Pengecut
Meski sudah berlalu, tetap selamat lebaran untuk
teman-teman.
Salam, sapa, sayang!
Langsung saja. Menurut kalian, kadang jadi pengecut itu perlu
gak, sih ? Menurut saya, perlu. Karena dengan kepengecutan diri yang kita
miliki, kita jadi bisa membatasi; Membatasi diri agar tidak merasa tinggi,
membatasi diri agar tidak mengedepankan ego, membatasi diri agar kita tahu
porsi kita tuh di mana, dan membatasi diri agar tidak gegabah dalam mengambil
keputusan.
Meskipun dibanyak kesempatan, menjadi seorang pengecut
membuat saya melewatkan banyak hal yang saya punya untuk berani keluar dari
zona nyaman. Padahal, kalau diri saya pemberani, saya mungkin sudah sampai pada
salah satu mimpi yang saya kehendaki. Tapi karena saya pengecut, sampai detik
ini mimpi-mimpi tadi masih hanya sebuah mimpi.
Saya tiba-tiba kepikiran kayak gini, karena saya pribadi
yang pengecut. Bahkan mau nyalip mobil di jalanan aja, saya sering urung. ‘Biar lambat yang penting selamat’, kesannya
gitu. Tapi kalau lagi konvoi sama
teman-teman yang naik motor, bukan lagi ‘biar
lambat yang penting selamat’ tapi ‘biar
mereka duluan, saya belakangan’ meskipun berakhir jadi merepotkan, karena
teman-teman yang baik hati rela mengurangi kecepatan dan merelakan waktu yang
terbuang hanya untuk berada dibelakang motor saya sampai ke tempat tujuan.
Dasar saya, sudah jadi pengecut, merepotkan pula.
Tapi di luar faktor merepotkan tadi, saya yang pengecut
setidaknya sudah menjaga diri. Tidak kebut-kebutan di jalan, mengurangi resiko
kecelakaan, kan ? Meskipun musibah mah
gak ada yang tahu. Mau sedang berhati-hati atau tidak, kalau Allah menghendaki,
bakal tetap kejadian. Karena resiko seorang pengendara ya begitu, kalau gak
nabrak, ya ditabrak. Tapi, sebagai manusia ada baiknya kita menghindari. Bukan
begitu ? Skip.
Kemudian, kepengecutan diri saya yang lain adalah selalu
mangkirnya diri saya untuk keluar dari zona nyaman. Zona yang memabukkan, zona
yang paling aman, zona yang serupa racun dengan kecepatan membunuh yang lamban
namun tetap mematikan.
Kalau saja saya memiliki keberanian untuk mau memperjuangkan
mimpi-mimpi saya yang lalu, akan ada dua kemungkinan. Saya sudah sampai atau
saya sudah gagal. Di mana, meskipun ada kemungkinan gagal, dengan begitu saya
jadi tidak penasaran dan saya jadi punya pengalaman, bukan ? Saya juga bisa
jadi semakin tahu posisi dan porsi diri saya. Kemampuan dan kemauan saya sudah
selaras atau belum. Sayangnya, kepengecutan membuat gagal dan sampainya saya
hanya terjadi dalam kepala. Tidak benar-benar nyata.
Namun ajaibnya, hal-hal menjengkelkan itu terus mencari
pembelaan –seperti sekarang. Kepengecutan membuat diri saya tidak tumbuh dengan
banyak wawasan dan pengalaman bertualang, namun saya jadi banyak berpikir dan
banyak berbicara dengan diri sendiri.
Kepengecutan membuat saya menikmati ruang sendiri. Mulai paham
makna tumbuh dalam jeruji yang dibatasi besi-besi berupa rasa kasih sayang ibu,
bapak dan kakak-kakak. Kepengecutan membuat diri saya jadi pribadi yang tidak
mandiri. Tapi memiliki kesiapan pabila kelak harus hidup mengembara sendirian.
Kepercayaan diri yang tak tahu diri sebenarnya. Tapi setidaknya, saya jadi
tidak memiliki perasaan takut jika kelak waktunya tiba, saya harus keluar dari
zona nyaman.
Begitulah pembelaan diri dari si pengecut. Setiap kali takut,
ia beringsut mencari selimut. Payah, tapi bukan masalah. Jadi pengecut kadang
ada baiknya. Baiknya, bisa terus mencari pembelaan diri agar segala yang kalut
tidak semakin kusut.
Dasar pengecut!
.png)

0 komentar: