajar saja ada beberapa manusia yang malah menghakimi kesulitan orang lain dengan kalimat “kamu hanya kurang bersyukur”. Yang sebetulnya justru hal itu gak wajar, karena siapa juga yang mampu menukar udara dengan uang? Siapa yang berhak mendapat uang atas udara? Gak ada. Gak dapet yaa, maksudnya? Oke, skip.

Mengingat perkataan Adimas Immanuel bahwa “Hidup adalah transaksional..” memang betul. Tuhan memberikan nikmat hidup untuk kita nikmati sebelum dijemput mati. Tuhan ciptakan udara, bukan semata-mata agar manusia hidup, tapi bagaimana manusia mampu bertahan hidup dengan hal dasar yang Tuhan beri secara cuma-cuma. Intinya, hal terpenting untuk menopang kehidupan manusia sudah Tuhan beri, sisanya manusia harus usahakan sendiri.

Jadi, ya memang tidak ada yang gratis dalam hidup. Karena hidup adalah transaksional. Bedanya, transaksi manusia dengan Tuhan bukan semata-mata agar Tuhan memperoleh keuntungan, namun untuk manusia itu sendiri, agar mampu bertahan hidup dengan dilingkupi keberuntungan.

Maka dari itu, kalimat “kamu hanya kurang bersyukur” semakin hari semakin terasa menghakimi. Seolah-olah segala masalah ada karena manusia meniadakan nikmat Tuhan.

Oke sudah mulai melantur.

Point utama saya menulis ini adalah perihal quarter life crisis yang sedang saya rasakan sekarang. Jadi, mari kita kembali ke fokus awal.

Sosial media, yang saya anggap sebagai media hiburan, menjadi bumerang. Perasaan rendah diri, iri-dengki, marah terhadap diri sendiri, bahkan kesadaran bahwa saya sedang menghadapi jalan buntu disebabkan oleh sosial media itu sendiri. Saya semakin sering membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang membagikan kisah menarik dalam hidup mereka di laman sosial media.

Rasanya mereka sudah berada jauh di depan sana. Entah dengan pasangannya, dengan pekerjaannya, dengan prestasinya, atau lain sebagainya. Sedangkan saya di sini masih berdiam diri memikul pertanyaan “saya akan jadi apa?”, “saya sudah melakukan apa saja?”.

Namun, hal paling berbahaya yang saya rasakan terhadap pergolakan perasaan di atas, bukan hanya perasaan rendah diri tadi yang dominan menguasai, tapi ketika diri saya justru tidak berbuat apa-apa saat menyadari, saya belum juga menjadi “apa-apa”. Malah asyik tenggelam dalam kelamnya kehidupan di usia seperempat abad.

Ketika misalnya, pekerjaan yang sedang saya jalani sekarang dirasa tidak mencukupi kebutuhan ekonomi pribadi, saya malah asyik mengandalkan gaji dan mengisi hari-hari dengan misuh-misuh sambil ongkang-ongkang kaki. Bukannya mencari solusi untuk menambah penghasilan. Bodoh, kan? Maka dari itu, jangan ditiru.

Lalu kemudian, muncullah perasaan minder yang membuat progres hidup malah semakin mundur. Bukannya rendah hati, ini malah rendah diri. Gak heran kan, kenapa sering merasa sedang berada di fase terendah dalam hidup?

Tapi ya itu, tadi. Sudah tau masalahnya apa, sudah tau seharusnya bagaimana, malah tetap berdiam diri. Tuhan memberi cobaan untuk mengangkat derajat manusia. Eh, manusianya malah merendahkan diri sendiri di hadapan cobaan tanpa berusaha menghadapinya.

Sorakin mereka..
manusia-manusia yang seperti itu;
Manusia yang seperti saya.

Sudah, selamat malam.

0 komentar: