Catatan Akhir Tahun

11:32 AM 0 Comments

Kita awali dengan salam, sapa, sayang.. 
Di sepanjang tahun 2019, banyak maaf terutama pada diri sendiri dan beberapa pribadi yang terkena imbas tak menyenangkan untuk dikenang, dengan, atau tanpa disengaja. 

Perjalanan yang cukup memiliki banyak catatan evaluasi. Yang banyak melahirkan keluh dan menanam penyakit hati. Yang hampir mematahkan mimpi diantara kepingan hati yang hancur lebih dulu. Hanya berat yang dirasa sebab sering merasa sendiri. Lupa diri bahwa beberapa dari mereka yang diinginkan hadir sama kusut dan kehilangan arti. 

2019, banyak tangis yang pecah meski entah karena apa. Kebebasan yang dirasa sempat dirampas; kehilangan seorang teman yang senang dan kenang bersamanya sangat membekas; pencarian arti hidup yang penuh halang rintang; datang-perginya mereka yang sempat mengetuk pintu hati tanpa permisi; egoisme dan apatisme yang meninggi; seenak hati pada hati yang memberi, namun ketika Tuhan membalas uji lewat orang lain, si diri dengan tak tahu diri lantang memaki; dan perasaan tak berguna yang menyelimuti badan diantara gigil sepi kemarau panjang. 

Sungguh, tahun yang berjalan sangat cepat namun terasa lambat sebab terlalu banyak sambat. Tapi kalau dipikir-pikir, banyak sekali pelajaran yang didapat dan harus diemban agar di tahun yang akan datang, hal-hal berat yang sempat terjadi tidak terulang.

Harapan untuk tahun yang akan datang tentu tetap ada, meskipun saya tidak mau terlalu banyak berharap. Resolusi juga tak perlu dicatat, dalam suasana hati yang masih sarat makna cukup jalani tahun 2020 nanti dengan tak banyak menanam penyakit hati. Memperkecil jarak diri dengan Tuhan. Berserah diri tapi tak menyerahkan kendali pada entah hati atau logika.

Namun kembali lagi, jika memang rancang rencana adalah jalan kemanusiaan –yang meski ditertawakan Tuhan– saya  akan. Sebab manusia candu akan bahagia, menolak penuh segala bala. Meski sekali-dua Tuhan beri bencana, namun Tuhan janjikan bahwa hidup kan baik-baik saja. Seperti kutipan yang saya ambil dari tulisan Raka Ibrahim; Adapun janji Tuhan tak akan pernah sia-sia dan tak akan kadaluwarsa.” 

Saya Gebrina, dengan segala rasa haru, berterima kasih pada teman-teman yang sudah mau membaca. Entah karena sengaja, penasaran, atau kebablasan baca meski di awal hanya berencana melihat-lihat saja.

Selamat mengakhiri tahun penuh pilu. Banyak semoga dari pribadi kita masing-masing di tahun selanjutnya. Yang meski sekali-dua jatuh akan terulang, tapi semoga tidak pernah lelah untuk bangkit dan melawan tawa dunia. Kecuali kita, karena aamiin kita tak pernah bercanda.

Salam..

0 komentar:

Perspektif vs Perspektif

6:03 PM 0 Comments

Sudut pandang, memang harus lebih dari satu agar tidak tersudutkan. 

Di mulai dari salam, sapa, sayang..

Halo teman-teman.. 

Judul dan kalimat pertama sudah memberi gambaran, topik apa yang akan saya sampaikan. Perihal perspektif/sudut pandang, tak perlu banyak, saya hanya akan membandingkan antara perspektif saya dan ibu saya.

Kami sering sekali berdebat meski tak sering-sering amat. Soalnya saya gak terlalu banyak bicara, tapi sekalinya bicara membuat suasana kayak lagi di acara Mata Najwa. Makanya saya sebut “sering” tapi “gak sering-sering amat”. 

Saya pribadi yang tertutup, teman-teman akrab pasti tau, pun kalau kalian baca blog saya dari awal. Sifat tertutup saya gak cuma di lingkungan sosial, bahkan di rumah pun saya sulit sekali membuka diri. Dalam artian bercerita banyak hal tentang hari ini saya ngapain aja, ada masalah apa, atau sekadar cerita tentang bensin yang tak tersisa, uang pun sama.

Tapi akhir-akhir ini, saya perlu sedikit demi sedikit berbicara. Yang bukan lagi pada kertas dan pena, tetapi pada akar kehidupan diri saya; Emak (panggilan saya ke ibu). 

Sebelumnya izinkan saya bercerita yang sebetulnya tidak terlalu ingin saya buka. Emak saya buta huruf. Sekarang usianya sudah lewat kepala 5 menuju kepala 6. Dulu, beliau bilang, beliau tidak disekolahkan karena faktor ekonomi dan di usia mudanya Tuhan mentakdirkan beliau untuk kehilangan bapak. Sekilas saja, ya. Kalau harus banyak, tulisannya akan sangat panjang lebar.

Nah, karena keterbatasan beliau, ketika berbincang kita gak terlalu sering membicarakan hal-hal serius. Saya gak suka kalau udah ngobrol, beliau bicara “Iya, yah, emak mah bodoh ini, gak sekolah. Jadi ga ngerti masalah-masalah yang kayak gitu.” Merasa dirinya rendah bahkan diantara anak-anaknya. Padahal, derajat beliau jauh di atas saya dan kakak-kakak lainnya. 

Yah karena hal tersebut akhirnya obrolan kami gak lebih dari ngobrol ngalor ngidul, beliau nanya-nanya kegiatan saya yang selalu saya jawab “baik-baik aja”, atau menceritakan ulang kisah-kisah beliau di masa muda. Kisah yang selalu beliau ulang-ulang sampai saya hapal alurnya gimana.

Tapi akhir-akhir ini, karena beliau suka ikut ibu-ibu pengajian dan mendengar ceramah-ceramah di setiap kajian, topik pembicaraan bertambah. Perihal agama dan hukum-hukumnya. Yaaa, meskipun kita ga paham-paham amat, tapi menarik sekali akhirnya bisa berdiskusi. Selain itu, peran saya mulai berubah. Saya jadi mulai sering bercerita. Masih belum banyak dan sepenuhnya saya ceritakan, tapi lumayan berkembang dari dulu-dulu di mana saya hanya berperan sebagai pendengar. 

Saya mencoba mengutarakan keresahan saya sedikit-sedikit kepada beliau. Tapi beliau hanya diam seperti mempertimbangkan dan memikirkan ucapan saya. Setelah beberapa hari, ada kesempatan kami berbincang lagi, baru beliau sampaikan perspektifnya tentang apa yang saya utarakan kemarin. Dan tahu tidak? Perspektif kita hampir selalu berbeda.

Misalnya ketika saya mengutarakan perihal keinginan saya berpartisipasi dalam SBMPTN tahun 2017, ketika saya berbicara beliau hanya berkata “Ya terserah kamu aja itumah..” tapi 2 – 3 hari setelah itu, beliau bilang “Udah, kerja aja yang bener. Bukannya emak gak dukung, tapi kondisi ekonomi keluarga kita gak nentu.” 

Saya mengerti soal itu, dan saya tidak mau menuntut mereka untuk hal itu. Tapi saat itu saya sedang menggebu-gebu. Saya meyakinkan beliau bahwa sebisa mungkin, saya gak akan merepotkan. Soal biaya, kan ada bidik misi. Jadi, saya bisa usahakan untuk ikut bidik misi sebelum mendaftar. Saya hanya perlu restu dan dukungan dari beliau. Tapi tetap, penjelasan saya tidak dapat merubah perspektif beliau. Beliau malah bilang “Gak usah terlalu dipikirkan mau sekolah tinggi-tinggi, toh kalau sudah punya suami kamu belum tentu boleh bekerja. Gelar sarjana juga cuma kan sekadar menjadi gelar.” Karena saat itu saya cukup geram, saya Cuma bilang sama beliau “Saya kuliah bukan untuk gelar, tapi untuk menambah ilmu dan mengembangkan wawasan. Saya juga mau memperlebar lingkungan sosial saya dengan kuliah. Toh, ilmu kalau sudah di dapat, bisa jadi bekal yang bukan cuma buat saya, tapi anak cucu kelak.” 

Pada saat bilang seperti itu saya sebenarnya takut beliau akan tersinggung. Tapi saya tahu, emak saya cerdas. Dia paham betul apa yang saya pikirkan. Dan beliau cuma bilang “Iya, paham. Kalau begitu silahkan. Tapi kerjaan jangan sampai ditinggal.” 

Satu masalah terpecahkan. Tapi satu masalah datang. Saya kerja di Pandeglang, target Universitas yang saya kehendaki ada di luar kota. Ya, mana bisa kerjaan dipertahankan. Saya coba jelaskan lagi ke beliau, tapi kali ini saya tidak melihat peluang bahwa beliau akan luluh. Pikir beliau pekerjaan lebih penting daripada kuliah. Karena toh setelah kuliah, proses manusia untuk menjalani hidup, ya dengan bekerja.

Tidak ada yang salah memang dengan itu, tapi saya punya mimpi yang tidak sejalan dengan pekerjaan saya sekarang. Dan kuliah saya pikir adalah jembatan menuju ke sana. Tapi emak gak paham soal yang satu itu. Dia keukeuh bahwa setelah lulus kuliah, belum tentu juga saya bisa mencapai keinginan saya.

Ekspektasi beliau tentang saya memang selalu berdasar kepribadian saya yang beliau tahu. Manja, tidak bisa apa-apa, penakut, pemalu, dan lain sebagainya. Padahal, dengan dibiarkannya saya bertualang saya yakin hal itu malah bisa menjadi batu loncatan untuk saya merubah pribadi saya seperti yang beliau pikirkan. Saya yakin saya mampu melampaui ekspektasi beliau. 

Namun ternyata sudut pandang saya dengan beliau tak seirama. Beliau tak bisa diluluhkan kali ini. Akhirnya saya yang mengalah. Kami ambil jalan tengah. Beliau memberi izin saya kuliah tanpa meninggalkan pekerjaan, saya akhirnya menyanggupi. Kemudian dipilihlah Universitas Terbuka sebagai tempat saya megemban ilmu selepas SMA.

Permasalahan tentang kuliah selesai. Namun perbedaan perspektif kita tidak. Justru malah semakin bertentangan. Bahkan hal seperti membaca buku saja, beliau permasalahkan. Saya yang memang lagi suka-sukanya baca, kadang suka menyisihkan gaji yang tak seberapa untuk membeli buku. Tanpa bilang dulu kepada si emak. Pas tiba-tiba datang kurir ke rumah, beliau cuma bilang“Hmm, beli buku mulu buat apa siihhh. Cewek-cewek lain seumuran lu pada beli baju, elu malah beli buku.” Saya mah haha hihi aja sebagai jawaban. Lagi gak mau berdebat. 

Pun kalau lagi ada waktu luang, terus beliau liat saya lagi baca, beliau pasti nanya “baca buku apa itu? Buku pelajaran bukan?”  jawab saya tentu bukan. Saya bilang aja lagi baca buku cerita. Terus dia malah gerutu “Belajar bukan, apa bukan, baca buku mulu. Dapat apa emang dari buku-buku kayak gitu.” Banyaknya saya Cuma diem aja gak terlalu menanggapi, tapi kalau lagi kesal sendiri suka saya jawab “Nambah wawasan. Kan aku di rumah terus gak pernah kemana-mana. Jadi caranya gini biar nambah pengetahuan dan pegalaman. Dari cerita orang.” Akhirnya gantian, beliau yang gak berkata-kata. Meskipun bagi orang tua, senjata tetap ada. “Mending pake buat istirahat. Itu mata elu nanti rusak.” Nah, ga bisa deh bantah lagi. Nanti makin panjang urusan.

Sudut pandang ketiga yang lagi sering dipermasalahkan akhir-akhir ini adalah soal pekerjaan saya. Jujur, saya lagi ada di fase gak nyaman sama apa yang lagi saya kerjakan sekarang. Dan hal tersebut sering bikin mental saya down. Pas coba saya curahkan ke beliau. Seperti biasa, beliau cuma bilang “Terserah. Gimana kamu aja.” Tapi 2 – 3 hari atau paling cepat besoknya, beliau mengutarakan pendapat beliau yang sebenarnya. Dan perspektifnya lagi-lagi berbeda dengan perspetif saya. 

Soal pekerjaan, emak termasuk orang tua yang tidak menuntut finansial, beliau mau saya dihargai orang karena pekerjaan saya. Saya pun sama, tidak terlalu menuntut finansial, tapi kenyamanan yang utama. Tentu keduanya berbeda. Emak selalu berpikir bahwa apa yang sekarang menganggu saya adalah hal lumrah dan biasa terjadi di pekerjaan manapun. Nanti juga terbiasa, katanya. Saya sudah hampir biasa dengan itu, tapi selama bekerja saya merasa saya tidak megalami perkembangan. Lingkungan sosial selalu seperti ini, isi tabungan seringnya tidak ada, bekerja jadi kehilangan kendali. Capek mental dan fisik sedang gaji tidak seberapa. Akhirnya finansial saya jadikan tuntutan karena merasa sepenat ini.

Menghadapi pagi setelah semalaman tidur dengan segudang keluh, rasanya berat sekali. Bukan Cuma senin, selasa bahkan sampai sabtu saya begitu. Minggu pun rasanya berat. Karena saya gak punya kegiatan apa-apa. Di rumah cuma tidur-tiduran, mau keluar ga ada teman. Uang juga adanya cuma di awal bulan. Saya beneran capek. 

Setelah diungkapkan, saya kira akan sedikit berkurang beban saya. Tapi ternyata malah ada beban baru yang harus diemban. Menerima perspektif dari orang tua dengan lapang dan mencoba menyandingkan kedua sudut pandang.

Ini yang juga yang mungkin sering membuat saya down. Selalu memaksakan diri untuk berpikir positif. Apa yang saya mau kalah baik dari apa yang orang tua kehendaki. Apa yang saya rencanakan tidak lebih matang dari denah orang tua yang menuntut saya berjalan. 

Kadang ego saya sebagai manusia menggunung. Saya gak bisa terus berada di dalam jeruji untuk sampai ke arah mimpi-mimpi. Tapi saya terlalu takut menjadikan diri saya sebagai pemenang dalam perdebatan dua sudut pandang. Antara saya dan ibu saya. Karena sejujurnya bukan hanya sudut pandang beliau yang harus saya lawan. Melainkan kakak-kakak saya yang ikut serta dalam lingkaran perspektif orang tua. Ibu saya memiliki dukungan, sedang saya sendirian.

Yang saya pahami sejauh ini, memang perpsektif orang tua tidak akan pernah seirama dengan perspektif anak muda. Saya di mata beliau tetap seorang anak kecil, yang tidak boleh lepas dari ikatan agar tak keluar dari jalur kehidupan. Beliau khilaf bahwa saya sama seperti beliau yang merupakan seorang anak dari seorang ibu. Tumbuh besar dan dewasa seiring berjalannya waktu. 

Ada hal-hal yang sudah tidak bisa lagi diterapkan dalam cara beliau melindungi saya. Beliau lupa bahwasanya, kini saya hanya perlu doa, kepercayaan, serta dukungan dari beliau agar saya mampu berjalan sendiri tanpa diikat tali atau dilindungi dalam jeruji.

Terima kasih telah datang. Maaf kalau tulisan kali ini tidak terlalu berkesan. Saya hanya ingin mencurahkan.
Salam. 

0 komentar:

Manusia, Hidup, dan Banyak bicara

1:27 AM 0 Comments

Terduduk aku di ruang tunggu sebuah klinik. Di depan resepsionis yang berdampingan langsung dengan apotek. Menunggu namaku dipanggil untuk menebus obat-obatan yang sudah aku pesan atas resep dokter barusan. Sebetulnya hanya demam, tapi tetap membuat tak nyaman, jadi aku rasa mesti diobati.

“Ainan...” baru saja hendak berdiri, namun laki-laki di sebelahku segera mendahului.

“Oh, Ainan bukan Ainun.” Gumamku dalam hati menyadari kekeliruan diri sendiri.

Samar-samar ku dengar perawat bagian resepsionis berbicara pada seorang lelaki yang biar ku tebak, pasti seumuran denganku. Kalau tidak salah dengar mereka sedang membicarakan jadwal poli jiwa di klinik tersebut. Waw, aku rasa kehidupan lelaki tersebut tak seindah parasnya.

“..tapi saya lihat di jadwal seharusnya hari ini melayani, mbak.” Ujar lelaki jangkung yang mengenakan topi tersebut.

“Iya mas memang seharusnya seperti itu, tapi mohon maaf sekali, dokter poli jiwa kami sedang berhalangan hadir. Dan klinik kecil seperti ini, belum mampu memiliki staf poli jiwa yang banyak. Beliau adalah satu-satunya.” Jelas si perawat dengan ramah.

“Yasudah, terima makasih.”

Dengan raut kecewa, lelaki tadi pergi meninggalkan ruang tunggu dengan tergesa. Kulihat sekilas, kedua lengannya bergetar dan diujung dahi sebelah kanan terlihat peluh.

“Ainun.”

“Mbak Ainun..”

“Atas nama Ainun Prajnaparamita!!!” teriak petugas apoteker yang entah sudah kesekian kali memanggil namaku.

. . .

Keluar dari klinik dengan plastik berisi obat demam, magg, vitamin dan antibiotik, aku melihat lelaki yang sempat mencuri perhatianku di dalam tadi, sedang terduduk di salah satu kursi di taman klinik. Ia kembali mencuri perhatianku.

Hanya duduk, sendirian, memandang lurus ke depan dengan gerak kaki yang tak karuan. Topinya kini semakin menutup murung yang hinggap di wajahnya. Dia benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Entah darimana perasaan empati ini datang, aku mengabaikan panas di dahiku yang semakin dominan. Aku pergi menghampirinya. Terduduk tepat di sebelahnya sambil mengeluarkan handphone dan earphone. Ia tetap diam dengan seribu aura kegelisahan yang kini dapat aku rasakan.

Aku membuka media player dan memilih daftar lagu di sana.

“Mau ikut dengerin ?” tawarku. Gerak kakinya berhenti dan ia menoleh ke arahku. Dengan wajah yang datar, ia hanya menatapku diam.

Aku tersenyum memberi tanda padanya untuk mengambil sebelah earphone ku. Dia masih tetap diam dan tatap matanya sudah beralih pada benda yang ku pegang.

“Ini..” sekali lagi aku menawarkan, yang kemudian ia sambut dengan mengambil sebelah earphone tersebut lalu memasang pada telinga sebelah kanannya.

Aku tersenyum, lalu memilih salah satu lagu di playlist ku. Kemudian hanya sunyi, suara angin, sapu yang bergesekan dengan aspal yang ditimbulkan oleh staf kebersihan di sini, serta merdu suara permainan piano Lazar Berman. Cukup lama. Lalu kemudian, terdengar suara isak dari arahnya. Aku tak berani melihat, hanya terdiam dan menunggunya reda. Meskipun yang kudapati malah isaknya yang berubah menjadi tangis tragis.

Aku benar-benar beku. Tidak mampu bersuara dan bahkan melihat ke arahnya. Rasanya dadaku ikut nyeri. Menyadari bahwa ternyata Tuhan Maha Adil. Ia buat kehidupan tidak menyenangkan untuk semua orang. Bukan hanya aku, atau lelaki disebelahku. Menyebalkan memang, tapi memang begitu cara kerjanya, kan?

Cukup lama ia terisak. Dan aku membeku dengan kerongkongan yang rasanya tercekat. Lazar Berman sudah memainkan lagu yang sama hampir tiga kali. Kemudian suara tangis mereda, guncangan bahu yang semula bergetar pilu sudah kembali tenang seperti semula. Ia berusaha mengatur nafas sembari mengusap air mata yang membasahi wajahnya yang tertutup topi. Kembali sunyi. Permainan Lazar Berman kalah dominan dari suara detak jantungku.

Le mal du pays. Frantz List.” Ucapnya kemudian setelah permainan piano Lazar Berman berhenti.

Jujur, aku sempat terkejut mengetahui bahwa ia tahu lagu yang sedang aku putar. Tapi sekaligus senang.

No. Lazar Berman.” Sanggahku.

Ia hanya mengangkat bahu, tanda acuh-tak acuh. “Siapapun itu. Rekomendasi dari Haruki Murakami.” Katanya kemudian.

Aku tergelak secara spontan. Menertawakan dugaanku yang sangat tepat. Dia suka membaca.

“Hahaha, suka baca ya?” tanyaku mencoba mencairkan suasana yang semula sangat tak menyenangkan.

“Ngga.” Jawabnya singkat sembari menggelengkan kepala. Aku hampir saja kecewa sebelum akhirnya mendengar kelanjutan kalimatnya. “Cuma memang sering penasaran sama palylistnya Murakami. Jadi, baca bukunya.” Katanya begitu. Kembali membuatku tertawa.

Aku membenarkan posisi dudukku untuk menghadap padanya yang masih mempertahankan tatapan dingin lurus ke depan.

“Lalu, sering penasaran sama apalagi? Benda mati mana yang diberi jiwa oleh Sapardi?” tanyaku.
Ia akhirnya mengalihkan pandangannya dan menatapku.

“Hmmm, lumayan.” Jawabnya. “Dan pesan kehidupan yang sering disembunyikan Paulo Coelho disetiap kisahnya.”

The Alchemist?”

“Salah satunya. Kemudian ada Mata Hari, kumpulan cerpennya dalam buku Seperti Sungai yang Mengalir, dan Veronika Memutuskan Mati.”

“Wah, banyak juga.”

He is The one of my favorite.”

“Kalau Murakami?”

“Eh, tunggu.” Sanggahku sebelum ia menjawab pertanyaanku barusan.

“Biarku tebak.” Aku pura-pura berpikir sejenak, sedang ia hanya terdiam menatapku.

“Norwegian Wood. Tzukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya.” Tebakku yang bisa kupastikan, seratus persen benar.

Ia kembali menatap ke arah depan yang sebenarnya hanya ada sebuah pohon mangga dan beberapa tanaman bunga yang sedang baris berbaris dalam pot.

“Kalau gitu gak usah saya jawab.” Katanya. Aku benar-benar tak bisa menahan senyum lebarku.

“Adalagi?” Aku kembali bertanya.

“hmmm?” ia menoleh lagi kearahku.

“Penyair atau penulis yang kamu suka?” Aku sadari bahwa aku sangat banyak tanya. Tapi, tak apalah. Aku terlanjur penasaran.

“Selain Chairil Anwar tentunya.” Lanjutku setelah menyadari sebuah kutipan dalam kaos hitam yang hampir tertutup outer kemeja kotak-kotak yang ia kenakan. Sekali berarti, sudah itu mati.

Dia yang menyadari hal tersebut langsung memperhatikan kaosnya dan tersenyum. Membuatku lega.

“Hmmm, dalam negeri/luar negeri?” tanyanya.

“Keduanya.”

“Hmm, sejauh ini Murakami, Paulo Coelho, Jostein Garder, Eric Fromm, Multatuli.” Jawabnya sambil terus berpikir dan mengingat-ingat. “Kalau penulis dalam negeri tentu Pramoedya, pemberi jiwa pada benda mati seperti katamu tadi –Sapardi Djoko Damono, Dee Lestari, Sudjiwo Tedjo, Eka Kurniawan, Gie, Tere Liye cukup menyenangkan untuk dibaca. Tan Malaka, Kartini, Emha Ainun Najib, Danarto, Leila S Chudori, dan ini.. yang menulis kutipan di bajuku.” Ia menyelesaikan jawabannya dan aku tersenyum puas mendengarnya. Cukup mengesankan, dan aku menyukainya.

Aku menunjukkan rasa terkesanku dengan bertepuk tangan sedikit. Membuatnya kembali tersenyum.

“Pantes daritadi duduk di sini sendiri. Independen.” Ujarku, senyumnya berubah menjadi tawa kecil. Lagi-lagi aku dibuat lega.

“Orang yang suka baca emang gitu, pintar. Sering berpikir kritis. Tapi buruknya, kadang pikirannya liar, sulit dikontrol. Jadi mempengaruhi psikologis.” Ucapku.

Ia hanya terdiam. Lalu menundukkan kepalanya. Aku merasa salah bicara barusan. Suasana kembali menjadi canggung.

“Suka The Beatles?” tanyanya tiba-tiba.

“Oh, iyaa?”

“Lagu The Beatles favorite saya Yesterday.” Ucapnya lagi. “hmmm boleh?” tanyanya melihat ke arah handphone yang sedari tadi ku genggam.

“Oh, iyaa. Boleh.” Lalu aku mecari playlist The Beatles dan memutar lagu Yesterday sesuai permintaannya.

Lalu ia diam lagi. Seperti seorang anak yang baru saja dikabulkan keinginannya oleh sang ibu lalu disuruh diam. Akupun sama. Tak berani bersuara.

Hingga kemudian...

“Saya capek menghadapi dunia.” Tuturnya. “Tapi sama sekali gak mau bunuh diri. Takut ketika dimakamkan, bumi tak menghendaki. Ya, walaupun gak soleh, saya pengen dikasih kesempatan mencicipi harum surga.”

Oke, ini adalah sebenar-benarnya waktu yang tepat untuk tak banyak bicara dan hanya menjadi telinga.

“Saya gak punya alasan untuk bertahan. Orang tua, teman, seseorang yang saya sayang.. rasanya mereka hanya Tuhan beri sebagai pelengkap agar saya tidak benar-benar sendiri. Bukan lagi penyemangat.”

“Meskipun sebenarnya sia-sia. Saya tetap merasa sendiri.”

“Ya, saya tahu semua yang kita rasa kembali lagi kepada bagaimana cara kita memandang hidup. Kalau hanya sebelah mata, tentu yang terasa hanya sebagian cerita. Yang kebetulan bagian gak enaknya. Tapi saya capek husnudzon terus. Atau mungkin cara saya husnudzon salah ya?”

“Saya bukan berprasangka baik tapi berharap?” lagi-lagi ia memberi jeda. “Tapi apa bedanya?”

“Kata Adimas Immanuel Hidup itu transaksional. Saya menyikapinya sebagai hubungan timbal-balik. Dalam ilmu psikologi perihal hubungan interpesonal juga gitu. Pun kata banyak pepatah; Buah yang kau dapat sebagaimana benih yang kau semai. Sejauh ini saya merasa saya menyemai benih-benih kebaikan, kasih sayang, pengertian, dan kesetiakawanan. Tapi hasil yang saya dapat selalu berupa kekecewaan.”

“Apa cara saya menyemai salah?”

“Gak tahu sebelah mana bagian salahnya. Tapi memang sesuatu yang tidak berjalan baik pasti memiliki alasan, kan?” Tuturku.

“Iya, lagi-lagi saya memberi kesimpulan yang sama. Menjadikan diri sendiri sebagai terdakwa. Seminggu atau bahkan sebulan ke depan, saya akan menjalani hukuman. Merasa menjadi pribadi yang tidak berguna, tapi tetap memiliki kewajiban tersenyum untuk menipu dunia.”

Sebentar, izinkan aku bernafas. Sebentar. Kalimat-kalimatnya menyesakkan dada.

“Ya, tapi perasaan seperti ini hanya perihal waktu, kan. Akan ada waktunya ia hilang meskipun nanti akan terulang. Lagipula hidup adalah panggung sandiwara, jadi wajar banyak drama. Hidup juga katanya perjalanan panjang. Meskipun ga sedikit orang bilang hidup itu singkat. Ah, pokoknya gitu. Kalau ngomongin hidup, ribet.”

“Ngomongin mati.. segan. Soalnya setelah mati bakal ada pertanggung jawaban. Kehidupan baru yang lebih abadi dan panjang.”

“Tapi ada untungnya.” Ia menoleh dan menatapku yang sedari tadi tertegun. “Di bumi banyak orang jahat. Tapi orang baiknya gak sedikit.” Lanjutnya sembari tersenyum.

Lalu ia melepaskan sebelah earphone ku dari telinganya lalu memberikannya padaku.

“Lama-lama telinga sakit juga dengerin lagu yang itu-itu aja. Udah hampir 6 kali Paul McCartney nyanyi lagu yang sama.” Guraunya membuatku sedikit menyunggingkan senyum.

“Terima kasih sebelumnya sudah empati, dan.. rela menjadi telinga.” Ucap ia yang kurasa sudah selesai meluapkan keresahannya. “Semoga saya bisa nemuin lagi orang-orang yang peduli sama keresahan orang disekitarnya. Kayak mbak.” Lanjutnya hampir membuatku tersipu.

“Tapi mas kayaknya salah paham.” Ucapku.

“Gimana ?”

“Saya samperin mas bukan karena saya peduli sama keresahan mas, kok.” Aku menemukan sedikit rasa bingung dari wajahnya.

“Tapi karena Masnya ganteng.” Tukasku. Air mukanya seketika berubah. Bukan tersipu melainkan tak menyangka.

“Serius ?” dia benar-benar bingung dengan pernyataanku.

“Iya. Kalo gitu, kasih saya kontak mas. Whatsapp, Line, nomor handphone, atau apapun terserah. Biar mas ga repot. Kalau nanti gak ketemu sama orang yang peduli lagi, mas bisa temui saya kembali.” Aku memberikan handphone yang sudah menampilkan log kontak padanya yang masih tertegun.

“Berarti kalau saya jelek, ga akan samperin saya?” dia mengabaikan uluran tanganku dan malah bertanya lagi.

“Iyaa, tentu.” Jawabku singkat.

Ia mengalihkan pandang dengan terburu, diam sejenak dan menggeleng-gelengkan kepalanya tak menyangka.

“Saya makin gak betah hidup rasanya.” Tuturnya kemudian diiringi gelak tawaku.

Tak lama, ia ikut tertawa. Entah nyata, atau hanya sedang memainkan perannya sebagai manusia; peran utama dipanggung sandiwara dunia.


Selesai.

0 komentar:

Perihal Musik bagi Kesehatan Mental dan Fisik

10:27 AM 0 Comments

Halo teman-teman, seperti biasa…
Salam, sapa, sayang… 

Mungkin gak semua seirama soal selera, tapi saya yakin deh kebanyakan dari kita suka karya seni yang super asik ini. Iya, musik.

Musik bagi saya sudah menjadi bagian yang cukup penting dalam hidup. Menjadi teman atau bahkan pelarian dari hiruk pikuk kenyataan yang majemuk. Meskipun dalam hal ini peran saya hanya sebatas penikmat bukan pembuat. Tapi musik adalah kebutuhan yang tak bisa saya hindari barang sehari.
Ini mah sebenernya mau cerita aja sih, gak akan bahas terlalu dalam dan seserius judul :( 

Tapi kalau dilihat dari judul, yang saya rasa dewasa ini memang musik berperan penting bagi kesehatan mental yang kemudian memengaruhi kesehatan fisik. Hal tersebut saya alami sendiri. Yaah, seperti keluhan-keluhan saya sebelumnya. Saya yang lagi sering sensitif ini jadi sering menghabiskan waktu sendiri. Di sela waktu sendiri yang banyak menyita tenaga lewat berpikir tapi sedikit bekerja itu, saya sering ingin ditemani. Tapi rasanya gak butuh orang lain untuk mengisi. Dari sanalah kemudian musik adalah satu-satunya teman.

Ngomong-ngomong, kok bisa sih musik memengaruhi kesehatan mental dan fisik ? di luar musik adalah karya seni, menurut beberapa penelitian memang musik bisa dijadikan media penyembuhan. Sebelum menulis pembahasan ini tentu saya mencari referensi dari beberapa artikel lain di google, dan ternyata banyak sekali artikel yang membahas topik serupa. 

Rata-rata isi artikel tersebut menyampaikan bahwa sebagaimana telah dilakukan penelitian oleh para ahli, musik dapat digunakan sebagai media relaksasi. Selain dipengaruhi oleh keindahan nada, musik juga memiliki nilai estetika dari karya sastra.

Sepengetahuan saya sebagai pendengar, pemilihan jenis musik dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Mulai dari nada dan iramanya, lirik lagunya, serta genrenya. Ada yang menyukai musik karena nadanya yang sopan sekali masuk telinga. Ada yang menyukai musik karena liriknya yang berhasil menyentuh jiwa. Dan ada yang memang menyukai musik karena suka akan genrenya. 

Kalau saya pribadi, bisa masuk ke kategori suka nada dan lirik. Karena soal genre, saya gak banyak tahu dan mafhum. Lagian genre mah apa aja yang penting pas masuk telinga ‘Assalamualaikum’ dulu. Wkwkwk…

Nah, kembali ke point curhatan saya. Akhir-akhir ini saya sedang merasa mental saya lagi payah-payahnya. Katanya sih memang sedang fasenya. Jadi yaudah saya nikmati aja meskipun banyak ngeluhnya. 

Kadang kalau gak ingat akan bekal apa yang harus di bawa biar masuk surga, mau mati aja rasanya. Ah, tapi saya gak mau nyerah gitu aja. Soalnya kalau ada kesempatan, saya mau tau masa tua saya gimana. Saya juga gak mau menghabiskan masa muda dengan sia-sia.

Kalau lagi waras gini saya memang pandai menasehati. Tapi kalau lagi berantakan, semua yang ada di dunia termasuk diri sendiri gak ada gunanya. Beruntung saya punya perlengkapan bermeditasi –handphone, earphone, dan lagu-lagu indie. Wkwkwk. 

Gak, gak, bercanda. Gak cuma lagu indie. Intinya saya selalu mengalihkan segala beban ke musik. Lagu-lagu yang sering saya dengar ya sesuai suasana hati. Tapi kalau lagi tertekan gitu alternatif paling tepat yaa lagu-lagu indie.

Saya lagi benar-benar jatuh pada karya Bhaskara Putra (Hindia). Tenggelam ke dalam lirik di setiap larik lagu-lagunya. Terbuai nada dan irama yang sopan banget masuk telinga. Pokoknya jatuh cinta dalam takaran Secukupnya.

Ada lagi musisi yang lagu-lagunya enak banget didengar dan dijadikan bahan evaluasi. Yaitu Kunto Aji. Album Mantra-mantranya benar-benar menyihir suasana hati yang semula buntu menemukan pintu. 

Kemudian ada Nadin Amizah, yang lagu-lagunya sangat menenangkan. Membuat melayang tapi tak menelan kesadaran. Ibarat sedang berharap, saya paham betul bahwa harus ada satu tempat yang tersisa untuk kenyataan.

Tapi gak melulu. Saya gak mau juga menggiring persepsi kalian bahwa saya anak indie murni. Gaaakkkk… 

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya mendengar musik juga sesuai suasana hati. Kalau lagi pengen denger lagu pop, rock, heavy metal, klasik, oldies, blues, hiphop, atau bahkan dangdut, ya saya dengar. Karena sejatinya, semua elemen musik berpengaruh terhadap mental dan fisik.

Hindia, Kunto Aji, dan Nadin Amizah hanya beberapa contoh saja. Yang kebetulan memang patut di rekomendasi. 

Tapi serius deh, untuk menemani bermeditasi lagu-lagu dari musisi indie, oldies, musik klasik, dan musik-musik relaksasi seperti suara air hujan, air sungai, suara hutan serta kicau burung yang bersahutan di alam terbuka adalah alternatif yang tepat. Versi saya. Hehehe…

Wah tulisannya panjang dan kayaknya cukup membosankan. Ah, biarin ah. Sayang kalau sudah ditulis tapi gak dibagikan. 

Saya kasih kesimpulan deh kalau begitu. Musik itu keindahan. Sedang hidup dan kenyataan tak melulu begitu. Jadi, saya rasa musik dapat membantu kamu mengurangi beban pikiran. Meningkatkan konsentrasi, membantu relaksasi dan mengurangi depresi.

Segitu dulu, sampai jumpa di lain waktu.
Meskipun tidak selalu, tapi harus tetap bahagia berkali waktu.
Tetap berenergi dan jadi pribadi yang asik.
Serta jangan lupa dengar musik.

Salam.

0 komentar:

wkwkwk

8:12 PM 0 Comments

Maaf sebelumnya kalau tidak sopan, datang benar-benar hanya ketika tertekan. 
Tapi sebelumnya, tolong tetap izinkan saya memberi salam, sapa, sayang... 

Hanya ingin bercerita. Menceritakan semua yang sedang berantakan. Mencurahkan semua yang sudah tak tertahan. Meluapkan semua yang terpendam. 

Kalau dihitung hari, kebetulan sudah hari ketiga yang benar-benar dirasa seperti ini. Terikat beban yang diciptakan sendiri. Padahal dunia baik-baik saja. Tertawapun masih sama mudahnya. Rezeki, mencukupi. Pun orang-orang yang hadirnya datang-pergi. 

Yang berbeda hanya yang tidak terlihat. Atau mungkin terlihat, karena saya rajin mengeluh di dunia maya. Fatal. Kesalahan fatal sebenarnya mengeluh di tempat yang bukan seharusnya. Tapi apalagi yang bisa diperbuat ? Di sana saya merasa berteriak pada ruang lapang. Tapi juga merasa didengar oleh jutaan manusia yang sedang online. 

Usia sudah melampaui batas kepala dua tapi belum juga dewasa. Persetan!!! Kalau dewasa menuntut banyak hal yang mengekang, saya mau kembali menjadi anak ingusan saja. Yang tidak perlu banyak berpura-pura menjalani hidup. Kalau sedih, ya nangis. Kalau senang, ya tertawa. Kalau tidak punya uang, tinggal minta. Kalau merasa kesepian, pergi main sama teman-teman. Kalau sedang ingin bicara, ada yang mendengarkan. 

Sudah bagus sejak dulu tak pernah berkeinginan menjadi pemain drama. Tapi ternyata tidak bagus karena dunia adalah panggung sandiwara. Mau tidak mau. Bisa tidak bisa. Menciptakan karakter yang bukan diri kita adalah harus. Karena tidak semua orang bisa menerima. Tidak semua orang akan suka. Bukan perihal kemunafikan dunia. Tapi ini perihal hakikat manusia sebagai manusia. Individualisme yang tak bisa hidup sendiri. 

Itulah mengapa kemudian Tuhan menciptakan Hawa untuk menemani Adam. Karena sendirian adalah hal tabu yang mematikan. Tak ada yang lebih menyedihkan daripada mati kesepian. 

Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk

Ini post-an ngawur. Tapi dibumbui lebih banyak porsi jujur. Jangan dimasukkan hati. Pikiran apalagi. Saya baik-baik saja, hanya perlu basuh muka, sikat gigi, evaluasi. 

Kebetulan memang hari ini sedang menganggap semua yang dialami adalah sebuah masalah. Jadi untuk menjelaskan secara detail apa yang terjadi, saya tidak bisa. Bahkan untuk berair mata, terlalu lebay rasanya. 

Besok sudah akan jauh lebih baik. Karena setelah membuka mata nanti (kalau masih diberi kesempatan oleh Tuhan), saya akan menganggap semuanya hanya bagian dari perjalanan hidup. Dan hanya sekedar skenario pelengkap dalam sebuah naskah drama. Sebab masalah adalah masalah ketika kita menganggapnya masalah. 

Dan hari ini, saya sedang bermasalah. Tapi besok tidak lagi. Janji!!! 

Terima kasih.
Tetap sehat dan berenergi.
Salam!!!

0 komentar:

Hidup itu Pilihan

10:03 PM 0 Comments



Halo teman-teman yang (semoga) berbahagia...
Salam, sapa, sayang.

Begini, saya lagi mau banyak bicara tapi enggan bersua. Jadi diwakilkan oleh aksara. Gapapa, ya...

Soal “Hidup itu pilihan”, tiba-tiba saya kepikiran kalau saja saya yang super pengecut ini dulu berani ambil tindakan nekat untuk berjuang sendiri dan melepas paksa belenggu peta dari orang tua. Saya bakal tetap menjadi saya yang sekarang atau nggak, ya ?

Cerita sedikit tapi banyak, deh. Jadi saya mah tipe orang yang takut keluar dari “zona aman”. Gak mau ambil resiko. Hidup rasanya enakan datar aja asalkan lancar. Payah kan, ya ? Yaudah, sih.

Hal ini berawal dari saya yang gak mandiri. Apa-apa selalu ikut kata orang tua. Kemana-mana harus ada temennya. Males banget berjuang. Terlalu takut kalau sehabis jatuh gabisa bangun sendiri. Pengecut banget pokoknya.

Dibalik itu semua, saya termasuk orang yang sebenarnya punya ambisi. Cita-citanya tinggi. Doanya ke yang diatas juga banyak. Tapi usaha buat menggapai semuanya dibawah rata-rata. Faktornya karena itu tadi, sebagian dari diri saya seorang pengecut.

Tapi karena ambisi saya yang tinggi itu, saya selalu punya angan-angan dan rencana untuk menata hidup kedepan. Yang akhirnya semua tenggelam gitu aja sebelum sampai ke permukaan. Alasan yang selama ini saya tahu ya karena “orang tua gak merestui”. Padahal mungkin sayanya aja yang kurang usaha dan gak bisa meyakinkan mereka kalau saya bisa.

Nah, ini bisa kalian jadikan pelajaran kalau mau. Jangan iya-iya aja sebelum mencoba. Bukannya saya mengajarkan kalian buat berontak, ya. Tapi apa salahnya menghancurkan ekspektasi orang tua perihal kita dengan membuktikan bahwa diri kita bisa melampaui apa yang mereka kira. Orang tua sebaik itu sama anaknya. Soal restu dan ridho dari mereka, kemudian akan mengikuti kalau mereka bangga.

Sekarang, diusia yang udah bukan lagi remaja tapi belum terlalu tua, rasanya saya mau berhenti jadi pengecut. Mau keluar dari zona aman. Mau merasakan gimana rasanya berjuang. Mau memilih jalan tanpa mengikuti arah peta yang orang tua cipta. Mau membuat mereka bangga dengan tanpa campur tangan mereka. Cukup doa. Mereka cukup mengiringi setiap langkah saya dengan doa. Karena saya sangat butuh ridho keduanya. Sebab dengan begitu ridho Allah menyertai.

Hidup selancar ini gak enak. Terlalu datar. Saya jadi gak punya banyak cerita menarik.

Dari sana juga kemudian saya berpikir, kalau sekiranya saat sebelum kerja dulu saya memilih opsi untuk diam-diam ikut SBMPTN, saya bakal jadi mahasiswa dan anak rantau gak, ya ? Atau, kalau aja dulu saya gak mengiyakan keinginan orang tua buat masuk SMK dan malah memutuskan memenuhi keinginan pribadi ikut teman-teman semasa SMP ke SMA, saya bakal jadi pribadi yang seperti sekarang gak, ya ? Atau, kita tarik semakin jauh, kalau semasa SMP dulu saya memutuskan untuk menjadi siswi yang aktif di sekolah, saya akan punya banyak bekal dan pengalaman gak, ya ?

Yaaa pokoknya banyak “kalau misalnya... kalau misalnya...” dalam hidup saya. Bukan maksud gak bersyukur dengan apa yang udah saya peroleh sekarang, tapi kembali lagi, hidup kan pilihan. Jadi, tentu banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi namun kemudian tidak terjadi, kan, karena saya memilih jalan yang berlainan ?

Taapiiiiiii... (tulisan saya kali ini banyak tapinya)
Berhubung saya sadarnya diusia yang sudah tidak lagi muda namun tidak terlalu tua alias sedang menuju dewasa. Cara pandang saya untuk berusaha keluar dari zona aman berbeda dari sebelumnya.

Awalnya gak gitu, tapi kemudian pas lagi nulis temen saya chat dan nanya “do what you love or love what you do?” Deggg... saya langsung kepikiran. Tapi jawaban saya langsung tertuju ke “love what I do.” 

Nah, kan. Dari pertanyaan itu aja udah terbukti bahwa hidup mah pilihan. Terus kemudian kita saling tanya dan diskusi kenapa milih untuk mencintai apa yang kita lakukan. Dan jawaban kami, kalau disimpulkan jadi begini: 

“Hidup kadang gak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kalau kita terus-terusan memanjakan diri dengan melakukan apa yang kita suka, kapan kita dewasa ? Kapan kita mau berpikir dan berusaha ? Lagipula, kalau kita menyukai apa yang kita lakukan berarti sama, kan dengan kita melakukan apa yang kita sukai ? Bedanya, kita menjadi pribadi yang jauh lebih mandiri.”
Seperti apa yang ditulis Jostein Garder dalam buku Dunia Sophie: “Mandiri bukanlah melakukan apapun yang kita suka.” 

Oke, semoga kalian paham maksud yang saya sampaikan.

Jadi, setelah bincang-bincang pendek itu saya kembali berpikir “Kalau begitu cara saya keluar dari zona aman, tidak dimulai dengan melakukan apapun yang saya suka, tapi dimulai dengan berani mengambil keputusan untuk mencintai apapun yang sedang saya lakukan.” Pekerjaan, lingkungan sosial, aktivitas pribadi dan memutuskan untuk berani melangkah pergi dari kemajemukan hidup yang terlalu banyak diam.

Hidup itu pilihan, teman-teman. Jalan menuju sukses bercabang. Gak peduli lewat mana kamu melangkah, berapa kali kamu terjatuh, dalam jangka waktu berapa lama kamu sampai, kalau kamu gak memutuskan untuk berhenti berjuang, kamu akan sampai pada tujuan.

Percaya, dirimu mampu melampaui batasan-batasan yang diciptakan oleh ekspektasi manusia. Karena hidup tak lepas dari campur tangan Tuhan. Bahkan disaat kamu merasa hidupmu berada diujung tanduk hingga terlalu dekat dengan kegagalan, Allah adalah satu-satunya dzat yang tidak akan meninggalkan.

Maka dari itu, selalu libatkan Allah dalam segala urusan. Sebagai pemeran dipanggung sandiwara dunia. Cukup percaya, bahwa Allah adalah penulis terbaik naskah drama.

Cukup, segini aja dulu, ya. Semoga kalian mendapat manfaat dari tulisan saya yang kebanyakan curhat.
Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk membaca, bahkan sampai akhir.
Salam.

0 komentar:

Tipu daya dunia

10:34 PM 0 Comments


Paras penuh rias
Dihias berbagai rupa guna membias
Tuhan boleh tahu ada pilu
Tapi dunia tidak perlu

Melalui tawa dan binar mata
Aku menjelma seorang penipu
Dunia percaya aku tak berduka
Sedang hidup menertawakan bahagia ku yang palsu

Ah, duka dan nestapa bagai sembilu
Perlahan tapi pasti menusuk jantung hingga ke paru
Aku tergolek sorang diri
Ditemani sunyi menghadap mati
.pada Juni, 2019


0 komentar:

Hidup di Usia Kepala Dua

12:00 PM 0 Comments


Halo publik…
Salam, sapa, sayang…  

Tahun ini saya berusia 21 Tahun, hanya jika Tuhan mengizinkan, sih. Tapi semoga, ya. Perbekalan menuju surga masih sangat sangat sangat belum memadai. Dan pengalaman hidup di dunia masih belum cukup untuk saya mengerti apa maksud Tuhan menghidupkan manusia kalau kelak akan dibuat mati. Haseeekk...

Jadi gini, lagi-lagi mau curhat. Semoga pembaca gak bosan bacanya dan dari tulisan saya mendapat sedikitnya manfaat. 

Sebenernya masalah yang satu ini sering banget saya bicarakan dengan teman-teman saya di ruang bicara. Kita saling bercerita tentang keresahan masing-masing. Yang tentunya kerap dirasakan di circle usia 20 tahunan.

Dimana usia segitu tuh rasanya hidup gak suka kalau manusianya banyak istirahat. Mulai dari raga juga jiwa. Atau mungkin di usia segitu semesta menampakkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Tak melulu berisi bahagia dan suka cita. 

Satu persatu hiruk pikuk kehidupan datang tanpa diundang. Tapi perginya minta dicarikan jalan keluar dan minta diantar sampai tujuan. Kalau gak gitu, dia ngambek. Makin betah menganggu akal sehat manusia. Manja, ya, si ‘masalah’ ini.

Ya, di dunia psikologi biasa disebut Quarter life crissis atau krisis seperempat hidup. Yang memang, di era globalisasi ini banyak banget remaja yang bahkan belum sampe usia 20-25an udah merasakan Quarter life crissis. 

Faktor yang menyebabkan Quarter life crisis banyak dan bisa datang dari aspek manapun. Aspek internal, finansial, karir, relasi maupun cita-cita.

Dan seringnya, semua aspek ini berhubungan. Sadar ataupun tidak, yang saya rasa semakin dewasa saya bisa lebih peka terhadap keadaan hidup yang sedang “tidak baik-baik saja.” Mulai dari kehidupan keluarga yang dulu saya anggap keluarga saya adalah keluarga paling harmonis. Tapi kenyataannya kami tak cukup teguh diguncang masalah hidup. Karir dan finansial yang seringkali menjadi alasan sebuah umpatan keluar. Belum lagi semakin dewasa rasanya semakin malas menjalin relasi dengan orang lain. Dan kenyataan yang membawa cita-cita kita hanya sebatas mimpi belaka membuat hidup terasa semakin rumit. 

Kita semua pasti merasakannya. Kita semua memiliki masalah yang sama. Jadi jangan pernah merasa hanya kamu yang dikucilkan dunia. Hanya kamu yang menderita. Tidak, saya yang banyak ketawa dan selengean juga gitu. Bahkan teman-teman lain yang terlihat jauh lebih bahagia pun begitu, memiliki masalah yang sama beratnya dengan kamu.

Tapi kembali lagi, setiap masalah orang lain berbeda. Memang benar kok, Tuhan Maha Adil. Ia selalu memberikan masalah kepada makhluknya sesuai dengan porsi kekuatan manusia itu sendiri. Hal tersebut penting untuk dipahami. Agar kalian tidak menjadi pribadi yang mudah menghakimi. 

“Ya masalah mu sih mending cuma kaya gitu. Nih yaa coba bayangin jadi aku, blablabla…” Iyaa deh iyaa, memang kamu yang paling menderita dan paling kuat. Yang lain ngga. Antrian diserobot ibu-ibu dikit, udah kepikiran buat suicide. Hadeuhhh…

Kembali saya tekankan “Setiap manusia memiliki porsi masing-masing dalam memandang dan menghadapi suatu masalah”. Jadi kalau kamu berpikir bahwa masalah orang lain tidak lebih berat dari masalahmu. Orang lain mungkin memiliki pandangan serupa, “masalah mu gak lebih berat dari masalah ku tuh.” Gitu. 

Sebenarnya tulisan kali inipun berhubungan dengan topik yang sudah-sudah. Cara kita memandang sesuatu memang penting. Tapi, saya sangat sangat mewajarkan apabila kita tidak bisa mengontrol diri untuk berpikir kearah negatif. Sebab manusia itu makhluk sempurna. Bukan hanya hati yang dipasangkan. Semua yang berhubungan dengan manusia itu sepasang.

Ada jiwa dan raga, sabar dan emosional, antagonis dan protagonis, bahagia dan derita, positif dan negatif, serta aku dan kaaam….preeetttt kamu ku belum jua ada. –maaf, kebawa suasana­­. Skip, ya. 

Yah intinya begitu. Pas lagi nyetrika baju kemarin saya sempat mendengar salah satu podcast di Spotify.­ Ada yang menarik dari pembahasannya dan bikin saya ber-”oh, iya juga sih kalau dipikir-pikir”. Kurang lebih begini; manusia sebagai makhluk sempurna ini memiliki dua sisi. Sisi baik dan sisi buruk. Setiap orang pasti punya. Dan untuk sisi buruk kita yang sering banget membawa dampak buruk bagi hidup kita sendiri, gak boleh kita bunuh. Kita tetap butuh sisi tersebut. Karena ibarat cahaya, dia gak akan bermanfaat dan berharga tanpa adanya kegelapan. Pun sebaliknya.

Sisi gelap ini bagian dari diri kita, kalau kita sampe bunuh dia itu artinya kita membunuh sebagian dari diri kita. Yang perlu kita lakukan agar keduanya mau jalan beriringan dan menjadi seimbang, hanya dengan berdamai. Dan ini yang sulit. Berdamai dengan diri sendiri adalah tugas manusia yang gak akan pernah selesai selama ia masih bernafas. 

Tapi tunggu, jangan jadikan pernyataan barusan sebagai alasan bahwa “bunuh diri” adalah jalan keluar dari setiap masalah hidup yang membelenggu. Mati mah gausah diburu-buru, tanpa kamu minta, ia bakal datang kalau waktunya tiba. Yang perlu kamu lakukan agar tak membuang waktu menunggu mati hanya dengan diam membisu, ya dengan melakukan hal-hal baik dalam hidup. Dan menyelesaikan tantangan yang Tuhan berikan untuk kamu bisa sampai pada tujuan realistis yaitu hidup sejahtera. Hingga tiba saatnya, matimu bahagia.

Jadi, inti tulisan saya kali ini adalah saya mencari teman satu derita. Mengajak mereka untuk menikmati rasa pahitnya hidup di tiap sela-sela kenikmatan menyeruput. Kayak minum kopi double espresso. Pahit, hitam legam, tapi tiap seruputnya merupakan candu. Haseeekk, sudah indie banget belum penggambarannya ? 

Ya gitu deh, teman-teman. Saya mengharapkan kesadaran bahwa yang lagi sering-seringnya merasa stress dan depresi bukan cuma kamu seorang. Kamu gak se-spesial itu, mon maap. Jadi, jangan merasa Tuhan itu gak adil sama kamu. Tuhan justru sangat adil, karena kalaupun ia tidak adil, ia tidak adil pada semua orang. Dan tolong, ya. Jangan sesekali berpikir bahwa mati adalah jalan keluar. Kamu terlalu berharga buat mati dalam keadaan depresi.

Ohiya, kurang-kurangi menghakimi orang lain. Bahkan mereka yang memiliki hati sekeras batu pun akan hancur kalau terus dihujani ketidaktahudirian mu memperlakukan. 

Terima kasih sudah mau mampir dan membaca sampai akhir. Tetap hidup sebelum malaikat maut bertamu. Dunia masih butuh kamu.

Salam.

0 komentar:

Pekerjaan, Passion dan Kebutuhan

3:52 PM 2 Comments

Mau nyapa dulu, tapi malu…
Tapi yaudah, deh. Halooo teman-teman yang ga sengaja klik link yang saya bagikan.
Salam, sapa, sayang… 

Perlu basa basi dulu bilang rindu menulis tapi males banget merealisasi gitu, gak ? Gak usah, ya. Toh kalimat di depan kata “tapi” tidak terlalu berarti.

Langsung ke point nya aja. Saya mau berbagi sedikit kisah tentang pekerjaan, passion, dan kebutuhan yang diikuti opini dari banyak orang. 

Pasti kalian udah ga asing lagi dengan opini-opini yang mengatakan bahwa “Pekerjaan yang enak adalah pekerjaan yang sesuai minat.” Intinya sih sama kaya syarat kita milih jurusan kuliah. Minat dan Passion adalah yang utama.

Di dunia kerja juga ternyata minat dan passion penting buat dibahas dan dijadikan acuan. Tapi, nyatanya, kebanyakan orang bekerja karena ada lowongan. Bukan mengabaikan, mereka hanya tidak menjadikan passion sebagai prioritas utama sebuah pekerjaan lebih karena realistis. Kita bekerja karena kebutuhan mencari uang. Sampai disini dapat dimengerti ya pembahasannya bakal dibawa ke mana ? 

Oke, lanjut. Saya ga akan jadiin orang lain sebagai contoh dalam masalah ini. Karena saya juga merasakannya. Ingin hati kerja dibidang seni, tapi kenyataan membawa si langkah kaki bermuara di satu ruangan penuh rak dan buku yang lagi baris-berbaris –yang numpuk dan gak keurus juga banyak. 

Buat yang belum tau, saya kasih tau dulu kali, ya, biar kalian jadi tau. Jadi, tahun ini adalah tahun ketiga saya bekerja di salah satu Perpustakaan Sekolah Menengah Pertama. Di mana fasilitas dan sistem di perpus ini belum sistematis. Dan saya ditempatkan seorang diri dengan ribuan judul buku. Gaji ? Aduh, malu kalau bahas penghasilan. Nanti pas baca kalian bercucuran ait mata. Jadi, skip aja, ya. 

Ceritanya saya jadi pustakawan. Yang sama sekali ga punya pengalaman di bidang yang satu ini. Dan sejujurnya, sama sekali gak tertarik. Tapi, ya daripada abis lulus sekolah saya ngabisin waktu cuma buat tidur-tiduran di rumah, mending saya kerja. Meskipun gaji dikit, yang penting ada pemasukan. Jadi punya kegiatan di luar rumah juga. Dan bisa lirik dede dede gemeshh, lumayan. Hehehe...

Bayangan pas ditawarin buat kerja jadi pustakawan ini kayanya menyenangkan. Cuma tinggal duduk manja di dalam ruangan –di mana ruang perpustakaan tuh sangat adem, eh pas terjun langsung ke lapangan………… Subhanallah, memang tidak ada yang lebih nikmat dari gogoleran. 

Setahun kerja belum juga menemukan rasa nyaman. Semua dilakukan atas dasar kewajiban. Yang ada tuh malah sering kewalahan. Apalagi di awal dan akhir tahun pelajaran. Keteter banget tiap pembelian buku, proses administrasi buku-buku baru yang masuk, pemeliharaan buku, sampai harus dibagikan ke siswa. Menghabiskan waktu hampir satu semester buat menyelesaikan –itupun ga 100% beres. Setelah itu harus siap-siap menghadapi akhir tahun pelajaran. Proses pengembalian buku yang semula dibagikan ke seluruh siswa.

Seperti yang saya bilang di awal, saya ditempatkan sendirian di ruang perpustakaan ini. Dan harus menghadapi kurang lebih 600-700 siswa. Ya Allah, tahun pertama kerja itu adalah tahun di mana saya jauh lebih banyak mengeluh ketimbang bersyukur. 

Belum lagi harus menghadapi berbagai opini dari orang-orang. Mulai dari yang mendukung, sampai yang menyarankan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Dan kata-kata yang paling nusuk telinga sih biasanya yang begini bunyinya “Kenapa ga cari kerjaan yang sesuai passion lu aja sih, geb ?” Sampai detik ini aja yang mampu saya lakukan cuma bersyukur karena sehabis keluar dari gerbang sekolah saya ga ada jeda buat nganggur. Boro-boro nyari kerja sesuai passion :’)

Dan lagi, kerjaan yang saya kira akan nyaman bagi diri saya butuh gelar dibelakang nama. Background pendidikan yang alakadarnya ini, gabisa dengan mudah membuat saya mendapat pekerjaan yang enak dan menghasilkan duit banyak. 

Pekerjaan yang enak. Saya tekankan; Pekerjaan yang enak. Emang ada pekerjaan yang enak ? Ada. Kata orang-orang sih, pekerjaan yang enak adalah pekerjaan yang membuat kita nyaman bekerja dan menghasilkan uang. Yang kaya gimana pekerjaan yang bikin nyaman ? Ya, yang sesuai passion, dong.

Saya setuju dengan pernyataan di atas, tapi soal Pekerjaan yang enak, menurut saya gak ada. Karena senyaman-nyamannya dan seenak-enaknya bekerja, lelah adalah bagian dari hasil akhirnya. 

Begini, soal kenyamanan dalam bekerja sesungguhnya bisa dibentuk dari bagaimana cara kita memandang pekerjaan yang sedang kita tekuni. Teori tersebut sebetulnya berlaku bukan hanya di dunia kerja. Aspeknya luas. Cara kita memandang sesuatu ternyata penting. Sebab dari sana, kita akan sadar dan melihat sesuatu yang sebelumnya kita abaikan. Dan sesuatu ini biasanya modal untuk kita bisa keluar dari jurang yang membebani raga dan pikiran. 

Seperti, di tahun awal saya menekuni dan coba bertahan dengan pekerjaan saya ini, saya sering mengeluh. Memandang pekerjaan saya ditambah upah yang tak seberapa ini adalah sebuah bentuk kewajiban yang agak membebani. Memulai kegiatan setiap pagi sampai siang, di tempat kerja banyak diam saking banyaknya pekerjaan –bingung cuy mau mulai ngerjain yang mana dulu. Sering membanding-bandingkan diri dengan teman-teman yang selepas lulus sekolah pergi merantau. Ada yang kuliah, ada juga yang mencari nafkah di luar kota. Sedang saya ? Pandeglang adalah sebenar-benarnya rumah.

Yaa, di usia segini, darah lagi mendidih-didih ingin tau hal baru. Sok sok an mau menantang dunia tapi pengennya gogoleran :( 

Ga jarang juga saya berdebat sama ibu saya. Sering memilih option “Mau nyari kerja lagi. Capek, penghasilan sama kerjaan rasanya gak seimbang.” Tapi kemudian senjata beliau keluar “Susah ya, anak muda jaman sekarang. Pengennya langsung enak, gamau jatuh bangun dulu biar tau gimana cara menikmati hasil akhir dari usaha yang sebegitu hebat.” Batin ku Cuma bisa menjerit-jerit gak karuan kalo udah gitu, “YAA OKEEEE, FINEEEEE. AKU BERTAHAN.” 

Gitu terus siklusnya sampe akhirnya udah tiga tahun saya disini. Tapi meskipun begitu, memang restu dan ridho orang tua ibarat jalan aspal tanpa polisi tidur menuju kebahagiaan. Alhamdulillah, sejauh ini rezeki lancar, pekerjaan meskipun masih keteteran tapi diberi kelancaran, dan pendidikan mulai berkembang. Saya mulai berani ambil keputusan untuk kuliah disela-sela waktu bekerja. 

Selain karena merasa ditantang buat bertahan, saya juga mulai mencari sudut pandang yang menguntungkan diri saya dari pekerjaan saya sekarang –di luar menghasilkan uang. Dan ternyata, ga mudah ya, mengubah sudut pandang negatif ke positif. Sampai akhirnya ada satu teman yang menyadarkan saya dari sesuatu yang sebetulnya sangat sepele.

Waktu itu kita saling cerita di ruang obrolan perihal hobi dan cita-cita semasa kecil. Dengan tanpa sadar saya bilang ke dia kalau saya suka perpustakaan. Jaman SD sama SMP kalau mau sekedar ngadem di jam-jam kosong, ya perginya ke perpustakaan –tapi ga baca. Sekedar ngadem atau cekikikan aja. Hehe. Terus kemudian dia nyeletuk “Wah, beruntung dong lu, geb. Dari kecil suka perpustakaan dan sekarang kerja di perpustakaan. Waktu luangnya bisa dipake buat sekalian baca juga.” Nah. Berkat kalimat yang mungkin dia pikir ga akan ada efek apa-apanya, ternyata cara saya memandang pekerjaan saya berubah. Drastis. 

Gairah saya terhadap perpustakaan yang menggebu-gebu semasa kecil dulu, tumbuh tanpa diundang. Saya langsung merasa menemukan jalan keluar dari labirin kemajemukan masalah yang saya buat sendiri.

Saya mulai menyukai pekerjaan saya. Tidak lagi menjalankannya hanya karena kewajiban. Perihal keinginan saya bekerja sesuai passion, tentu tetap menggelora. Tapi menurut saya, hobi yang menghasilkan uang tak lebih dari sekedar keberuntungan. Karena hobi dan bekerja itu berbeda. Hobi hanya dilakukan di banyak waktu luang, sedang bekerja dilakukan untuk menciptakan waktu luang. Hobi tidak memprioritaskan kehadiran uang, sedang bekerja menjadikan uang sebagai kebutuhan. 

Berbahagialah kalian-kalian yang menekuni hobi dan passion sebagai pekerjaan. Dan merdekalah teman-teman yang berjuang mencari jalan keluar melepas beban dari kewajiban mencari uang.

Terima kasih telah berkunjung, dan bersedia membaca sampai akhir. Tetap bekerja, ya. Karena untuk kaya perlu upaya. Dan untuk bergaya, butuh biaya. Sampai jumpa generasi muda yang kata emak saya “pengen enaknya aja”.

Salam.

2 komentar: